Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Cemburu
Pagi itu tampak sempurna — terlalu sempurna, mungkin.
Selena tak pernah menyangka niat kecilnya untuk memberi kejutan justru akan mengguncang perasaannya sendiri. Ia hanya ingin memasak untuk Daren, mengantarkan makan siang, dan melihat senyum suaminya. Tapi takdir, seperti biasa, punya cara lain untuk menguji hatinya.
---
Hari itu udara terasa tenang dengan cahaya matahari yang masuk lembut lewat jendela dapur. Selena berdiri di depan meja dapur dengan celemek bermotif bunga biru muda, sementara di sampingnya Bi Nana sibuk mengupas bawang. Aroma bawang putih dan lada yang mulai ditumis menguar memenuhi ruangan, menghadirkan suasana rumah yang hangat.
Hari ini Selena sengaja meliburkan diri dari butik — bukan karena lelah, bukan juga karena ingin bersantai, melainkan karena ada sesuatu yang ingin ia lakukan. Sesuatu yang sederhana, tapi berarti baginya: menyiapkan makan siang untuk Daren dan mengantarkannya langsung ke kantor.
Sudah tiga bulan sejak pernikahannya dengan Daren, dan selama itu pula mereka sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing. Daren lebih sering makan di kafe dekat kantornya, sementara Selena biasanya menyibukkan diri di butik sampai sore. Hari ini ia ingin sedikit berbeda — ingin memberi kejutan kecil pada suaminya.
“Hmm… ayam lada hitam, sup jagung, sama tumis sayur kayaknya enak deh,” ucap Selena sambil menatap bahan-bahan di depannya.
Bi Nana tersenyum sambil menatap majikannya yang tampak bersemangat. “Wah, tuan pasti senang sekali kalau tahu non Selena masak sendiri. Jarang-jarang, lho.”
Selena terkekeh kecil. “Iya, Bi. Biasanya ‘kan Daren yang lebih sering masak. Sekarang gantian deh, biar dia ngerasain rasa masakan aku lagi. Semoga aja nggak keasinan,” ujarnya sambil menatap Bi Nana dengan ekspresi ragu tapi manis.
Bi Nana tertawa kecil. “Tenang aja, Non. Saya bantu icipin, kalau keasinan saya kasih tahu.”
Selena mengangguk, lalu melanjutkan memotong cabai dan bawang. Sesekali ia berhenti, menatap keluar jendela — matahari tampak hangat, langit bersih tanpa awan. Hatinya terasa damai. Setelah sekian lama hidup dalam kekacauan dan luka masa lalu, hari-hari seperti ini terasa seperti hadiah kecil.
“Bi, nanti setelah makanannya siap, aku mau jemput Arunika dulu, ya. Sekalian nanti ke kantor kak Daren buat nganterin bekalnya.”
“Baik, Non. Saya siapin tempat makannya sekalian aja biar nggak kelupaan.”
Beberapa jam kemudian, aroma gurih memenuhi seluruh rumah. Ayam lada hitam sudah matang dengan warna kecokelatan yang menggugah selera, sup jagung mengepul harum, dan tumisan sayur tampak segar berwarna-warni.
Selena menata semua makanan ke dalam wadah makan berlapis stainless, menambahkan sendok dan tisu, lalu memasukkannya ke dalam tas kecil. Setelah memastikan semuanya rapi, ia mengganti pakaiannya — blouse putih lembut dan celana panjang krem. Sederhana tapi elegan.
Tak lama kemudian, ia mengambil kunci mobil dan berpamitan pada Bi Nana.
“Bi, aku jalan dulu ya. Sekalian jemput Aru.”
“Iya, Non. Hati-hati di jalan. Oh iya, Non… kasih salam buat Tuan Daren, bilang masakannya dari Non sendiri.”
Selena tersenyum. “Pasti, Bi.”
Perjalanan ke sekolah Arunika tak butuh waktu lama. Begitu tiba, gadis kecil itu langsung berlari menghampirinya sambil tersenyum lebar.
