NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 8: Perang di Dalam Meridian : Sungai Darah di Dinding Jiwa

Api di Desa Hijau belum padam sepenuhnya ketika Liang Chen berbaring di antara abu yang hangat. Langit di atasnya kelabu, terbakar oleh sisa nyala dan debu, seperti mata dewa yang murka.

Nafasnya pendek, setiap hirupan udara seperti menelan pisau. Darah kering menempel di dadanya, dan di bawah kulit, luka terbuka akibat serangan Elder masih berdenyut seperti mulut yang tidak mau tertutup.

Tubuhnya dingin, tapi di dalamnya, sesuatu terbakar. Api itu tidak memiliki cahaya; hanya panas yang menyiksa dari dalam, seperti bara yang tertanam di jantungnya.

Liang Chen ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Ia hanya bisa menatap langit dan merasa bahwa dirinya perlahan ditarik ke dua arah yang berlawanan, ke dalam bumi yang dingin, dan ke dalam dirinya sendiri yang kini menjadi neraka.

Dalam kabut kesadarannya, ia mendengar gema kata-kata lama, bercampur dengan suara yang bukan milik manusia. “Keteguhan…” suara ayahnya terdengar jauh,

diikuti oleh bisikan lembut ibunya,

“Hiduplah…” Namun di antara dua suara itu, muncul bisikan ketiga, lebih dalam, lebih tua, dan lebih menyeramkan. “Kekuatan lahir dari kehancuran. Bukalah matamu, anak darah.”

Dadanya kembali berdenyut. Dari luka terbuka itu, semburat hitam merembes keluar, bukan darah biasa, melainkan kabut dingin yang menelusup seperti ular.

Energi korosif dari serangan Elder Inti Berputar masih hidup di dalam tubuhnya, mencari jalan melalui meridian yang tertutup, menggigit daging dan jiwa sekaligus.

Liang Chen menggeliat, kedua tangannya mencakar tanah. Ia bisa merasakan energi itu,dingin seperti besi di musim salju, tajam dan penuh kebencian, menyusup ke dalam pembuluhnya.

Di dalam kesadarannya yang retak, dunia berganti bentuk. Ia tidak lagi melihat langit dan tanah, melainkan dirinya sendiri terbaring di tengah kegelapan tanpa ujung. Di sekitarnya, ribuan urat merah bercahaya seperti cabang pohon bercampur api dan darah.

Itulah meridiannya, yang seharusnya tertutup rapat, kini retak dan terbuka paksa. Dari celah-celahnya, kabut hitam menembus masuk, menodai cahaya merah itu.

Liang Chen menatapnya dengan ketakutan; ia tahu, jika kabut itu menelan seluruh meridiannya, maka bukan hanya tubuhnya yang mati, tetapi jiwanya akan hancur tanpa sisa.

Tiba-tiba, dari pusat dadanya, muncul denyut cahaya merah gelap. Cahaya itu bukan lembut seperti Energi Samawi, tetapi bergelombang, berdenyut seperti nadi raksasa.

Ia mendengar suara berat dan kasar datang dari arah cahaya itu, sebuah raungan rendah yang membuat seluruh meridian bergetar. “Darah adalah kehidupan. Kehancuran adalah kelahiran kembali.”

Liang Chen berusaha menolak, tapi rasa sakit yang menembus tulang membuatnya tak mampu berpikir. Energi gelap dan cahaya merah itu mulai bertabrakan di dalam dirinya.

Tidak ada suara di dunia nyata, tetapi di dunia batinnya, benturan itu terdengar seperti ribuan guntur. Urat-urat merah meledak, menyemburkan percikan darah yang menguap di udara spiritual.

Ia merasa dirinya terbakar dari dalam. Darahnya sendiri mendidih, menimbulkan uap merah yang mengisi paru-parunya. Setiap napas terasa seperti menelan bara api. Ia menggeliat tanpa arah, mencakar tanah hingga jarinya berdarah.

Namun setiap tetes darah yang jatuh ke tanah bergetar dan melayang kembali ke tubuhnya, diserap oleh energi merah yang mulai memakan energi hitam.

Liang Chen berteriak tanpa suara. Ia melihat kabut hitam itu mencoba membungkus cahaya merah, tapi setiap kali bersentuhan, ia terbakar menjadi abu.

Namun setiap abu itu jatuh, serpihannya menusuk tubuhnya sendiri. Setiap kemenangan kecil dari cahaya itu adalah rasa sakit baru yang tak tertahankan.

Dalam kegelapan pikirannya, ia mulai kehilangan batas antara dirinya dan kekuatan yang bertarung di dalamnya. Apakah ia masih Liang Chen? Ataukah ia hanya wadah bagi sesuatu yang lebih tua, lebih marah, lebih lapar dari segalanya?

