Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bibit Masa Depan yang Kejam
“Sekarang, kita harus ke Kota Agung. Itu satu-satunya tempat aku bisa menemukan kebenaran ini dan menghancurkan jaringan mereka dari pusat Kekaisaran,” tutup Yasmeen, tatapan matanya mengeras. Ia harus memastikan stabilitas Nayyirah sebelum berangkat, dan mayat politik Zahir telah membusuk terlalu lama.
Ia memerintahkan Khalī Tariq untuk membawa Sayyid Zahir dari penahanan rumah tangganya, bukan ke Aula Agung yang penuh kemuliaan, tetapi ke Ruang Arsip Istana—ruangan yang paling dingin, lembab, dan tanpa ornamen, di mana tidak ada tempat untuk martabat yang tersisa. Udara dipenuhi aroma kertas tua dan debu sejarah.
Sore itu, persidangan singkat dan informal terjadi. Ini adalah pengadilan seorang Emirah, bukan pengadilan Kesultanan. Wazir Khalid duduk di meja sempit sebagai pencatat, matanya kelelahan tetapi waspada. Tariq berdiri diam di belakang Yasmeen, siap menjalankan perintah. Zahir diseret masuk oleh dua pengawal elit. Pakaiannya lusuh, dan wajahnya menunjukkan percampuran rasa takut yang telanjang dan kebencian yang mendalam.
Zahir tertawa sinis, suara yang lebih menyerupai ringkikan kering. "Jadi, kau sekarang seorang Hakim, Sayyidah kecil? Apa hukuman untuk pria yang mencampakkanmu ini? Hukuman mati? Jangan lupa aku Ayah kandungmu, darah dagingmu!"
Yasmeen mencondongkan tubuh ke depan. Ia berbicara dengan suara otoritas yang tenang, yang jauh lebih menakutkan daripada kemarahan yang meluap. Di matanya, Zahir bukan lagi keluarga; dia adalah variabel yang harus dihilangkan. Kau hanyalah noda statistik.
“Sayyid Zahir, mari kita tidak membuang waktu. Pengkhianatanmu tidak hanya meliputi upaya meracuni ahli waris sah dan rencana menjual aset vital Oasis Azhar yang kau buat dengan Al-Mustafa,” ujar Yasmeen. “Surat yang kau gunakan untuk menyuap Permaisuri Hazarah adalah ancaman yang jauh lebih besar. Kami menemukan bukti pagi ini—dokumen palsu yang kau gunakan untuk mengalihkan dana perdagangan perak ke akun kabilah Al-Muntasir. Kau bukan hanya serakah; kau mendanai pemberontak di jantung gurun.”
Wajah Zahir pucat pasi. Transfer dana perak itu adalah bukti kejahatan yang paling substansial dan fatal, mengonfirmasi pengkhianatan militer yang disembunyikan. Ia mengira telah menyembunyikan detail ini dengan sempurna.
"Omong kosong! Tuduhan anak-anak yang hanya didasarkan pada fantasi kekuasaan!" bentak Zahir, mencoba mendapatkan kembali kendali. "Ini fitnah! Kesultanan tidak akan mengizinkan penghinaan ini!"
“Ayah yang menyewa Faris untuk mencoba meracuniku. Ayah yang menggunakan racun yang secara tidak sengaja hampir membunuh putrimu yang lain, Ruqayyah,” Yasmeen memotongnya cepat. “Aku menghakimimu atas dasar hukum Negara. Pengkhianatan tingkat tinggi terhadap Emirat dan Kesultanan, didukung bukti transfer dana dan dokumen bayangan Oasis Azhar.”
Saat Zahir tidak bisa lagi menyangkal, pintu kayu berat Ruang Arsip terbuka. Mehra masuk, mengenakan gaun paling sederhana, matanya sembab. Langkahnya dipaksakan mantap—seorang ibu yang harus berjuang.
Zahir membelalak. "Mehra? Kau! Beraninya kau—" Pengawal dengan cepat menahannya.
