Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BABAK II: BENIH TRAGEDI (LANJUTAN) ADIEGAN 7: PENGUSIRAN YANG FINAL
Reza masih limbung di gudang belakang, dikelilingi bau alkohol yang pekat, ketika ia mendengar langkah kaki yang cepat kembali mendekat. Ia menduga ibunya akan kembali memarahinya, mungkin memukulinya—namun ia sama sekali tidak menduga reaksi yang akan terjadi.
NAWANGSIH muncul kembali. Wajahnya, yang tetap awet muda, kini terasa dingin seperti es, ditutupi air mata yang mengering, digantikan oleh ekspresi kehancuran dan keputusan bulat. Ia membawa ransel usang milik Reza, yang kini membengkak karena diisi penuh dengan pakaian dan beberapa barang pribadi putranya.
Nawangsih tidak berbicara. Ia hanya menatap Reza yang masih sempoyongan. Matanya memancarkan campuran antara rasa sakit yang tak terhingga dan rasa jijik yang ditujukan pada takdir, bukan pada anaknya.
Gubrak!
Ransel itu dilemparkan dengan keras ke lantai gudang, tepat di kaki Reza. Suara benturannya memecah keheningan malam yang sunyi.
"Ambil," suara Nawangsih serak, nyaris tak terdengar, namun dipenuhi otoritas yang mencekik.
Reza, yang keras kepala dan angkuh, tiba-tiba merasakan ketakutan yang sesungguhnya. Ia melihat baju-baju di dalam ransel itu, ia mengerti—ini bukan lagi ancaman, ini adalah eksekusi.
"Mama..." Reza mencoba bernegosiasi, mencoba memohon. Rasa mabuknya seketika hilang, digantikan kepanikan. "Mama, Mama serius? Ma, maafkan Reza, Reza nggak maksud ngomong yang tadi—"
Nawangsih menutup matanya, tak sanggup melihat wajah Reza yang mulai memelas. Air mata kembali mengalir deras di wajahnya. Ini adalah pertarungan terakhirnya sebagai ibu yang mencintai. Ia harus memaksanya pergi, demi menyelamatkan mereka berdua dari kehancuran yang lebih besar.
"Mama sudah bilang, PERGI!" teriak Nawangsih, kini ia menangis histeris. Ia menekan tangannya ke dada, mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. "Mama sudah tidak sanggup lagi, Reza! Cukup! Mama gagal! Mama gagal menjadi ibumu!"
Ia menunjuk keluar gudang, ke kegelapan malam.
"Pergi yang jauh! Jangan pernah kembali! Jangan pernah muncul di hadapan Mama lagi! Mama tidak mau melihatmu, tidak mau tahu kau ada di mana! Pergi, Reza! Pergi! Sebelum Mama melakukan sesuatu yang lebih buruk dari ini!"
Reza terdiam. Ia melihat ibunya yang menangis tersedu-sedu, wanita yang ia yakini tidak akan pernah menangis, wanita yang selalu kuat, kini ambruk. Ia melihat pakaiannya sendiri dibuang, dikemas, dan diserahkan sebagai simbol pemutusan hubungan.
Reza, anak remaja yang angkuh dan pembangkang, merasa seluruh dunianya hancur. Bukan karena ia diusir, tapi karena ia melihat ibunya, cinta pertamanya, telah menyerah dan meninggalkannya. Ia mengambil ransel itu, memanggulnya dengan bahu yang terasa berat oleh rasa sakit dan penyesalan.
Ia berbalik, berjalan keluar dari gudang, melewati Nawangsih yang mematung di sana, menangis tanpa suara. Ia tidak berani menoleh ke belakang.
ADIEGAN 8: PERJALANAN MENUJU KETIDAKPASTIAN
Reza berjalan tanpa tujuan di kegelapan malam Bandung. Dinginnya udara malam menembus seragam sekolahnya yang lusuh. Ia berjalan menyusuri jalanan utama, kepalanya kosong. Ia tidak punya uang, tidak punya rencana, dan yang paling penting, ia tidak punya rumah.
Setiap langkah yang ia ambil terasa memaksanya menjauh dari satu-satunya orang yang ia cintai. Ransel di punggungnya terasa seperti batu yang beratnya tak tertahankan—bukan karena isinya, tetapi karena simbolisme pengusiran yang ia bawa.
Ia mencapai persimpangan jalan raya besar. Cahaya lampu kendaraan yang bergerak cepat tampak kabur oleh air mata yang belum kering di matanya. Ia menyadari, dunia ini jauh lebih kejam dan besar daripada lingkup tawuran dan maling kecil yang ia kenal.
Ia duduk di halte bus yang sepi. Ia membuka ranselnya, melihat isinya: tiga potong kaus, dua celana pendek, sikat gigi, dan beberapa lembar buku pelajaran yang sama sekali tidak ia butuhkan. Di saku salah satu celana pendek, ia menemukan uang koin lusuh, mungkin sisa uang jajannya dari seminggu lalu. Hanya itu.
Reza memejamkan mata. Ia membayangkan wajah ibunya. Wajah Nawangsih yang cantik, wajah yang tak pernah menua, wajah yang sekarang dipenuhi air mata jijik dan kekecewaan. Ia tidak membenci ibunya; ia membenci dirinya sendiri karena telah membuat wanita secantik itu menangis.
Tekad yang Lahir dari Kehancuran
Reza menghabiskan malam itu di halte. Dingin menusuknya hingga ke tulang. Saat fajar menyingsing, ia melihat dunia yang keras di sekitarnya. Orang-orang mulai berlalu-lalang, bergegas mengejar bus. Ia merasa seperti debu, tidak terlihat dan tidak penting.
Namun, di tengah kehancuran itu, sebuah tekad keras mulai muncul. Reza teringat janji konyolnya saat usia 5 tahun: menjadi Nahkoda.
"Mama bilang jangan kembali sebelum aku tahu arti hidup yang sebenarnya."
Artinya, ia harus membuktikan diri. Ia tidak akan kembali sebagai pencuri dan pemabuk. Ia akan kembali sebagai pria sukses, pria yang bisa berdiri setara di samping ibunya yang awet muda. Ia harus menyingkirkan keangkuhannya dan belajar dari awal.
Ia berdiri, memanggul ranselnya. Ia tidak akan tinggal di Bandung, kota yang penuh dengan kenangan pahit dan tempat ia diusir. Ia harus pergi jauh. Ke tempat yang ada lautnya. Ke tempat di mana impian masa kecilnya tentang Nahkoda bisa menjadi kenyataan.
Reza berjalan menuju stasiun kereta atau terminal bus, menjual beberapa barang yang tidak penting dari ranselnya hanya untuk mendapatkan tiket paling murah menuju kota pelabuhan besar—Jakarta.
Setiap langkah yang ia ambil kini bukan lagi langkah tanpa tujuan. Itu adalah langkah penebusan. Ia membawa serta rasa sakit pengusiran dan obsesi buta untuk membuktikan diri kepada Nawangsih. Dalam benaknya, ia tidak diusir; ia diberi tugas. Tugas untuk menjadi pria hebat yang layak dicintai oleh wanita seajaib Nawangsih.
Reza menghapus sisa air mata dan berjalan ke arah timur. Perjalanan jauh itu baru saja dimulai, perjalanan yang akan mengubahnya dari anak berandal menjadi pria sukses, dan sayangnya, menjadi kekasih dari ibu kandungnya sendiri.