NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Little Devil

Azey mendekat dengan langkah santai, senyum menggoda menghiasi wajahnya. “Masih mau pulang, Sayang?”

Taeri memalingkan wajah, pura-pura acuh. “Ngapain kamu ke sini? Emangnya harus nguntit ke mana pun aku pergi?” Nada kesalnya tak bisa menyembunyikan detak jantung yang mulai kacau. Ia masih tak percaya pria itu benar-benar muncul membawa sepatu pink seperti janji Pricilla. “Udah, buruan kasih sini! Kalau cuma mau pamer, mending buang aja ke selokan,” ujarnya, berusaha menutupi rasa malunya dengan ketus.

Azey menyerahkan sepatu itu tanpa komentar, lalu menatapnya tajam. “Lindungi lutut dan sikumu, Sayang. Arena itu bukan ranjang tempat kita bercinta,” ucapnya dengan nada vulgar yang membuat Taeri terbelalak.

Taeri nyaris tersedak udara. “Astaga, kenapa kau nggak ditabrak mobil aja tadi?” sumpahnya dalam hati. “Bisa-bisa orang ngira aku wanita murahan gara-gara mulutmu itu.”

Pricilla menahan tawa di balik tangan, menyaksikan interaksi dua majikannya yang seperti adegan drama absurd. Dalam hati, ia bersyukur. Hubungan mereka mulai mencair, meski masih dipenuhi ejekan dan sindiran. Diam-diam ia berdoa, Semoga Tuan dan Nona betah bersama kami. Hanya Nona yang bisa membuat Tuan terlihat seperti manusia, bukan mesin dingin berjas mahal.

Sang manajer, yang tadi nyaris pingsan karena amarah Taeri, kembali dengan dua pelindung lutut dan siku. Ia menyerahkannya dengan tangan gemetar. Namun Azey langsung mengulurkan tangan. “Berikan padaku,” ucapnya datar.

“I... ini, Tuan,” jawab manajer gugup, menyerahkan perlengkapan itu seperti menyerahkan nyawa.

Tanpa banyak bicara, Azey berlutut di depan Taeri dan mulai memakaikan pelindung itu satu per satu. Taeri mundur setengah langkah, jantungnya seperti hendak melompat keluar dari dada. “Azey, apa yang kamu lakukan? Aku bisa pakai sendiri,” bisiknya panik. Ia tahu betul siapa pria itu sosok berpengaruh di Roma, bukan tipe yang bisa berlutut di depan siapa pun, apalagi di tempat umum.

Tapi Azey tak menggubris. “Selesai. Sekarang, bermainlah,” ujarnya santai, seolah baru saja melakukan hal sepele.

Pricilla, yang sudah siap lebih dulu, menghampiri Nona mudanya dengan senyum sopan. “Ayo, Nona. Kita langsung masuk ke arenanya.”

Taeri buru-buru mengangguk. Ia sudah tak kuat berdiri terlalu lama di dekat Azey. “Iya, Pici. Aku juga udah nggak sabar,” jawabnya cepat, mencoba menyembunyikan kegugupan yang membakar pipinya.

Pricilla meraih lengannya dan mengarahkannya ke arena. Taeri melangkah pelan, sedikit gemetar. Ini adalah pengalaman pertamanya, dan entah kenapa, rasanya seperti sedang meluncur ke arah bencana yang manis.

Pricilla turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangannya dengan penuh kesabaran. “Ayo, Nona, pelan-pelan saja. Turunkan kaki kanan lebih dulu,” ucapnya lembut, seolah sedang menenangkan anak kecil yang keras kepala.

Taeri menurutinya, meski langkahnya masih goyah. Sepatu licin itu hampir saja membuatnya terjatuh. Ternyata, permainan ini jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. “Kenapa mereka bisa gampang banget nari-nari di atas es?” gumamnya sambil menunjuk seorang wanita yang meluncur anggun di tengah arena. Ia mendengus kesal, “Giliran aku nyoba, baru turun aja udah mau nyungsep.”

