Rumah tangga yang baru dibina satu tahun dan belum diberi momongan itu, tampak adem dan damai. Namun, ketika mantan istri dari suaminya tiba-tiba hadir dan menitipkan anaknya, masalah itu mulai timbul.
Mampukah Nala mempertahankan rumah tangganya di tengah gempuran mantan istri dari suaminya? Apakah Fardana tetap setia atau justru goyah dan terpikat oleh mantan istrinya?
Ikuti kisahnya yuk.
IG deyulia2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Nala Masih Mendiamkan Dana
Nala sudah bersiap untuk pergi ke toko pagi ini. Dia lebih memilih sibuk atau berdiam diri di toko daripada di rumah. Kekuatannya kini hanyalah pada sang jabang bayi yang masih baru beberapa minggu berada dalam rahimnya.
Meskipun sebagai perempuan muda yang baru merasakan hamil, rasanya dia ingin cengeng karena bersamaan dengan kehamilannya, ujian tiba-tiba datang, seperti ingin seharian menangis dan meratap.
"Kamu harus menjadikan mama kuat dan tidak nangis, ya, Nak. Meskipun pada kenyataannya mama ingin rasanya menjerit-jerit dan menangis. Mama tidak ada yang membela, baik Papa atau nenek dari papamu. Mereka tidak mengerti perasaan mama," bisiknya lagi pada perut rata yang dia usap-usap lembut.
"Sayang, kamu mau ke toko? Apakah kamu sudah benar-benar sehat?" Dana tiba-tiba masuk ke dalam kamar, mendapati Nala sedang termenung sembari membelai lembut perutnya.
Nala terkejut, lalu ia segera bersiap untuk pergi. Pertanyaan Dana, tidak ia jawab. Tentu Dana tahu kalau dia sudah rapi sepagi ini, itu artinya dia akan pergi ke toko.
"Sayang, aku antar ke toko. Biar nanti pulang kerja, aku langsung jemput kamu di toko," tahan Dana sambil meraih lengan Nala. Sayangnya, Nala langsung melepaskan lengan Dana pelan.
"Nala pergi, assalamualaikum." Nala buru-buru keluar dari kamarnya. Sementara Dana hanya menatapnya kecewa. Nala masih marah padanya, dia sudah tidak mau biacara dengannya.
Deru motor terdengar, tandanya Nala sudah pergi.
"Ya ampun Nala, semakin dibuat bingung saja aku dengan sikapmu. Sekarang Raina tidak ada di rumah ini, tapi sikapmu malah mendiamkan aku," gumamnya sembari mengusak rambutnya kasar.
Setelah kepergian Nala, Dana pun bersiap untuk ke kantor Pusdik. Pikirannya yang masih semrawut, berusaha ia lupakan sejenak.
Tiba di kantor, sikap Dana yang diam dan gelisah mengundang rasa heran salah satu rekan satu ruangan, yakni Bu Azizah. Bu Azizah merupakan bawahan Dana. Walaupun ASN satu itu merupakan bawahannya, di luar kedinasan mereka ternyata luwes dan tidak ada gap antara bawahan atau atasan, terlebih usia Bu Azizah enam tahun lebih tua darinya.
"Pak Kapten kalau saya perhatikan sudah beberapa hari ini, bawaannya mendung saja. Ada apa gerangan nih? Ada masalah dengan orang rumah?" goda Bu Azizah penasaran.
Dana tidak menjawab, dia hanya duduk bersandar di kursinya sambil menghela napas kasar.
Hal itu justru membuat Bu Azizah semakin dilanda curiga, bahwa dugaannya benar adanya.
"Ya ampun, kenapa lagi dengan Bapak kita satu ini. Mudah-mudahan bukan perkara yang sama dengan lima tahun yang lalu," ceplos Bu Azizah sembari menutup mulutnya di penghujung kalimat.
Tentu saja Dana paham dengan yang dimaksud ASN satu itu. Masalah yang pernah menimpanya lima tahun lalu, kini disinggung Bu Azizah. Karena bukan rahasia lagi, perceraian Dana dengan Devana yang dipicu oleh dugaan perselingkuhan Devana, sudah diketahui rekan satu kesatuan.
"Maaf, saya mengungkit lagi masalah itu." Bu Azizah meminta maaf dengan wajah yang merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, Bu. Bu Azizah tidak usah merasa tidak enak karena sudah menyinggung perkara lima tahun yang lalu yang menimpa rumah tangga saya. Tapi, kali ini bukan masalah perselingkuhan, melainkan...."