“Mamaa!” serunya riang.
Selena membungkuk, membuka tangan, dan menyambut pelukan hangat itu.
“Eh, Aru gimana di sekolahnya hari ini?”
“Seru banget, Ma! Tadi aku main pasir sama Lio!” jawabnya antusias.
Selena tertawa lembut. “Wah, hebat dong. Sekarang, Aru mau ikut Mama ke kantor Ayah nggak? Kita mau kasih kejutan buat Ayah.”
“Ke kantor Ayah? Serius, Ma?”
“Iya, tapi jangan bocorin dulu ya. Rahasia.”
Arunika menutup mulutnya rapat-rapat dan mengangguk. “Rahasiaaa…”
Sepanjang perjalanan ke kantor, Arunika duduk manis sambil memeluk boneka kecil di pangkuannya. Selena menatapnya dari spion tengah dan tersenyum kecil. Di benaknya, terlintas bayangan Daren yang mungkin sedang serius bekerja — dan nanti akan dikejutkan oleh dua orang yang paling disayanginya.
Ia menepikan mobil di depan gedung tempat Daren bekerja. Setelah menuntun Arunika turun, Selena membawa tas berisi makanan buatan tangannya sendiri.
“Siap kasih kejutan buat Ayah?” bisik Selena sambil menggenggam tangan putrinya.
Arunika tersenyum lebar. “Siap, Mama!”
Dan di sanalah mereka melangkah — ke arah lift yang akan membawa mereka ke lantai tempat Daren bekerja, sambil membawa aroma hangat masakan rumah dan sedikit getar bahagia di dada Selena.
---
Sampai di depan ruangan Daren, Selena sempat menatap pintu kaca besar bertuliskan Manager Operations — Daren Aurelio Vance. Jantungnya berdebar pelan, antara gugup dan senang membayangkan wajah terkejut suaminya nanti saat menerima kejutan kecil ini.
Tanpa berpikir panjang, ia memutar gagang pintu dan membukanya pelan. Tapi langkahnya langsung terhenti.
Daren tidak sendirian di dalam.
Di hadapannya duduk seorang wanita muda berpenampilan rapi dengan blazer krem dan rambut panjang terurai. Mereka tampak sedang berbincang santai, tertawa kecil — suasana yang jelas jauh lebih hangat daripada sekadar pembicaraan pekerjaan.
Senyum di wajah Selena perlahan memudar. Tangannya yang memegang tas bekal terasa sedikit dingin. Ada sesuatu di dadanya yang mencubit — perasaan yang tidak ingin ia akui, tapi sulit diabaikan.
Belum sempat ia berkata apa pun, suara kecil memecah keheningan.
“Ayah!” teriak Arunika tiba-tiba sambil berlari masuk.
Daren sontak menoleh kaget. “Lho, Sayang?” katanya, wajahnya berubah cerah begitu melihat anak kecilnya.
Ia segera berdiri dan menjemput Arunika yang kini sudah memeluk kakinya erat. “Wah, Ayah punya tamu istimewa, nih.”
Selena masih berdiri di ambang pintu, mencoba menenangkan dirinya.
Kenapa aku jadi ngerasa aneh? pikirnya. Itu cuma rekan kerja, kan? Tapi entah kenapa, cara perempuan itu menatap Daren — dan cara Daren tersenyum balik — membuat dadanya terasa sesak.
“Hai, Sel,” sapa Daren akhirnya sambil menggendong Arunika di satu tangan dan menghampiri Selena. “Kenapa ke sini nggak bilang aku dulu?”
Selena mencoba tersenyum, meski suaranya terdengar datar. “Oh, maaf… nggak bilang. Aku ganggu, ya?”
“Ganggu? Enggak lah.” Daren menoleh sekilas ke arah perempuan itu, lalu memperkenalkan. “Sel, ini Rhea — dia staf baru di bagian administrasi proyek. Kita lagi bahas laporan bulan ini.”