Pricilla tersenyum geli. Ia tahu betul, Nona mudanya bisa ramah, tapi kesabarannya setipis tisu toilet. Dengan sabar ia kembali mengarahkan, “Nona tidak boleh kaku.” Tangannya mengatur posisi tubuh Taeri, lalu melanjutkan, “Tarik napas dulu, tekuk sedikit lutut. Habis itu, dorong. Saya akan menjaga Nona dari belakang.”

Taeri mencoba mengikuti. Walau masih goyah, ia berhasil meluncur setengah meter tanpa terjatuh. Matanya berbinar, tak percaya pada dirinya sendiri. “Wahhh, ternyata aku bisa! Pricilla, lihat ini!” serunya riang, lalu meluncur sekali lagi. “Seru banget, Pici! Sekarang kamu meluncur ke sini, biar kita bisa pegangan tangan,” pintanya penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.

Di tepi arena, Azey berdiri tenang. Tangannya bersilang di dada, tatapannya dingin namun penuh intensitas. Ia memperhatikan Taeri yang tertawa bersama Pricilla, wajahnya bercampur antara kesal dan kagum. Dalam hati, ia tahu Taeri bukan gadis yang mudah menyerah, meski mulutnya tak pernah berhenti mengeluh dan mengejek.

Azey bergumam pelan, suaranya nyaris seperti bisikan iblis, “Dia benar-benar orang yang tidak pernah tunduk pada siapa pun… bahkan pada dirinya sendiri. Itu yang membuatmu berbeda, Iblis kecil.”

Saat Azey hendak meninggalkan arena menuju markas, langkahnya terhenti oleh sosok wanita paruh baya yang datang bersama seorang gadis muda, masih bersemu dingin setelah bermain ice skating. Azey berdiri kaku, tatapannya dingin, seolah menolak keberadaan mereka bahkan sebelum kata-kata terucap.

Wanita itu tersenyum sok akrab, mengulurkan tangan dengan percaya diri.

“Tuan Azey, astaga… sungguh kebetulan bisa bertemu Anda di sini,” serunya penuh antusias. “Izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Estechi Lefin, istri rekan bisnis Anda.”

Tatapan Azey hanya melirik sekilas, datar, tanpa sedikit pun niat menyambut.

“Enyahlah. Jangan mengganggu, Nyonya,” suaranya dingin, nyaris berbisik, namun cukup tajam untuk memotong udara. Ia memang bukan pria yang sudi berurusan dengan perempuan.

Estechi tersentak, wajahnya memerah oleh rasa malu. Namun gengsi menahannya untuk mundur. Dengan cepat ia menambahkan, berusaha menambal penolakan itu.

“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu Anda sedang tidak ingin diganggu. Tapi… ini putri saya. Dia mengagumi kesuksesan Anda sejak lama. Baru saja menyelesaikan studinya di London. Mungkin bisa menjadi teman bisnis Anda.”

Gadis itu, Evelyn Lefin, melangkah maju. Senyumnya lembut, matanya berkilat dengan kekaguman yang nyaris mendamba.

“Suatu kehormatan bisa bertemu Anda, Tuan. Saya Evelyn.”

Ia tak berani mengulurkan tangan, takut ditolak seperti ibunya. Namun Azey tetap diam. Tatapannya menelusuri wajah Evelyn dengan dingin, lalu berhenti pada sorot matanya dan yang ia tunjukkan hanyalah jijik. Senyuman Evelyn pun goyah, canggung, seakan seluruh keberanian yang ia kumpulkan runtuh di hadapan pria itu.

Taeri segera menyadari Azey sedang didekati dua wanita asing. Amarahnya meletup begitu saja. Meski ia membenci sikap semena-mena Azey terhadap dirinya, ada bagian kecil dalam hatinya yang tak rela melihat perempuan lain mendekat.

