Bening awalnya hanya mengagumi Garda seperti seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis membuat Bening bermimpi memiliki ayah seperti Garda. Namun, seiring berjalan waktu, ternyata perasaannya terhadap Garda berubah menjadi ketertarikan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa dia menginginkan dan menyukai ayah dari sahabatnya sendiri?
Ketika Bening ingin menyingkirkan perasaan gila itu mengingat usia mereka yang terpaut jauh, tiba-tiba suatu hari Garda membuat pernyataan yang membuat Bening bimbang. Sebuah ciuman melayang, mengantarkan Bening pada kelumit masalah antara menjadi gadis kesayangan Garda atau janji persahabatannya dengan putri pria itu.
#adultromance #agegap #cintabedausia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yourladysan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Dengan Baron
Tidak! Bening harus fokus pada pekerjaannya sekarang. Ia tak harus memikirkan hal yang belum tentu terjadi, yaitu keberadaan Natalie dan mungkin saja pernah bertemu dengan Garda tanpa sepengetahuan Bening. Bukan saatnya Bening memikirkan hal semacam itu.
Memang kenapa kalau mereka bertemu? Apakah Bening harus melarang? Tentu tidak! Dia tidak mau bersikap posesif seperti itu.
"Sori agak telat, tadi aku ke rumah sakit dulu," kata salah seorang pegawai minimarket yang malam itu gantian shift dengan Bening.
"Siapa yang sakit?" Bening keluar dari balik meja kasir sembari melepas rompi yang biasa dipakai bekerja. Lantas menyerahkan kepada gadis di depannya.
"Ibuku. Tapi besok udah bisa dibawa pulang."
"Syukurlah kalau gitu. Aku balik duluan nggak apa-apa, ya."
"Aman!" Gadis itu mengacungkan jempol sembari tersenyum lebar.
Selesai sudah pekerjannya hari ini. Karena banyak pelanggan yang masuk dan karena harus mengatur ulang beberapa produk camilan pada rak display, Bening merasa agak sedikit lelah. Mungkin kasur yang empuk adalah satu-satunya benda yang ia inginkan sekarang.
Om Garda: sudah pulang? Saya jemput kalau belum sampai kos.
"Padahal Om Garda kerjaannya banyak, tapi kenapa selalu pengen menyempatkan waktu buat aku?" Bening tersenyum samar.
Ia lupa kapan terakhir kali seorang pria memberikan sedikit waktu untuknya.
Dulu ia pernah punya mantan pacar, itu pun saat masih sekolah. Bening sampai lupa bagaimana rasanya pacaran selama beberapa tahun. Namun, ia sempat menjalin hubungan dengan seorang senior saat menjadi mahasiswa baru. Itu pun lagi-lagi bertahan singkat.
"Besok nggak ada jadwal bimbingan. Apa aku ketemu Om Garda aja?" Bening sesaat merasa ragu.
Gadis itu memilih duduk di halte sembari bermain ponsel dan membalas pesan dari Garda.
To Om Garda
From Bening: aku nggak mau ngerepotin Om karena biasanya jam segini Om masih ada kerjaan, kan? Jangan memaksakan diri cuma karena aku. Aku bisa pulang sendiri.
"Aku tetep ngerasa nggak enak kalau Om Garda meninggalkan pekerjaannya," gumam Bening. Ia menyimpan jauh-jauh niat untuk bertemu Garda.
Pesan balasan muncul lagi.
Om Garda: nggak, Sweetie. Saya udah selesai urus kerjaan. Kamu di mana?
To Om Garda:
From Bening: halte dekat minimarket.
Om Garda: oke, 10 menit lagi saya sampai.
Padahal Bening sudah mulai terbiasa dengan kedekatan mereka, tetapi setiap Garda muncul di hadapannya, ia selalu merasa gugup. Sampai detik ini ia tak percaya bahwa pria dewasa itu adalah kekasihnya.
Terdengar gila saat ia menyukai pria yang seharusnya terlarang. Mengapa terlarang? Karena pria itu lebih dewasa darinya, sudah begitu Garda adalah seorang ayah. Ayah dari sahabat Bening sendiri.
Bening meringis saat mengingat Nata.
Apa jadinya jika hubungan dengan Garda terbongkar? Nata pasti akan sangat membenci Bening.
"Bening!" seru seseorang.
Suara akrab itu membuat Bening tersentak. Ia mengalihkan atensi dari ponsel.
Betapa kagetnya ia saat melihat Baron berjalan dengan tergesa mendekat. Sial! Ia lupa kalau orang tua angkatnya masih tinggal di sekitar sana. Bening berdiri kaku, sedikit gemetar ketika Baron benar-benar mendekat.