Rhea segera berdiri dan tersenyum ramah. “Halo, Mbak Selena. Saya sering dengar cerita tentang Mbak dari Pak Daren. Senang akhirnya bisa ketemu langsung.”
Selena membalas dengan senyum tipis. “Oh, iya? Senang juga kenalan.”
Tapi ada sedikit nada kaku di sana — terlalu halus untuk dianggap ketus, tapi cukup jelas bagi Daren untuk menyadarinya.
“Ayah, Aru lapar,” sela Arunika sambil menepuk pipi ayahnya.
“Oh iya!” Daren baru ingat tas kecil di tangan Selena. “Eh, itu… kamu bawain makan siang, ya?”
Selena mengangguk pelan. “Iya. Aku pikir kamu belum sempat makan. Jadi sekalian jemput Aru dari sekolah, aku bawain makanan buat kalian makan bareng.”
Wajah Daren langsung berubah lembut. “Sel, kamu manis banget. Makasih, ya.”
Ia menatapnya dengan senyum tulus — tapi bagi Selena, senyum itu masih terasa samar, kalah oleh bayangan Daren yang tadi terlihat tertawa dengan perempuan lain.
Rhea menyadari suasana mulai agak canggung, lalu cepat-cepat berkata, “Kalau gitu saya pamit dulu, Pak. Biar kalian bisa makan siang bareng.”
Daren mengangguk. “Oke, terima kasih, Rhea.”
Begitu pintu tertutup, hanya tersisa mereka bertiga di ruangan itu. Daren menurunkan Arunika dan menatap Selena lekat-lekat. “Hei… kamu kenapa?”
Selena buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk menata wadah makanan di meja. “Enggak apa-apa. Cuma kaget aja. Kirain kamu sendirian.”
Daren tersenyum kecil, mendekat, lalu menyentuh lembut lengannya. “Itu cuma rekan kerja, Sel. Aku tahu kamu mikirnya ke mana, tapi nggak ada apa-apa.”
Selena berhenti sejenak, menatap mata Daren yang terlihat jujur. Tapi tetap saja ada rasa yang menggelitik di dadanya — rasa takut kehilangan yang tidak ia sadari tumbuh sejak hari pertama ia mulai mencintai pria itu.
“Ya, aku tahu,” katanya akhirnya, pelan. “Cuma… nggak tahu kenapa, tadi lihat kalian ngobrol bareng kayak gitu tuh… rasanya aneh.”
Daren menatapnya lama, lalu tertawa kecil sambil mengelus pipinya. “Kamu cemburu, ya?”
Selena langsung menatapnya tajam. “Nggak!” sergahnya cepat. Tapi rona merah di pipinya jelas membantah ucapannya sendiri.
Daren terkekeh pelan. “Nggak apa-apa, aku suka, kok, kalau kamu cemburu. Artinya kamu sayang sama aku.”
Selena mendengus, berpura-pura kesal. “Daren…”
Daren memeluknya dari belakang, menundukkan wajah di bahu Selena. “Selena Vance yang cemburu… rasanya lucu banget.”
Arunika menatap mereka sambil mengerutkan kening polos. “Mama marah, Yah?”
Selena menoleh cepat, tersenyum pada putrinya. “Enggak, Sayang. Mama cuma… salah lihat aja.”
“Yakin?” tanya Daren menggoda sambil menatapnya penuh makna.
Selena memutar bola mata, lalu menepuk bahunya ringan. “Udah, deh. Sekarang makan dulu sebelum makanannya dingin. Aku masak sendiri, lho.”
“Wah, makin cinta aku,” jawab Daren santai sambil duduk di kursinya, masih dengan senyum tak lepas dari wajahnya.
Sementara itu, Selena hanya bisa menghela napas pelan. Ia tahu rasa cemburu itu tak perlu, tapi entah kenapa justru di momen sederhana seperti ini — di tengah tawa Daren dan Arunika — ia menyadari betapa dalam perasaannya untuk pria itu.
Dan betapa ia takut jika suatu hari kehilangan kehangatan yang baru saja berani ia genggam.