Pricilia, yang sudah hafal gelagat nona mudanya, menangkap tanda bahaya. Saat Taeri menoleh dengan tatapan berkilat, perintah itu meluncur dingin:

“Bantu aku, Pici. Si pria bodoh itu sedang diganggu ular kecil.”

Tanpa banyak tanya, Pricilia menurunkan sepatu Taeri. Gadis itu melangkah mantap ke arah Azey, siap memberi perhitungan pada dua wanita yang berani mengusik. Azey hanya tersenyum geli, seolah menikmati ledakan emosi iblis kecilnya.

Taeri tiba dengan senyum lembut, pura-pura ramah, “Wah, pasti rekan atau istri rekan bisnis Azey, ya,” ucapnya pelan, lalu menoleh pada Evelyn. “Dan ini putri Anda. Sepertinya pembicaraan kalian serius sekali. Boleh saya ikut bergabung? Walaupun saya tidak paham soal bisnis.”

Evelyn dan ibunya saling pandang, bingung dengan gadis Korea yang muncul begitu akrab dengan Azey. Evelyn menatap Taeri penuh penilaian, enggan kalah cantik di depan pria itu. Ia tertawa kecil, nada suaranya mengandung racun.

“Kalau boleh tahu, Anda siapa? Rekan bisnis juga, atau… hanya sekretarisnya?”

Taeri tetap tersenyum. Ia tahu Evelyn sedang berusaha memojokkan posisinya. Dengan tenang, ia melangkah lebih dekat, tatapannya menelusuri Evelyn dari ujung kaki hingga kepala.

“Oh… saya bukan rekan bisnis,” ucapnya dingin. “Saya terlalu muda untuk itu. Dan saya juga bukan sekretaris. Posisi itu terlalu rendah untuk seseorang yang tahu setiap kebiasaan pribadi Azey.”

Ia kemudian mencondongkan tubuh, berbisik gelap di telinga Evelyn, namun sengaja cukup keras agar semua mendengar:

“Saya kekasihnya. Orang yang setiap malam menyaksikan bagaimana gilanya dia saat menahan kenikmatan.”

Evelyn membeku, matanya terbelalak tak percaya mendengar ucapan lancang Taeri. Ia mencoba menekan dengan nada meremehkan, berbisik penuh ejekan:

“Kau lucu sekali. Kau pikir orang akan percaya cerita murahan seperti itu? Aku mengenal Tuan Azey, dia tidak mudah disentuh.”

Senyum sinis Taeri semakin melebar, hasratnya untuk mempermalukan Evelyn membara. “Benarkah?” bisiknya dengan nada mengancam. “Baiklah, akan kubuktikan di depan matamu.”

Dengan langkah anggun namun penuh perhitungan, ia mendekati Azey. Pria itu menatapnya dengan seringai misterius, seolah menantikan permainan berbahaya. Taeri berhenti tepat di hadapannya. Tangannya terangkat, membelai pipi Azey dengan lembut, lalu melirik Evelyn sekilas sebelum menempelkan bibirnya pada Azey dengan ganas, melumatnya di depan semua orang.

Evelyn terpaku, darahnya mendidih. Tak pernah ia bayangkan ada wanita segila Taeri yang berani menyentuh Azey di depan umum. Namun yang paling menghancurkan adalah kenyataan: Azey membalas ciuman itu, liar, penuh nafsu, seakan menegaskan kepemilikan. Taeri melepaskan ciumannya, napasnya memburu. Azey menatapnya dengan sorot gelap, penuh hasrat yang tak disembunyikan.

Evelyn menelan ludah, berusaha menahan emosi yang membuncah. “Cukup, Nona. Sekarang aku percaya kau kekasih Tuan Azey,” ucapnya getir. “Tapi kau tahu? Cara kau menjual dirimu di depan semua orang… sangat menjijikkan.”

Mata Taeri langsung menajam, tatapan berkilat penuh ancaman. Azey menoleh pada Evelyn dengan sorot membunuh, marah karena berani menghina wanitanya.

