Anindya Selira, panggil saja Anin. Mahasiswa fakultas kedokteran yang sedang menempuh gelar dokter Sp.Dv, lebih mudahnya spesialis kulit.
Dengan kemurahan hatinya dia menolong seorang pria yang mengalami luka karena dikejar oleh penjahat. Dengan terpaksa membawa pria itu pulang ke rumahnya. Pria itu adalah Raksa Wirajaya, pengusaha sukses yang memiliki pengaruh besar.
Perbuatan baiknya justru membuat Anin terlibat pernikahan paksa dengan Raksa, karena mereka berdua kepergok oleh warga komplek sekitar rumah Anin.
Bagaimana hubungan pernikahan mereka berdua?
Akankah mereka memiliki perasaan cinta satu sama lain?
Atau mereka mengakhiri pernikahannya?
Yuk baca kisah mereka. Ada 2 couple lain yang akan menambah keseruan cerita mereka!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cchocomoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu
Suara Bima membuyarkan lamunan Raksa, bisa-bisanya Raksa melamun disaat seperti ini. Sebelumnya Raksa terlihat santai, tapi saat akan menuju ke ruangan Anin, Raksa justru masih berdiam diri.
“Mau sampaikan berdiri disana? Ini sudah jam sepuluh lewat, dokternya pasti udah nungguin kita.” Saat Bima ingin melangkah, ia kembali berbalik, “Aku dan Larisa hanya akan menunggu di luar. Jadi apa yang menjadi keluhanmu katakan padanya, itu akan memudahkannya untuk menganalisa.”
Bima menarik tangan Larisa, meninggalkan Raksa yang masih berdiri melamun. Saat melihat Bima yang sudah menjauh, langkahnya bergegas menyusul Bima dan istrinya.
Raksa berjalan mengikuti Bima dari belakang, tentunya dengan raut wajah yang gelisah.
“Pak Raksa, saya perhatikan sejak tadi, kelihatannya sangat gelisah. Bapak kurang nyaman untuk konsultasi?” tanya Larisa yang sejak tadi memang memperhatikan Raksa yang kelihatan gelisah.
“Tidak bisa dipungkiri jika saya memang gelisah. Hanya saja saya belum siap jika apa yang saya tidak harapkan justru akan terjadi,” ungkapnya.
“Tidak perlu ada yang ditakutkan, kalaupun hal buruk terjadi, pasti ada hal baik dibaliknya. Hal baik dan hal buruk selalu berjalan berbarengan, jadi tetap yakin jika semua akan baik-baik aja.”
Raksa mengangguk sambil tersenyum, pantas saja Bima menikahi Larisa. Karena keduanya sangat dewasa, mereka berdua selalu berpikir positif.
“Ini ruangan dokter Anin, kamu bisa masuk sekarang. Kita berdua akan menunggu disini.”
Bima mengetuk pintu ruangan Anin, dan langsung membukanya sedikit.
“Dokter Anin, teman saya sudah sampai,” beritahu Bima yang hanya mengintip ke dalam.
“Suruh masuk aja, dok. Saya sedang memeriksa sesuatu,” balas Anin yang tidak terlihat di mejanya.
“Baiklah.” Bima melihat ke arah Raksa yang terlihat ragu untuk masuk. Melihat Raksa yang masih tidak bergerak, membuat kesabaran Bima menipis.
Bima menarik tangan Raksa dan mendorong masuk ke dalam ruangan Anin
“Hei!!!” pekik Raksa yang ingin protes.
Dengan gugup Raksa justru ingin membuka pintunya. Hanya saja Bima menahannya dari luar.
“Bima! Buka pintunya!!” Raksa menggedor-gedor pintunya.
“Tidak! Akan lebih baik kamu duduk dan menunggu dokternya. Tenang saja, aku tidak akan pergi, aku menunggu di luar.”
Raksa menghela nafasnya, sepertinya ia harus meyakinkan dirinya jika ini adalah jalan yang terbaik.
Brukk!!
Berkas yang dipegangnya jatuh ke lantai karena sangat terkejut.
“Raksa?” lirih Anin.
Mendengar suara yang sangat familiar baginya, mata Raksa membulat sempurna melihat Anin yang berdiri sekitar satu meter darinya.
“Jadi kamu orang yang dimaksud dokter Bima?” tanyanya yang melangkah mendekat.
Meskipun sangat terkejut, Anin masih bersikap profesional.
“Maaf, sepertinya aku salah ruangan.” Buru-buru Raksa ingin membuka pintunya.
Namun, Anin sudah lebih dahulu menahan pintunya. Ia berjalan perlahan hingga berdiri di depan Raksa dan membelakangi pintu, tujuannya agar Raksa tidak keluar.
“Tidak perlu berbohong, sudah jelas dokter Bima tadi memberitahuku.”
Anin teringat dengan laporan medis yang ia pelajari, lalu semua kenangan saat Raksa mengabaikannya. Bahkan saat ia ingin menyentuh tangannya Raksa selalu menepisnya dan berlalu pergi.