Dana tidak melanjutkan kalimatnya, dia buat menggantung kalimat itu, membuat Bu Azizah dilanda penasaran.
"Melainkan apa?"
"Sebetulnya masalah yang saya hadapi, memang berkaitan dengan mantan saya. Jadi, setelah lima tahun berpisah, dia tiba-tiba datang membawa putri semata wayang kami untuk dititipkan karena putri kami kebetulan sedang libur panjang sekolah," tutur Dana. Beberapa saat ia berhenti.
"Lantas apa masalahnya, kan bagus dia sudah menitipkan putrinya pada Pak Kapten. Bukankah selama ini seperti yang Pak Kapten sering katakan, bahwa mantan istri tidak mau mempertemukan putri Bapak dengan Bapak. Sekarang harusnya Pak Kapten bersyukur, mantan istri sudah mau mempertemukan putrinya dengan bapak kandungnya," sergah Bu Azizah.
"Tapi, masalahnya bukan itu, Bu. Mantan istri saya ini, bersikap kurang semestinya. Dia suka masuk ke dalam rumah sesuka hati, persis tuan rumah dengan dalih di dalam rumah itu ada putrinya. Hal itu jadi pemicu masalah, sementara di dalam rumah ada istri saya yang merasa terganggu dengan sikap mantan istri saya," beber Dana lagi.
"Ohhh, seperti itu rupanya. Wajar sih kalau istrinya Pak Kapten merasa tidak suka atau terganggu. Kalau sudah mantan, harusnya dia jaga jarak. Jangan sampai memicu kisruh di dalam rumah tangga mantan yang baru."
"Itulah Bu. Saat ini saya serba salah dan bingung. Saya terjebak antara dua orang yang sama-sama penting dalam hidup saya. Anak saya dan istri saya."
Dana mendesah, melepaskan lelah yang dia rasakan.
"Kenapa harus serba salah. Lakukan saja kewajiban Pak Kapten sebagai ayah dan suami, karena hanya dua itu yang lebih penting daripada mantan istri," ujar Bu Azizah memberi pencerahan.
"Saya paham, Bu. Yang jadi masalahnya adalah mantan istri saya ini sangat nekat dan terlalu over, sehingga membuat istri saya tidak suka," dalih Dana.
"Nekad seperti apa maksudnya, saya belum paham sejauh ini," sela Bu Azizah.
"Mantan istri saya terlalu berani keluar masuk rumah dengan dalih karena ada anak kami seperti saya ceritakan di awal tapi. Ketika saya peringatkan, dia justru ngancam saya. Dia tidak akan lagi mempertamukan saya dengan putri saya lagi. Jadi, saya dari ancaman itu merasa takut, karena saya tidak mau dijauhkan lagi dengan putri semata wayang," jelas Dana lagi.
"Jadi, begitu ceritanya. Kalau bisa saya simpulkan, mantan istri Pak Kapten ini sepertinya memang tidak tahu menempatkan diri, padahal ia seorang Pengajar. Harusnya sih seorang Pengajar sudah barang tentu bisa menjaga sikap dan menghargai perasaan istri Pak Kapten."
"Itu dia, Bu. Saya jadi dilema akhirnya," tukas Dana masih muram.
"Jalan satu-satunya adalah, Pak Kapten yang harus tegas pada mantan istri. Jangan dibiarkan dia terlalu bebas masuk ke dalam rumah. Harusnya dia bisa menjaga perasaan istri Pak Kapten."
"Saya tahu, saya harus tegas. Tapi, itu tadi. Mantan istri saya akan mengancam dan kembali menjauhkan saya dengan putri saya," ujar Dana lagi. Raut wajahnya masih belum berubah, muram seperti tadi.
"Kalau seperti itu, rumit juga sih keputusan yang akan Pak Kapten ambil. Tegas mati anak, nggak tegas mati istri," peribahasa Bu Azizah mengakhiri obrolan mereka pagi ini.
***
Di lain tempat, Devana yang sudah mendapat teguran dari pihak sekolah, kini sikapnya lebih pendiam. Rasa malu itu memang ada, tapi apakah dia akan berubah atau masih tetap akan mengganggu hubungan Dana dan Nala?
"Gara-gara laporan si Nala, kini aku tidak senyaman dulu berada di sekolah ini. Akhhh, dasar istri baru Dana yang udik dan kampungan," ocehnya dalam hati.