Dunia batinnya berdenyut. Suara-suara asing mulai muncul dari dalam darahnya sendiri, jeritan, tangisan, dan tawa yang menggema dalam bahasa yang tak dimengerti.

Ia menatap ke dalam cahaya merah di dadanya, dan untuk sesaat, ia melihat mata besar yang terbuka di sana, menatapnya kembali dengan pupil berputar seperti pusaran darah.

Mata itu berbicara tanpa suara, dan seluruh tubuhnya bergetar mendengarnya. “Engkau adalah kapal, engkau adalah pisau, dan engkau akan menebas langit yang menolakmu.”

Liang Chen mencoba berlari, tapi tak ada kaki di dunia batin itu. Ia hanya jatuh, tenggelam dalam sungai merah yang mulai meluap dari bawah. Cairan itu panas dan berat, mengalir di antara uratnya, mengisi rongga dada dan kepala. Ia menjerit, namun jeritannya tenggelam dalam arus itu.

Sungai itu semakin deras. Di dalam kesadarannya, Liang Chen terombang-ambing di antara gelombang darah yang seolah hidup. Setiap pusaran membawa bayangan wajah: wajah ayahnya yang tertembus serangan,

mata ibunya yang membeku dalam air mata, dan wajah-wajah penduduk desa yang hangus dalam api. Semua memandangnya, namun bukan dengan kasih, melainkan dengan permohonan yang tak terdengar, permohonan untuk menuntut balas.

Arus sungai itu menggulung tubuhnya tanpa ampun. Liang Chen berusaha menahan diri, tetapi semakin ia melawan, semakin kuat arus itu menariknya ke pusat pusaran. Di sana, di dasar yang tak terlihat, ada denyut besar yang berirama dengan detak jantungnya sendiri.

Setiap dentum membawa rasa sakit yang membuat penglihatannya merah. Setiap denyut menulis satu kalimat baru di dalam pikirannya: Aku hidup karena darah. Aku hidup karena amarah.

Rasa dingin dari energi Elder yang masih tersisa mulai pudar, tertelan panas yang datang dari inti tubuhnya. Dua kekuatan itu bertarung, memutar di dalam meridian yang patah, membuat tubuh fana Liang Chen bergetar di tanah.

Dari luka di dadanya, darah mulai memancar, tetapi sebelum menyentuh tanah, darah itu terhisap kembali ke kulitnya, berubah menjadi kabut merah gelap.

Di dunia nyata, udara di sekitar tubuhnya berubah. Api yang tersisa di reruntuhan desa berkedip-kedip, seolah takut oleh aura yang keluar dari tubuh anak itu. Batu di sekelilingnya retak, tanah bergetar ringan, dan binatang malam yang bersembunyi di hutan menjauh dalam diam.

Sementara itu, dari kejauhan, sosok Elder Inti Berputar berdiri di atas bukit kecil di tepi desa. Jubah hitamnya bergetar oleh angin malam, matanya menyipit menatap ke arah sumber aura yang berdenyut seperti jantung bumi.

Ia tidak percaya pada apa yang ia rasakan. Anak yang sekarat itu seharusnya telah mati; serangan yang ia lepaskan mampu menguapkan batu. Namun aura yang kini meluap dari tubuh anak itu bukan milik manusia, bukan pula milik makhluk yang masih mematuhi Langit.

Elder mengerutkan kening. Di antara pusaran energi merah yang naik ke udara, ia melihat siluet samar tubuh Liang Chen, masih terbaring tapi kini dikelilingi lingkaran cahaya berdarah.

“Warisan Asura…” gumamnya pelan. Nada suaranya bercampur antara keheranan dan ketakutan. “Jadi benar… darah kutukan itu masih hidup.”

Liang Chen tidak tahu bahwa dirinya sedang diawasi. Dalam dirinya, medan perang itu belum usai. Energi merah semakin kuat, menelan sisa-sisa energi hitam hingga lenyap.

Namun setiap kali energi hitam itu terbakar, Liang Chen merasa sebagian kesadarannya ikut terbakar. Ia merasakan sesuatu yang lain tumbuh di tempat itu: bukan pikiran, melainkan naluri, naluri untuk membunuh, untuk menghancurkan, untuk tidak tunduk.

Tiba-tiba sungai di dalam meridiannya meledak menjadi ribuan aliran kecil yang menyusup ke seluruh tubuhnya. Liang Chen memekik dalam diam, merasakan dagingnya menegang dan tulangnya bergetar.