"Gimana kabarmu? Kenapa baru kelihatan sekarang? Di mana kamu tidur? Mana barang-barang kamu?" Baron memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
"Aku kerja dekat sini," kata Bening sekenanya.
"Astaga, Bening. Ayah dan ibu nyari kamu beberapa hari ini. Kenapa kamu pergi gitu aja? Pulanglah dan dengar penjelasan Ayah dan ibu," pinta pria bertubuh agak kurus itu.
"Pulang? Ke mana? Apa maksud kalian adalah pulang ke kos sempit itu?"
Pertanyaan Bening membuat Baron terkesiap. Ia hendak berkata lagi, tetapi Bening tersenyum hambar selama sekian detik.
"Aku nggak akan pernah kembali dan tinggal bersama kalian lagi," kata Bening melanjutkan.
"Apa-apaan kamu ini? Kamu kan putri Ayah dan ibu. Bagaimana kamu akan hidup sendirian di luar sana?"
"Jangan sok peduli!" Setelah sekian hari akhirnya Bening bisa berteriak juga di depan Baron. Harusnya Diana juga ada di sana agar tahu kalau Bening juga bisa melawan.
Udara di sekitar mendadak terasa dingin. Suara klakson menenggelamkan deru napas Bening yang dipenuhi amukan murka. Baron sampai mengejap melihat anak angkatnya begitu marah.
"Aku nggak mau ketemu kalian lagi," tukas Bening, "udah cukup selama ini bagaimana kalian memperlakukan aku. Dulu aku senang punya keluarga. Aku senang punya ayah dan ibu, tapi ternyata aku nggak pernah benar-benar jadi anak kalian. Karena perlakuan kalian bukan seperti orang tua terhadap anaknya."
"Bening ...." Baron mendekat, tetapi Bening langsung mengambil langkah mundur. "Kami merawat kami dari kecil. Lalu inikah balasan kamu?"
"Aku nggak peduli! Aku nggak merasa harus membalas kalian. Harusnya kalian paham kenapa aku seperti ini. Itu semua karena perbuatan kalian."
"Kamu salah paham ...."
Tak mau lagi mendengar Baron, Bening memilih berbalik dan pergi. Namun, Baron justru mengejar. Beberapa kali menarik lengan Bening yang langsung dihempas oleh gadis itu.
"Lepasin!" sergah Bening karena Baron tak kunjung menyerah.
Suara klakson berkali-kali dari arah belakang Bening membuat Baron berhenti. Atensi mereka tertuju pada Ferrari hitam yang tiba-tiba berhenti tepat di sisi jalan raya. Sepasang mata Bening terkesiap melihat si pengendara keluar dari mobil.
Mengapa Garda harus muncul sekarang?
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Garda seraya menarik Bening ke sisinya. Pria itu mengamati Baron. "Apa yang Anda lakukan?"
"Jangan ikut campur! Ini urusan keluarga. Lagi pula Anda ini siapa?" Baron memindai penampilan Garda dari ujung kaki hingga kepala.
"Saya ...." Garda menahan kalimat. Bening berharap pria itu tak membeberkan status hubungan mereka atau masalah akan lebih runyam. "Nggak penting siapa saya. Tapi Anda nggak bisa memaksa Bening kalau dia tidak mau ikut."
"Saya ayahnya. Minggir! Saya harus membawa putri saya pulang." Baron mendekat, tetapi Garda langsung menahan bahunya.
Garda menatap tajam sang lawan bicara. "Ayah? Bening, benar dia ayah kamu?" tanya Garda seraya melirik gadis itu.
Selama sekian detik Bening menatap Baron. Lalu ia menggeleng pelan.
"A-apa? Kurang ajar kamu, Bening! Anak nggak tau terima kasih."
Tanpa permisi Garda mendorong bahu Baron lebih keras. Pria itu hampir tersungkur ke tanah.
"Bening, kamu mau ikut dengannya?" tanya Garda tanpa melirik Bening, tetapi fokus pada Baron.
"Nggak, Om," jawab Bening.
Garda tersenyum puas. "Dengar, kan? Jangan memaksa kalau dia nggak mau." Ia menarik Bening dan membukakan pintu mobil untuknya. "Oh iya, tadi Anda tanya siapa saya? Saya Garda, ayah sahabatnya Bening. Lebih baik Anda jangan mengganggu Bening lagi karena saya selalu berada di pihak dia."
Tak hanya Baron, Bening pun agak kaget mendengar perkataan Garda. Hari itu untuk ke sekian kali ia merasa aman karena lagi-lagi Garda membela dan membantunya.