"Mehra, jelaskan kepada Wazir dan kepada Sayyid Zahir, bagaimana kau menemukan kotak racun itu?" tanya Yasmeen.
Mehra mengambil napas gemetar. "Saya... saya tahu Sayyid Zahir memiliki ambisi untuk kekayaan, tetapi saya tidak pernah tahu itu akan menyakiti anak-anaknya sendiri. Ketika saya menemukan kotak kosong itu di laci kamarnya, dia mengatakan itu untuk memastikan Sayyidah Yasmeen lemah agar segera dibawa pergi oleh Permaisuri," suara Mehra bergetar hebat, namun kata-katanya sangat jelas. "Saya tidak bisa membiarkan itu. Saya hanya ingin memastikan Zain dan Ruqayyah selamat."
Sangat bagus, Nyonya Mehra, pikir Yasmeen. Mehra berhasil menjadikan dirinya korban, seorang ibu yang putus asa, bukan kaki tangan. Ia meminta agar anak-anaknya diizinkan hidup damai dan Zahir pergi jauh.
“Aku sudah mengambil keputusan,” kata Yasmeen. "Wazir Khalid, catat ini dengan seksama."
"Sayyid Zahir, atas tuduhan Pengkhianatan Tinggi terhadap kedaulatan Nayyirah, kolusi dengan faksi pemberontak, dan upaya kriminal terhadap pewaris sah Emirat, kau tidak akan dihukum mati." Rasa lega singkat melintas di wajah Zahir, tetapi Yasmeen melanjutkan dengan kejam.
"Sebaliknya, kau dijatuhi hukuman pengasingan. Semua gelar, aset, dan hak kepemilikanmu disita sepenuhnya dan dikembalikan ke kas Nayyirah. Termasuk tunjangan tahunan dari Kekaisaran. Kau tidak memiliki apa pun selain pakaian di punggungmu. Ini adalah Kematian Politik."
Zahir meraung. “Kau tidak bisa mengambil segalanya! Aku Ayahmu! Hukum tidak mengizinkan ini!”
"Hukum Emirah mengizinkannya, karena kau mengkhianati darah Nayyirah," balas Yasmeen tajam. "Kau akan diasingkan ke perkebunan tua Kaskar di gurun timur. Kau akan tinggal di sana sampai akhir hayatmu. Hari ini juga."
Ia kemudian menoleh kepada Mehra. "Nyonya Mehra, kau dan kedua anakmu, Zain dan Ruqayyah, akan dikirim ke kediaman lain, dua jam perjalanan dari Kaskar. Nayyirah akan memberikan dana pemeliharaan. Tetapi kau dilarang membawa Zain ke pusat Emirat, dilarang mendaftarkannya dalam sistem suksesi, atau menghubungkannya dengan Kota Agung. Anak-anakmu tidak akan menjadi pewaris Emirat."
Mehra mengangguk cepat, lega campur terima kasih.
Zahir meronta-ronta di pegangan pengawal, berteriak. “Kau akan menyesalinya! Aku akan kembali! Atau setidaknya… putramu akan kembali!”
Tepat pada saat itu, sebuah suara kecil terdengar. Zain, yang baru berusia lima tahun, telah mengikuti ibunya. Ketika Zahir digiring paksa oleh Tariq, Zain mengalihkan pandangannya kepada Yasmeen. Wajah kecil itu kosong, tetapi Yasmeen melihat bayangan musuhnya di masa depan.
Zahir berjuang, tangannya terentang ke arah Zain saat ia diseret keluar pintu. “Ingat ini, Nak! Jangan biarkan dia menang! Dia… dia akan menjadi musuhmu!”
Zain hanya berdiri. Mehra meraih tangannya, memaksanya keluar. Namun, sebelum ibunya berhasil menariknya sepenuhnya, Zain berhenti. Ia menoleh ke arah Yasmeen, dan dengan nada yang ia tiru persis dari Ayahnya beberapa saat yang lalu, bocah lima tahun itu berbisik, dengan presisi yang menakutkan:
“Kau tidak bisa mengambil segalanya.”