Estechi, yang merasakan bahaya mengancam putrinya, segera bereaksi. Dengan nada membentak, ia berusaha menghentikan Evelyn sebelum Azey benar-benar bertindak. “Sudah cukup! Kau sudah bicara terlalu banyak!” bentaknya, lalu menoleh pada Azey dan Taeri dengan wajah memelas. “Tuan, maafkan putri saya. Dia terlalu lancang. Saya benar-benar malu. Kami permisi dulu.”

Ia menunduk hormat, lalu buru-buru menarik tangan Evelyn, menyeretnya pergi sebelum sesuatu yang buruk menimpa mereka atau perusahaan yang mereka sandarkan.

Begitu Evelyn dan ibunya menghilang dari arena, keheningan merayap kembali. Semua mata tertuju pada Taeri dan Azey yang masih saling berpelukan. Saat Azey hendak mengusap pipinya, Taeri menepis cepat, sorot matanya penuh amarah. Ia masih tersinggung karena Azey hanya diam ketika Evelyn menghina dirinya.

“Baru sekarang kau bereaksi?” Taeri mendesis, suaranya tajam. “Saat wanita itu mengejekku kau hanya bisa menonton. Kau baru bergerak ketika aku menciummu. Dasar pria cabul tak berguna!” Dengan gerakan kasar ia melepaskan diri, lalu bergegas keluar arena, meninggalkan Azey yang tertegun.

Azey berdiri membeku sejenak, sebelum bibirnya melengkung tipis. “Pria cabul, ya?” gumamnya geli. Ia teringat bagaimana Taeri tadi dengan berani mengakuinya sebagai miliknya. “Iblis kecil… kau sendiri yang tak tahu malu, lalu sekarang pura-pura malu.” Senyum itu bertahan saat ia melangkah pergi.

Udara luar menyambut dengan dingin menusuk; salju turun semakin lebat. Pricilia, yang berjalan di belakang, segera menghampiri nona mudanya. “Nona, apakah Anda akan pulang bersama Tuan, atau masih ingin berjalan-jalan?” tanyanya lembut.

Taeri membuka mulut, namun suara datar Azey mendahului, penuh kepastian: “Dia akan pulang denganku.”

Pricilia buru-buru menunduk patuh. Taeri menoleh cepat, matanya menyala tajam ke arah Azey, seolah ingin mencekik pria yang selalu seenaknya itu. “Kau memang tak pernah berubah, Azey,” ucapnya sinis. “Selalu memerintah, seolah dunia ini harus tunduk pada kata-katamu.”

Azey menatap Taeri lama, sudut bibirnya terangkat pelan. Gadis itu kembali ke mode yang selalu membuatnya ingin menaklukkannya. Ia berbisik dingin, nyaris seperti tantangan: “Memerintah?”

Tanpa memberi kesempatan, Azey mendekat dan mengangkat tubuh Taeri paksa ke dalam pelukannya.

Taeri tersentak, matanya melebar. Ia menekan dada Azey dengan marah.

“Turunkan aku, pria bodoh! Kenapa kau selalu suka mengangkat tubuhku seolah aku ini mainanmu?”

Azey tetap bergeming, wajahnya dingin, membuat Taeri semakin frustrasi. Dengan geram, ia menggigit dada Azey keras, lalu berteriak penuh ancaman: “Dasar pria mesum gila! Kau pikir tubuhku ini karung beras? Cepat turunkan aku, atau akan kugigit telingamu sampai putus!”

Azey berhenti sejenak, menatapnya dengan tatapan dingin. “Sudah selesai?” tanyanya datar, seolah semua teriakan itu hanyalah angin lalu.

Taeri tak menjawab. Ia hanya menatapnya penuh permusuhan, sayangnya, raut wajahnya terlihat begitu menggemaskan dalam amarah itu. Azey mendengus kecil, lalu tanpa pikir panjang membawanya menuju mobil, seakan dunia memang harus tunduk pada kehendaknya.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!