Otot-ototnya meregang, tulangnya mengeluarkan suara retakan halus. Ia bisa merasakan setiap tetes darah mengalir cepat seperti kawanan ular panas yang menembus pembuluhnya. Tubuhnya sekarat, namun justru semakin hidup.

Mata batinnya melihat bagaimana sungai darah itu membentuk pola di sepanjang meridiannya, membakar jalur-jalur baru. Di tempat yang dulu tertutup, kini mengalir cahaya merah tua yang berdenyut seperti urat naga.

Dan di setiap denyutnya, Liang Chen mendengar bisikan Asura yang kian jelas: “Terimalah. Jangan takut pada luka, karena luka adalah pintu. Jangan takut pada amarah, karena amarah adalah kehidupan.”

Rasa sakit yang semula menindas berubah menjadi rasa candu. Liang Chen tidak lagi bisa membedakan mana penderitaan dan mana kekuatan.

Ia hanya tahu bahwa semakin ia membiarkan darah itu mengalir, semakin panas tubuhnya menjadi, dan semakin nyata dunia batinnya terasa.

Ia menatap tangannya yang terbakar cahaya merah, dan untuk sesaat, ia merasa seolah memegang kekuatan untuk menghancurkan langit yang menolaknya.

Namun di balik kekuatan itu, ada kehampaan yang merayap. Liang Chen masih manusia; bagian kecil di dalam dirinya berteriak ketakutan, memohon agar semua ini berhenti.

Tapi jeritan itu tertelan dalam lautan darah yang menggulung, hingga yang tersisa hanyalah sunyi.

Di puncak bukit, Elder memberi jarak beberapa langkah ke belakang. Aura Asura itu mengguncang udara, membuat energi spiritual di sekitarnya kacau. Ia tahu, jika mendekat sekarang, ia bisa saja hancur oleh kekuatan liar yang belum mengenal arah.

Ia memutuskan menunggu, membiarkan anak itu kehabisan tenaga sendiri. Dalam hatinya, ia berbisik, “Biarkan ia terbakar. Saat bara itu padam, aku akan memungut sisa warisannya.”

Di bawah langit yang memerah, Liang Chen terbaring dalam genangan darah yang tak mengering. Di dalam tubuhnya, sungai merah terus mengalir tanpa henti, mencari arah baru menuju jantung dan kepala.

Ia tidak tahu apakah ia masih hidup, tetapi setiap denyut membuat tanah di sekitarnya bergetar halus.

Di antara puing-puing yang membara, fajar menolak datang. Langit di atas Desa Hijau berwarna kelabu keunguan, seolah matahari pun enggan menatap tanah yang dipenuhi arang dan darah.

Liang Chen masih terbaring di tengah lingkaran batu yang retak. Dari dadanya, cahaya merah samar menyala, terkadang redup, terkadang berdenyut kuat seperti jantung kedua. Udara di sekitarnya berat oleh bau logam dan belerang.

Tubuhnya kaku. Ia tidak bisa menggerakkan jarinya, namun kesadarannya masih berputar di antara dua dunia. Di dalam dirinya, energi merah yang baru lahir menelan sisa energi hitam milik Elder Sekte.

Pertempuran yang tadinya seperti ribuan cambuk kini mereda, tetapi bukan menjadi damai, melainkan berubah menjadi keseimbangan yang berbahaya, seperti dua pedang yang menempel di ujungnya.

Liang Chen mendengar suara di dalam pikirannya, suara yang tidak memiliki wujud maupun arah. “Kau bukan makhluk lemah,” bisikan itu berkata. “Langit menolakmu, bumi menantangmu. Maka jadilah api yang tidak tunduk pada keduanya.”

Suara itu bukan manusia, dan Liang Chen tahu itu. Tapi dalam keadaan di mana hidup dan mati tidak berbeda, kata-kata itu terasa seperti napas. Ia tidak tahu apakah suara itu berbicara untuk

menyelamatkannya atau menghancurkannya. Ia hanya tahu, ketika ia mengikuti alunan suaranya, rasa sakit di dadanya berkurang, dan napas yang terputus mulai kembali.

Sementara itu, di kejauhan, Elder Inti Berputar masih berdiri tegak di bawah bayang awan hitam. Matanya menyipit tajam. Dari jarak itu ia bisa melihat aura merah yang terus melingkari anak itu, seperti jaring darah yang menolak putus.

“Ini bukan teknik kultivasi,” gumamnya. “Ini… kelahiran kembali.” Ia menarik napas panjang, lalu mengatupkan tangan di belakang punggungnya.

Dalam hatinya, ketakutan mulai menyelinap. Ia pernah mendengar legenda tentang darah Asura, energi yang tidak mematuhi kehendak dunia, yang hanya muncul pada jiwa yang telah kehilangan segalanya.

