NovelToon NovelToon
THE SECRET AFFAIR

THE SECRET AFFAIR

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Cintapertama
Popularitas:9.6k
Nilai: 5
Nama Author: Neon Light

Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.


Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.

Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.

“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”


Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32

Hati Serena terasa seolah dikoyak dari dalam. Setiap helaan napas membawa rasa sakit yang menyesakkan dada. Di hadapan Gaby, segalanya perlahan runtuh. Air matanya tumpah tanpa dapat dia bendung, merembes tanpa henti seolah ada luka yang tidak bisa ditutup.

Gaby merangkul Serena dengan satu lengan, berusaha menjadi sandaran yang sanggup menahan runtuhnya dunia sahabatnya itu. “Sudah, Serena. Tenang. Aku di sini. Jangan menangis lagi. Mata kamu sudah sangat bengkak, kamu terlihat sangat lelah.”

“Aku tidak mengerti, Gaby,” suara Serena pecah, bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku tidak tahu apa salahku. Aku tidak pernah berniat jahat pada siapa pun. Tapi kenapa semua orang dengan mudah menuduh dan menyakiti aku? Rasanya seolah dunia membenciku.”

Serena menghapus air matanya dengan punggung tangan, namun laju air itu tidak terhenti. Pipi yang memar dan merah karena luka yang masih segar menegaskan betapa kerasnya hari itu memperlakukannya. Matanya yang biasanya berkilau lembut penuh percaya diri, kini berubah merah dan tampak retak oleh kelelahan.

Gaby tidak menyela. Gadis itu hanya menepuk lembut bahu Serena, memahami bahwa tidak ada kalimat penghiburan yang benar-benar mampu menghapus luka hari ini.

Lalu langkah seseorang terdengar menghampiri. Suara yang begitu dikenalnya pun menyusul.

“Hai, Sayang.”

Gabriel berdiri di belakang mereka. Senyumnya langsung menghilang begitu melihat Serena dalam keadaan terpuruk. Tanpa menunggu penjelasan, dia duduk di sebelah Serena dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Serena,” panggil Gabriel dengan nada lembut, namun jelas menyimpan kegelisahan yang dalam. “Apa yang terjadi?”

Serena mendongak. Tatapannya bertemu tatapan Gabriel—yang selalu hangat, tenang, dan menjadi tempat dia pulang. Saat itu juga, pertahanan Serena runtuh dan air matanya mengalir lebih deras.

“Gabriel…” suaranya serak. “Aku tidak salah. Tapi aku dituduh seperti itu….”

Gabriel mengusap pipi Serena dengan ibu jarinya, sangat hati-hati agar tidak menyentuh luka sayatan yang masih memerah. “Aku tahu kamu tidak salah. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun sekarang. Menangislah kalau itu yang membuat kamu merasa lega. Aku di sini.”

Serena menyandarkan kepalanya pada dada Gabriel. Aroma yang menenangkan itu seolah membawa kehangatan ke dalam tubuhnya yang dipenuhi gemetar halus. Gabriel memeluk Serena dengan penuh kehati-hatian, seakan takut pelukan yang terlalu kuat akan membuat gadis itu semakin hancur.

Gaby menarik napas pelan. Dia memutuskan bangkit. “Serena, aku pergi dulu ke kelas. Aku akan kembali setelah ini.” Dia menepuk bahu Gabriel sebagai tanda menitipkan Serena padanya. Gabriel hanya mengangguk singkat, fokusnya hanya terarah pada wanita yang berada di pelukannya.

Butuh beberapa waktu sampai Serena merasa cukup kuat untuk berbicara. Ketika napasnya mulai teratur, dia melepaskan pelukan dan mengusap matanya perlahan.

Serena pun menceritakan semuanya dari awal. Tentang tuduhan yang muncul tiba-tiba. Tentang pesan yang tersebar. Tentang Alexandra yang menghajarnya di depan mahasiswa lain. Tentang rasa malu, marah, dan tidak berdaya yang bercampur menjadi satu.

Gabriel mendengarkan tanpa menyela. Dari detik pertama hingga detik terakhir.

Setelah Serena selesai, keheningan menggantung.

Gabriel menghela napas dalam. Wajahnya tampak menegang menahan amarah. “Serena, aku akan memastikan ini tidak dibiarkan begitu saja. Aku tidak bisa tinggal diam setelah melihatmu terluka seperti ini.”

