Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 21 Sama-sama kaget
Malam itu, hujan telah reda. Udara terasa sejuk, dan hanya suara jangkrik yang terdengar dari luar rumah. Di dalam kamar sederhana itu, Dinda terbaring di atas ranjang, namun matanya sama sekali tak mau terpejam.
Setiap kali ia memejamkan mata, wajah Vikto selalu muncul di pikirannya.
“Kenapa aku nggak bisa berhenti mikirin Kak Vikto…” gumamnya lirih. "Tidak, aku tidak boleh kepikiran Kak Vikto. Dia hanya menolong ku."
Ia bangkit, duduk di tepi ranjang, menatap ke luar jendela. Hujan tipis kembali turun, menimbulkan gemericik lembut di atap rumah. Dalam cahaya lampu temaram, terlihat wajah Dinda yang dipenuhi kebingungan.
“Dia orang baik,” bisiknya dalam hati, “tapi kenapa aku malah takut menerima kebaikan itu?”
Air mata menetes perlahan tanpa ia sadari.
Sudah lama ia tidak merasakan ketenangan seperti saat bersama Vikto. Tapi di sisi lain, trauma masa lalunya masih membekas begitu dalam, luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Ia masih ingat bagaimana rasa sakit saat difitnah, dikhianati, dan ditinggalkan begitu saja oleh sosok yang berstatus suaminya. Bagaimana setiap harapan yang ia bangun dulu runtuh dalam sekejap. Dan kini Adinda dibuat dilema dengan status barunya, ia tidak tahu apakah bisa untuk menjalaninya.
“Dinda, kamu belum tidur?” suara Vikto terdengar lembut saat memergoki Adinda yang sedang melamun didekat jendela.
Dinda buru-buru menyeka air matanya.
“Belum, Kak. Ada apa?”
“Nggak apa-apa, Kakak cuma khawatir, takutnya kamu tidak enak badan. Tadi sore kamu kehujanan cukup lama.”
Dinda tersenyum samar, walau hatinya bergetar.
“Aku baik-baik aja, Kak. Makasih udah perhatian,”
“Kalau begitu istirahatlah. Besok pagi aku anter kamu kontrol lagi ke dokter. Memastikan kalau kondisi kamu benar-benar sudah pulih."
“Iya, Kak."
“Ayo, tidur.”
Kemudian, Adinda naik ke atas tempat tidur, dan posisinya membelakangi Vikto.
Dinda memejamkan matanya perlahan.
Di antara dinginnya malam, Vikto tersenyum samar, senyum yang belum siap diakui, tapi telah lahir dari kehangatan yang lama hilang.
Aku janji, aku tidak akan mengulangi kesalahan mantan suami kamu sebelumnya. Aku akan menjagamu sepenuh jiwaku, dan tidak akan membuatmu menderita lagi.
Vikto yang masih kedinginan, ia ikut memejamkan mata, dan terlelap dari tidurnya.
Malam semakin larut. Hujan di luar rumah hanya menyisakan rintik-rintik, namun dinginnya masih menusuk hingga ke tulang. Di dalam kamar kecil itu, Dinda sudah terlelap, tubuhnya meringkuk di bawah selimut tipis. Sementara itu, Vikto yang tidur di sisi luar, masih berada di kasur yang sama karena tidak tega Adinda kedinginan seorang diri, mulai gelisah.
Dingin benar-benar menusuk. Selimut yang ia pakai tidak cukup, dan tubuhnya sedikit gemetar. Dalam tidur setengah sadar, Vikto meraba mencari guling atau benda apa pun yang bisa ia peluk untuk menghangatkan diri.
Tidak ada.
Yang ada justru kehangatan lembut di sebelahnya.
Tanpa sadar, tubuhnya bergeser mendekat ke arah sumber hangat itu. Hingga akhirnya, lengannya melingkar ke pinggang Dinda, menariknya dalam dekapannya.
Dinda yang sedang lelap tidak langsung terbangun. Ia hanya mengerjapkan mata pelan, merasakan sesuatu menghangatkannya, sebuah pelukan yang begitu erat, begitu melindungi. Refleks, tubuhnya mencari kehangatan itu, mendekat tanpa sadar.
Dalam kegelapan kamar yang remang-remang, dua napas berpadu ritme. Dingin malam perlahan tergantikan oleh rasa nyaman yang menenangkan.