Energi itu tidak bisa dikendalikan, tidak bisa dimurnikan. Ia hanya mengenal satu hukum: bertahan dengan menghancurkan.

Elder itu menatap liang waktu di tanah yang retak, melihat api kecil dari rumah-rumah yang telah lenyap. “Tidak… bukan sekarang,” katanya pada dirinya sendiri. “Bocah itu mungkin masih lemah. Tapi jika aku membunuhnya sekarang dan warisan itu bangkit, aku akan ikut terbakar.”

Ia menatap ke arah barat, ke arah pegunungan yang diselimuti kabut merah pagi, lalu memutar tubuhnya perlahan. Setiap langkah meninggalkan jejak debu hitam di tanah. “Aku akan kembali,” suaranya nyaris tak terdengar, tetapi udara bergetar saat ia melangkah menjauh. Dalam beberapa tarikan napas, sosoknya lenyap di antara kabut.

Di tanah, Liang Chen akhirnya menarik napas panjang pertamanya setelah sekian lama. Napas itu kasar dan terdengar seperti suara batu yang tergesek.

Ia tidak tahu bahwa Elder telah pergi. Tubuhnya masih gemetar, setengah mati, namun setiap detak jantungnya kini membawa percikan kecil energi merah ke seluruh tubuh.

Jalur meridiannya, yang selama ini tertutup, terbuka paksa. Tidak sempurna, tidak alami, tapi terbuka.

Energi Asura mengalir di sana, menggantikan Energi Samawi yang selama ini menolak dirinya. Tidak ada kedamaian di dalamnya, hanya desakan untuk hidup, walau dengan cara yang salah.

Liang Chen merasa hangat di ujung jarinya, lalu di lengannya. Ia bisa merasakan darahnya sendiri bergerak melawan arah normal, menyembuhkan luka-luka kecil, namun meninggalkan bekas seperti luka bakar di kulitnya.

Pikirannya perlahan menembus kembali ke dunia nyata. Api di sekitarnya mulai padam, menyisakan kabut asap dan abu. Ia memaksa matanya terbuka. Dunia tampak kabur, tetapi warna merah samar menutupi segala sesuatu.

Ia menatap ke arah tempat ayah dan ibunya gugur, hanya tumpukan batu, potongan kayu, dan debu yang tersisa. Tidak ada suara, tidak ada burung, tidak ada tangisan. Hanya kesunyian yang berdetak di telinganya seperti gema.

Liang Chen mencoba berbicara, tapi suara yang keluar hanyalah napas yang patah. Ia menggenggam tanah, menarik tubuhnya perlahan ke depan.

Setiap gerakan membuat tulangnya berderak, namun ia terus maju. Ia harus menyentuh sesuatu,apa pun,agar dirinya yakin masih ada di dunia ini.

Ia meraih potongan kain lusuh di antara abu. Warna merahnya pudar, tapi ia mengenalinya: kain pembungkus bekal yang ibunya bawa pagi itu.

Tangannya bergetar, tapi ia memeluknya di dada, di atas luka yang belum sembuh. “Aku hidup,” bisiknya pelan, suara hampir tak terdengar. “Aku masih hidup…”

Di dalam tubuhnya, sungai merah masih mengalir. Energi jahat yang tadinya menyerang kini lenyap, dimakan oleh energi Asura yang baru tumbuh.

Namun sungai itu tidak tenang. Setiap aliran membawa gema bisikan yang belum sepenuhnya sirna: Darah mereka adalah kekuatanmu. Dunia ini adalah altar. Bangkitlah, Liang Chen.

Angin malam berhembus lembut di atas desa yang hangus. Dari atas bukit jauh, sinar matahari pertama akhirnya muncul,

tapi warnanya tidak emas seperti biasa, melainkan merah tua, seolah langit sendiri mencerminkan darah yang telah tumpah. Liang Chen, setengah sadar, menatapnya lama.

Dalam sinar itu, matanya bergetar. Di balik warna hitam pupilnya, kilatan merah samar berdenyut sekali, dan seketika meredup.

Ia tidak tahu bahwa dunia telah mencatat momen itu, momen ketika seorang manusia fana menolak mati dan membuka meridiannya bukan dengan cahaya Langit, melainkan dengan darah.

Narasi menutup dengan sunyi yang panjang. Liang Chen tetap terbaring di tengah puing, memegang kain bekal ibunya. Tidak ada doa, tidak ada saksi, hanya angin yang lewat di antara reruntuhan.

Dan di bawah lapisan tanah yang dingin, Warisan Asura berdenyut perlahan, menunggu tubuh muda itu cukup kuat untuk menanggung kebangkitannya sepenuhnya.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!