Serena buru-buru menggeleng. “Tidak, Gabriel. Jangan membuat masalah menjadi lebih besar. Aku hanya ingin tahu siapa yang sudah menyebarkan semuanya. Aku tidak ingin ada pertengkaran lagi. Aku tidak ingin kamu ikut terseret.”

Gabriel menatap Serena dengan lembut, meski kemarahan masih terlihat jelas di balik sorot matanya. “Baiklah. Aku akan mencari tahu dengan caraku. Aku percaya kamu, Serena. Aku tahu kamu tidak akan melakukan hal seperti itu.”

Serena menunduk, menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata yang kembali ingin jatuh. “Terima kasih.”

Gabriel mengusap rambutnya dengan lembut. “Aku di sini. Selalu.”

Namun, Serena tidak menyadari satu hal sederhana yang mampu mengubah segalanya.

Di seberang area kantin, tepat di balik pilar beton yang sedikit tertutup bayangan, seseorang berdiri mematung. Tubuhnya tegak, kedua tangan terlipat di depan dada seolah tengah menahan sesuatu yang nyaris tak terkendali.

Nicholas.

Tatapannya tidak bergerak sejak tadi. Maniknya yang gelap mengamati pemandangan di hadapannya dengan intensitas yang sulit dijelaskan. Seolah-olah setiap sentuhan lembut Gabriel pada Serena adalah pukulan yang mengenai sisi terdalam dari dirinya.

*

*

Di taman belakang kampus, suasananya tenang dengan pepohonan rindang yang seharusnya membawa keteduhan. Namun, ketenangan itu sama sekali tidak menyentuh Alexandra.

Emosinya masih berkobar, seperti api yang baru saja dituangkan minyak. Kata-kata kasar terus meluncur dari bibirnya, membuat udara di sekitarnya terasa panas.

Veronica yang berada di sampingnya hanya bisa menghela napas, tampak kebingungan sekaligus jengkel.

“Sudahlah, Lexa. Sampai kapan kamu menggerutu begitu? Kepalaku rasanya ikut berat mendengarnya,” ucap Veronica dengan nada malas.

Alexandra menoleh tajam. “Kalau kamu tidak mau dengar, kamu bisa pergi. Tidak ada yang memintamu tetap di sini.”

Veronica mendengkus pelan, tetapi memilih diam. Dia tahu benar bahwa saat Alexandra sedang seperti ini, membantah hanya akan memperpanjang masalah. Alexandra kemudian duduk di kursi panjang yang berada di tengah taman.

Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan, tetapi tidak ada yang sanggup meredakan dada Alexandra yang penuh dengan amarah. Rambutnya yang sedikit berantakan membuatnya terlihat semakin gusar.

Langkah kaki menghentikan suasana. Nicholas muncul dari arah gedung belakang. Ekspresinya datar, tatapannya seperti menyapu keadaan tanpa niat mencampuri. Namun langkahnya justru berhenti tepat di hadapan Alexandra dan Veronica. Ada sesuatu di matanya—bukan penasaran, bukan pula simpati. Lebih seperti menilai.

Alexandra mengerlingkan mata ke arah Nicholas, menatap lelaki itu seolah sedang menantang. “Kalau kamu datang untuk menghakimi atau menyindir, aku tidak punya waktu. Silakan pergi. Dan jangan pernah mengatakan masalah ini pada Leonel. Aku sedang tidak ingin menjelaskan apa pun.”

Nicholas duduk santai di ujung kursi seolah tidak terpengaruh oleh nada bicara Alexandra. “Aku hanya bertanya. Masalah apa yang membuatmu seperti ini?”

Veronica terkekeh kecil, meskipun matanya memantulkan rasa lelah. “Lexa habis bertengkar sama Serena. Lumayan seru, sebenarnya. Mereka saling tarik rambut dan saling tampar. Kamu terlambat datang, jadi tidak sempat menonton.”

Alexandra langsung melirik tajam, membuat Veronica menegakkan duduknya cepat-cepat. “Lucu sekali kamu, Veronica.”

Nicholas mengangkat alis sedikit. “Berantem karena apa? Apa lagi yang dipermasalahkan kali ini?”

Nada suaranya terdengar terlalu tenang, seperti seseorang yang sama sekali tidak tertarik, dan itu justru semakin membuat Alexandra merasa diremehkan. Dengan gerakan cepat, Alexandra mengambil gulungan kertas di sampingnya dan menimpukkannya ke arah Nicholas. Kertas itu jatuh begitu saja di pangkuan lelaki itu.