Yasmeen membeku. Ia melihat bibit masa depannya yang kejam, musuhnya yang tumbuh dari kepingan keruntuhan yang baru saja ia ciptakan. Ia merasa energinya terkuras habis.
Khalī Tariq segera kembali, setelah memastikan pengasingan Zahir dimulai. "Zahir dan Mehra sudah diamankan, Sayyidah. Kami sekarang hanya punya dua hari lagi untuk bersiap."
"Aku akan mengumumkan penunjukanmu, Tariq. Secara resmi," kata Yasmeen. "Kau bukan hanya Kepala Pengawal lagi. Aku akan menunjukmu sebagai Emir Wakiil—Penguasa Sementara Nayyirah, dengan wewenang penuh atas militer dan administrasi sampai aku kembali. Ini adalah mandat mutlak."
Tariq tersentak. "Posisi itu adalah posisi politik yang besar, Sayyidah. Akan memprovokasi kemarahan para Wazir lama!"
“Biarkan mereka marah. Ini adalah pesan kepada Hazarah dan Harith: mereka tidak akan pernah memiliki Nayyirah,” jawab Yasmeen, puas. Ia kemudian menatapnya dengan urgensi dan tekad yang kejam. "Harith akan mengujiku. Tapi ada satu bahaya yang harus kuwaspadai lebih dari ancaman fisik, Khalī."
"Bayangan terbesar adalah apa yang akan mereka gunakan untuk mengikatku padanya," bisik Yasmeen. "Di Kota Agung, ada Sayyid Malik, Pangeran yang dulunya… aku cintai."
Ia mengambil napas dalam-dalam. "Jika kau melihat Pangeran Malik, pastikan aku bertindak menjengkelkan, arogan, sombong, atau bahkan menghinanya. Kau harus menjadi saksi. Aku harus menjadi wanita yang tidak bisa ia cintai. Jika Malik mencintaiku lagi, ia akan terlibat dalam takdirku dan dihancurkan oleh musuhku. Aku tidak bisa membiarkan sejarah berulang. Aku harus memastikan aku membuat Pangeran Sayyid Malik membenciku hingga ke tulang-tulangnya. Apakah kau mengerti, Khalī Tariq?"
Tariq mengangguk berat, menghormati pengorbanan emosional itu. "Saya mengerti, Sayyidah. Saya akan bersiap-siap untuk berangkat. Kita harus bergegas."
Dua hari kemudian. Kafilah kecil Yasmeen, dikelilingi oleh pasukan Al-Jarrah dan pasukan loyal Nayyirah yang dipimpin oleh Khalī Tariq, tiba di cakrawala Kota Agung Azhar.
Saat mereka mencapai gerbang perunggu besar, yang seharusnya dipenuhi pengawal istana yang angkuh dan formasi sambutan resmi, Yasmeen melihat kekacauan yang tersembunyi. Tidak ada karpet merah; hanya prajurit dan pelayan yang bergegas, wajah mereka dipenuhi ketakutan.
Dari balik formasi yang kacau itu, Wazir Adil berlari terengah-engah ke arah Yasmeen, melupakan etika formal menyambut tamu. "Yang Mulia Sayyidah Nayyirah, Anda harus kembali!" seru Wazir Adil, wajahnya benar-benar ketakutan. "Kota Agung sedang—"
Tiba-tiba, teriakan wanita yang memekakkan telinga datang dari dalam istana, disusul suara tangisan dan kehancuran. Wazir Adil membungkuk dalam, tubuhnya gemetar hebat, dan ia berbisik kepada Yasmeen:
"Kota Agung tidak siap menyambut tamu, Sayyidah. Dua jam yang lalu, di tengah sesi pengadilan internal, Sultan—ayahanda Emir Harith, terkena serangan yang sangat serius dan sekarang dalam kondisi koma."