Vikto, masih dalam tidur nyenyaknya, menggumam pelan.
“Jangan pergi lagi… Dinda…”
Adinda yang mendengarnya samar-samar, membuka mata sedikit. Tatapannya jatuh pada lengan Vikto yang melingkari tubuhnya. Wajahnya memerah, tapi ia tidak bergeming. Ada rasa aman yang sudah lama sekali tidak ia rasakan.
Perlahan, ia menutup matanya kembali.
Dalam hati, ia berbisik lirih, “Sejak kapan… aku merasa setenang ini…?”
Di luar sana, hujan menjadi saksi.
Di dalam kamar kecil itu, dua hati yang penuh luka tanpa disadari mulai saling menyembuhkan dalam diam… dan dalam hangatnya pelukan yang tak pernah mereka rencanakan.
Malam itu sunyi. Hanya suara hujan yang jatuh menimpa genting dan tiupan angin dingin yang sesekali menyelusup lewat celah jendela.
Adinda yang semula tertidur miring, perlahan merasakan sesuatu yang hangat menyentuh punggungnya. Nafas seseorang, dekat sekali. Pelan, hangat, juga stabil.
Awalnya ia mengira itu hanya imajinasinya. Sampai lengan kuat melingkari pinggangnya dari belakang, menarik tubuhnya pelan, hingga seperti seseorang yang secara naluri mencari kehangatan.
Dalam tidurnya, pria itu bergerak mendekat, mencari rasa hangat yang tak ia dapatkan dari selimut tipis di sofa. Entah sejak kapan ia memeluk tubuh Adinda, tapi kini ia memeluk Adinda dengan erat, seolah takut kehilangan sumber kehangatan itu.
Adinda membuka mata perlahan, terkejut namun tak berani bergerak. Wajahnya memanas, jantungnya berdegup tak karuan.
“Ka–Kak Vikto…” bisiknya sangat pelan, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Tidak ada jawaban. Hanya hembusan napas Vikto yang teratur di belakang telinganya. Pelukan itu erat, dan bukan pelukan yang disengaja, tapi lebih kepada refleks orang yang sedang kedinginan, mencari tempat yang nyaman.
Adinda menggigit bibir. Ia ingin melepas diri, tapi tubuhnya justru membeku. Ada rasa yang sulit dijelaskan, hangat, aman, namun juga membuat dadanya berdebar hebat.
Beberapa menit berlalu. Hujan masih mengguyur, hawa dingin semakin terasa.
Tanpa sadar, Adinda justru ikut memejamkan mata kembali. Detak jantung Vikto yang terasa di punggungnya memberi ritme tenang yang perlahan membuatnya terlelap lagi.
Hingga akhirnya terbangun. Dan tiba-tiba momen itu pecah ketika Vikto perlahan membuka mata. Ia mengerutkan kening, kesadarannya kembali, lalu menunduk… menyadari ia sedang memeluk Adinda dari belakang, erat, bahkan hidungnya nyaris menempel pada rambut gadis itu.
Mata Vikto langsung membesar.
A-apa ini? Kenapa aku bisa…?
Secara spontan, ia menarik tubuhnya menjauh.
Adinda yang terbangun karena gerakan itu, langsung duduk dan menunduk, wajahnya merah padam.
“K-kak Vikto… semalam…” suaranya bergetar, malu sudah pasti.
“Aku… aku minta maaf, Dinda.” Vikto buru-buru bangkit, wajahnya memerah seperti ditampar angin panas. “Aku… tidak sadar. Aku pasti kedinginan, lalu—”
Adinda menggeleng cepat, mencoba membantu menenangkan suasana.
“Gak apa-apa, Kak… semalam memang dingin sekali…”
Keduanya terdiam. Suasana canggung menyeruak, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada jarak yang tiba-tiba terasa, yaitu terlalu dekat, terlalu hangat, hingga membuat keduanya salah tingkah.
Vikto mengusap tengkuknya, tak tahu harus meletakkan tatapannya di mana. “Mulai hari ini… Kakak bakal cari selimut tambahan. Biar gak kejadian begini lagi, atau-"
Adinda tersenyum kecil, wajahnya masih memerah. “Iya, Kak…”
Namun jauh di dalam hati mereka masing-masing. Kejadian itu meninggalkan jejak yang sulit dihapus pastinya.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..