Perasaan Anin saat ini campur aduk, sangat sulit untuk dijelaskan. Sedangkan Raksa hanya diam, tapi tidak dengan detak jantungnya yang memburu.
Ketakutannya selama ini justru terbongkar tanpa sengaja. Semua yang ia sembunyikan, hari ini diketahui oleh Anin.
“Tidak bisakah kamu menjelaskan semuanya?” tanya Anin. Tangannya bergerak mengunci pintu, karena hari ini Anin tidak akan membiarkan Raksa pergi tanpa memberikan kejelasan untuknya.
Raksa memalingkan wajahnya, ia berasa seperti pencuri yang ketahuan oleh pemilik rumahnya. Diam tidak berkutik, mencoba mengalihkan rasa gugup dan khawatir ke arah lain.
Tidak ada jawaban dari Raksa, Anin berjalan mendekati Raksa. Bersamaan dengan itu, Raksa melangkah mundur untuk tetap menjaga jarak dengan Anin.
Anin begitu kesal karena Raksa masih saja menghindarinya. Tidak pikir panjang Anin meraih tangan Raksa, namun detik itu juga Raksa menepis tangan Anin sedikit kasar.
“Kumohon jangan bersentuhan denganku,” katanya yang menatap Anin. Mata yang menyiratkan luka, penyesalan dan kesedihan yang mendalam.
“Kenapa?”
“Aku tidak ingin kamu terluka, jadi akan lebih baik kamu menjauh dariku,” jelas Raksa.
“Kamu tau aku dokter. Seorang dokter pasti tau mana yang berbahaya atau tidak. Jadi kemarilah.” Anin mencoba mendekati Raksa.
Raksa masih tetap keras kepala, ia masih saja menghindar dari Anin. Dan saat ini Raksa sedang emosi karena Anin tidak bisa mengerti dirinya.
“Kumohon menjauh dariku!!” Suaranya meninggi, menatap tajam dengan nafas yang memburu ke arah Anin.
“Kali ini aku tidak akan menjauh! Please, kali ini saja, tolong katakan yang sebenarnya padaku.” Anin memohon agar kali ini Raksa mau mengatakan apa yang sebenarnya.
“Kamu pasti sudah membaca riwayat medisnya bukan? Dan itu sudah sangat jelas, lalu untuk apa aku harus menjelaskannya lagi? Sekarang lebih baik menjauh dariku! Aku tidak ingin kamu merasakan hal yang sama sepertiku!! Bahkan dokter yang sebelumnya tidak ingin menyentuhku!!”
Raksa sedikit terpancing karena sudah mulai emosi.
“Itu tidak benar, Sa!!” teriak Anin.
“Apa yang tidak benar? Semua dokter yang menanganiku semuanya memilih menjauh karena aku memiliki penyakit yang mereka semua tidak bisa mengatasinya!!”
“Itu salah!!” tukas Anin dengan mata yang memerah menahan air matanya.
“Jangan mencoba memberikan aku harapan palsu!”
“Aku serius!!” Anin terus mendekati Raksa, meskipun Raksa terus mencoba menjauh darinya.
Anin mencoba meraih tangan Raksa kembali, masih dengan sikap yang sama. Raksa terus menepis tangan Anin.
Melihat ada ranjang di belakang Raksa, Anin seperti mempunyai kesempatan agar Raksa tidak terus-terusan menghindarinya.
Anin terus berjalan maju, sedangkan Raksa berjalan mundur. Hingga sampai akhirnya Raksa tidak bisa melangkah mundur karena belakangnya ada ranjang yang menghalanginya.
Dengan terpaksa Anin mendorong tubuh Raksa hingga jatuh ke ranjang. Anin segera menindih Raksa.
Raksa terkejut dengan apa yang dilakukan Anin. Terlebih lagi Anin memegang kedua tangannya agar tidak memberontak.
“Menyingkir dari tubuhku!!” sentak Raksa agar Anin menjauh darinya.
“Tidak akan! Aku akan membuktikan jika kita bersentuhan seperti ini, tidak akan ada yang terjadi.”
“Jangan macam-macam—” Raksa membelalakan matanya saat Anin tiba-tiba mencium bibirnya.
Aku sudah tidak bisa menahan diriku lagi, aku sangat merindukanmu. Bahkan ciuman pertamaku selalu aku jaga, agar suatu saat bisa kuserahkan padamu, batin Anin.
Andai saja Raksa memberitahu dirinya sejak awal, mungkin saja kesepian dan penderitaan yang mereka alami lima tahun ini tidak akan pernah terjadi.
Sayangnya nasi sudah menjadi bubur, dan mereka berdua sudah melewatinya.
Anin mencurahkan semua apa yang dirasakan hatinya melalui ciumannya. Untuk Raksa sendiri awalnya tidak membalas ciuman Anin, namun Anin mempunyai caranya sendiri agar Raksa membalas ciumannya tanpa ragu. Justru sekarang Raksa yang mendominasi ciuman mereka.
suamiku jg ada tapi ga nular tapi juga ga sembun sampe sekarang aneh segala obat udah hasil ya sama ,