“Sesantai itu ya kamu? Adik temanmu dipermalukan habis-habisan, dan reaksi kamu cuma ‘apa lagi’?” ujar Alexandra, suaranya rendah dan penuh amarah. “Serena sudah menginjak harga diriku. Kamu tahu itu.”

Veronica menunduk, tidak ingin ikut terbawa arus emosi sahabatnya. Nicholas terdiam. Tidak membela Serena, tidak pula memihak Alexandra. Ekspresinya tetap netral, tetapi ada sesuatu yang bergerak di balik matanya. Sesuatu yang hitam, dingin, terukur.

“Aku tidak percaya hanya dari satu mulut,” jawab Nicholas akhirnya. “Aku akan mencari tahu sendiri.”

Kalimat itu tidak terdengar seperti pembelaan. Tidak terdengar seperti dukungan. Lebih seperti keputusan yang tidak memihak manapun antara Serena dan Alexandra.

Alexandra semakin mengerah, merasa belum puas. Namun, dia tahu Nicholas bukan seseorang yang dapat dipaksa berkata lebih dari yang ingin dia ucapkan.

Nicholas bangkit perlahan. Pandangannya tidak tertuju pada Alexandra, melainkan menembus jauh ke arah yang tidak mereka tahu. Ada sesuatu yang jelas dalam tatapan itu—ketenangan yang berbahaya.

*

*

Lama mereka berbincang di taman belakang kampus, suasana panas perlahan mereda. Veronica kembali ke kelasnya, Alexandra memilih pergi ke tempat lain untuk menenangkan diri, dan Nicholas berjalan menuju ruangannya.

Waktu terasa bergerak tanpa perhatian mereka. Hingga akhirnya jam dinding menunjuk pukul empat sore. Saat itu, Serena sudah berada di basement, menunggu Nicholas seperti biasanya.

Langkah Serena terdengar pelan ketika memasuki parkiran bawah tanah yang sunyi. Hari ini tubuhnya terasa berat—bukan karena lelah fisik, melainkan karena tekanan yang menumpuk sejak pagi.

Meski enggan, dia tetap melangkah menuju mobil Nicholas. Lelaki itu sudah menunggunya bersandar pada pintu mobil dengan raut wajah datar yang tidak dapat ditebak.

Sejak kejadian malam itu, Serena merasa tidak nyaman berduaan di apartemen Nicholas. Ada ketakutan yang sulit dijelaskan. Ketakutan akan dirinya sendiri, akan kelemahannya, akan kemungkinan bahwa kesalahan itu dapat terulang.

Namun setiap kali Serena mencoba menolak, Nicholas selalu memiliki cara untuk membuatnya tetap patuh. Selalu ada ancaman yang disampaikan dengan nada tenang, tetapi memiliki kekuatan menekan.

Mereka tiba di apartemen tanpa banyak percakapan. Ruangan itu rapi seperti biasanya, dengan aroma kopi pekat yang masih tersisa. Nicholas duduk di meja panjang yang dipenuhi buku, kertas latihan, dan laptop yang masih menyala. Serena duduk di seberangnya dengan gerak pelan, seolah mengumpulkan keberanian.

“Keluarkan materi yang kemarin. Apa masih ada bagian yang belum kamu pahami?” ucap Nicholas sambil membuka buku tebal di hadapannya.

Serena meletakkan buku miliknya, menunjukkan halaman yang membuatnya bingung. “Yang ini,” ujarnya dengan nada pelan. Wajahnya tampak tidak bersemangat, matanya masih sembab akibat tangisan yang belum sepenuhnya mereda.

Nicholas menjelaskan panjang lebar dengan kata-kata jelas dan runtut. Nada suaranya tenang, meskipun wajahnya terlihat tegas. “Sudah mengerti? Coba kerjakan lagi, aku ingin melihat bagian mana yang masih salah.”

Serena mengerjakan soal tersebut dengan pelan, pikirannya mulai mengembara lagi pada kejadian di kampus. Pada tuduhan yang tidak mampu dibantahnya. Pada rasa dipermalukan.

Pada luka yang terasa seperti menghancurkan harga dirinya. Ketika Nicholas mengambil lembar jawaban itu kembali, ekspresinya berubah menjadi kecewa dan kesal.

“Serena, mengapa seperti ini? Tadi sudah aku jelaskan dengan sangat jelas. Bisakah kamu fokus sebentar saja? Aku sudah menjelaskan tiga kali. Masa kamu tidak mengerti juga?” Suara Nicholas meninggi sedikit, sementara kertas soal di tangannya bergerak menegaskan kekesalannya. Dia memijat pelipisnya, berusaha menahan emosi.