---
Pulang dari kantor Daren, Selena dan Arunika langsung menuju rumah. Jalanan siang itu tidak terlalu padat, hanya sesekali kendaraan melintas di jalur yang sama. Sinar matahari masih terasa seperti di atas kepala. Selena memegang kemudi dengan fokus, sementara di kursi penumpang, Arunika tertidur pulas dengan kepala bersandar di kaca jendela, sesekali menggumam pelan dalam tidurnya.
Selena melirik sekilas ke arah putrinya, lalu kembali menatap jalan. Tapi pikirannya tidak benar-benar di sana.
“Masa iya gue tadi cemburu…” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.
Ia mengembuskan napas panjang, mengingat lagi pemandangan di ruang kerja Daren tadi — perempuan itu. Duduk berseberangan dengan Daren, tertawa kecil, bahkan sempat menepuk bahunya dengan santai. Entah kenapa, pemandangan itu menimbulkan rasa tak nyaman di dadanya.
“Biasa aja kali, Sel. Mereka cuma ngobrol,” ucapnya lagi, mencoba menenangkan diri sendiri. Tapi entah kenapa, hatinya menolak percaya.
Sepanjang perjalanan, pikiran Selena terus berputar — tentang siapa perempuan itu, apa hubungannya dengan Daren, dan kenapa Daren tak langsung memperkenalkannya.
Satu sisi, ia sadar betul Daren bukan tipe pria yang macam-macam. Tapi sisi lain, naluri wanitanya menolak diam.
Begitu sampai di rumah, Selena mematikan mesin mobil perlahan. Ia menatap Arunika yang masih terlelap, lalu tersenyum kecil dan menyibakkan rambut di dahi putrinya.
“Tidur terus, ya. Mama aja yang baper sendiri,” katanya lirih.
Setelah menidurkan Arunika di kamarnya, Selena berjalan ke dapur. Ia menuang segelas air putih dan meneguknya cepat-cepat. Suasana rumah terasa terlalu tenang sore itu — hanya suara jam dinding dan hembusan angin yang masuk dari jendela.
Ponselnya bergetar di meja makan. Nama Daren tertera di layar. Selena menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat.
“Halo?” suaranya datar.
“Udah nyampe rumah?” tanya Daren di seberang, terdengar tenang seperti biasa.
“Udah. Aru juga udah tidur.”
“Baguslah. Tadi kamu kok pergi buru-buru banget? Aku bahkan belum sempat—”
“Kayaknya aku emang gak perlu lama-lama di kantor kamu, Ran. Aku cuma mau nganter makan siang, bukan ganggu rapat.”
Daren diam sejenak di seberang. “Sel, kamu marah?”
“Enggak,” jawab Selena cepat, tapi nadanya justru membenarkan kebalikannya.
Daren tertawa kecil. “Oke, kalau gak marah, nanti aku pulang agak malam ya. Ada revisi laporan.”
“Iya.”
“Selena?”
“Hm?”
“Gak jadi."
Selena tertegun. “Oh…” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
“Jangan cemberut, nanti makin cantik tapi serem,” canda Daren mencoba mencairkan suasana.
Selena tersenyum tipis tanpa suara. “Cepet pulang, ya.”
“Iya, Sayang.”
Telepon ditutup. Selena menatap layar ponselnya beberapa saat, lalu meletakkannya di meja.
Ia menghela napas panjang, mencoba menepis rasa malu yang mulai muncul.
“Dasar, Sel, baper duluan,” ucapnya sambil menepuk pelan pipinya sendiri.
Namun di balik senyum tipis yang mulai muncul, ada getar hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya — rasa takut kehilangan. Rasa yang justru membuatnya sadar, betapa besar cintanya pada Daren.
Malam nanti, ia berjanji akan menyambut suaminya dengan suasana yang lebih manis. Bukan dengan tatapan curiga, tapi dengan senyum hangat dan sepiring makan malam buatan tangannya sendiri.
---
Siapa nih yang gampang cemburu kaya Selena?