“Aku sudah bilang aku tidak bisa,” ucap Serena.

Serena tidak mampu menahan lagi tekanan yang mengikat dadanya sejak siang. Air mata kembali menetes dalam diamnya, seperti bendungan yang jebol untuk kedua kalinya hari itu.

Nicholas terdiam. Rasa bersalah muncul dalam sorot matanya. Dia tahu Serena sedang tidak baik. Dia tahu, tetapi tetap membentaknya. Pelan, Nicholas menggeser kursinya mendekat, namun Serena seketika menjauh, menjaga jarak seolah menyatakan batas yang tidak ingin dia langgar.

Sentuhan Nicholas berhenti tepat di atas kulit Serena, namun tatapan lelaki itu tidak bergerak sedikit pun. Matanya memusat pada luka itu seolah seluruh fokus dan logikanya mengarah pada satu hal: mencari penyebabnya.

“Kenapa?” ulang Nicholas dengan suara rendah yang tidak lagi terdengar memaksa, tetapi mengandung sesuatu yang lebih berat—emosi yang tidak diucapkan.

Serena menelan ludah dengan pelan. Tenggorokannya terasa kering seolah kata-kata tersangkut di sana, enggan keluar. Dia mengalihkan pandang, namun tangan Nicholas yang masih berada di dekat wajahnya tidak mengizinkan dirinya bersembunyi.

“Serena, lihat aku,” pinta Nicholas. Kali ini bukan perintah. Lebih seperti permohonan.

Serena mengangkat wajah perlahan. Tatapannya sayu, berlapis kelelahan dan luka yang bukan hanya terlihat pada kulitnya, tetapi juga di dalam dirinya.

“Itu hanya kesalahpahaman,” jawab Serena akhirnya. “Tidak perlu dipikirkan.”

Nicholas tidak langsung merespons. Dia mengangkat dagu Serena dengan dua jarinya, lembut tetapi tegas. “Kesalahpahaman seperti apa yang meninggalkan bekas di wajahmu?”

Serena mengembuskan napas pelan, berusaha menguatkan diri, tetapi suaranya tetap bergetar saat berbicara.

“Aku … hanya berdebat. Dengan seseorang. Tidak penting.”

Nicholas menatapnya lebih dalam—menelisik, mengukur, menahan amarah yang tampak perlahan merambat naik.

“Serena, aku sedang berbicara denganmu. Aku ingin mendengarnya darimu!”

Nicholas tidak segera melepaskan tatapannya dari wajah Serena. Pandangannya menetap, menaut, seolah sedang membaca sesuatu yang tidak terucap di balik mata wanita itu. Serena menyadarinya, sehingga dia berdehem pelan, berusaha memutus ketegangan yang tanpa sadar tercipta.

“Ini tidak apa-apa,” ujar Serena, suaranya sedikit rendah berusaha terlihat tegar.

Namun Nicholas tidak percaya begitu saja.

Dalam hati, ia sudah tahu pelakunya. Nama Alexandra melintas di benaknya, tajam dan jelas. Tapi ia tidak mengucapkannya sekarang.

“Siapa yang menyakitimu?” tanya Nicholas, kali ini pelan tetapi tidak bisa ditolak. Tanpa menunggu jawaban, dia bangkit dari duduknya dan mengambil kotak P3K di laci kecil dekat meja belajar.

Serena langsung panik dan sedikit menarik tubuhnya ke belakang. “Tunggu, kamu mau apa?”

To be continued

1
noname
bagus dan sangat menarik ceritanya..ayo lanjut thor..yang banyak 💪
Macrina Catharina
Cerita yg sangat bagus. lanjut nya di tunggu yaaa 👍👍👍
Macrina Catharina
dibalik semua kejadian ada yg anehh antara sahabat ttp musuh...
noname
lanjut
Macrina Catharina
Suka banget ceritanya, tentang cinta dn seru...
Macrina Catharina
Novelnya bagus semkin penasaran.
Amelia Kesya
ap kah gebie musuh dlm selimut?
Haris Saputra
Keren banget thor, semangat terus ya!
Belle: Halo kak baca juga d novel ku 𝘼𝙙𝙯𝙖𝙙𝙞𝙣𝙖 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙜𝙪𝙨 𝙧𝙖𝙝𝙖𝙨𝙞𝙖 atau klik akun profilku ya, trmksh🙏
total 1 replies
Nana Mina 26
Terima kasih telah menulis cerita yang menghibur, author.
riez onetwo
Ga nyangka sebagus ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!