Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 jabrig kembali berulah
Setelah tiba di pasar yang padat dan bising, Rama langsung mengajak Bela menuju sebuah toko pakaian yang cukup ramai. Mata Bela langsung berbinar-binar penuh kegembiraan, meski di hatinya terselip sedikit kecemasan—apakah uang yang ia bawa, hasil pemberian Ayahnya tadi, akan cukup untuk membeli beberapa potong pakaian?
Bela sama sekali tidak berharap bahwa Rama akan menanggung semua kebutuhannya. Ia tahu Rama juga tidak memiliki uang lebih. Baginya, diantar ke pasar untuk sekadar melihat-lihat oleh Rama saja sudah lebih dari cukup.
"Kak, coba lihat ini! Menurutmu, ini cocok untukku?" tanya Bela, suaranya terdengar antusias. Ia menunjukkan kaus lengan panjang berbahan lembut dengan motif love yang harganya terpampang jelas: Rp 50.000.
Rama melirik sekilas ke arah kaus itu. "Bagus, tapi menurutku warnanya terlalu mencolok jika kamu kenakan," jawab Rama dengan nada jujur.
"Oh, kalau begitu bagaimana dengan yang ini?" Bela kembali mengambil kaus lengan panjang lainnya, yang dirasanya akan lebih nyaman dipakai sehari-hari.
"Masih terlalu mencolok," ujar Rama, sedikit mengernyit. Baginya, warna kaus itu memang terlalu menarik perhatian.
Bela sedikit cemberut, bibirnya maju beberapa senti, namun ia segera memilih lagi. "Yang ini...?" tanyanya kembali pada Rama.
Tepat pada saat Rama hendak menjawab, suara Sistem yang dingin dan mendesak tiba-tiba terdengar nyaring di kepalanya.
[DING! Misi Darurat untuk Tuan Rumah!]
[Bantu seorang pedagang dari serangan preman pasar. Hadiah: Kartu Hitam (Limit Tak Terbatas)!]
Ekspresi Rama seketika berubah. Ia menoleh ke arah Bela yang masih memegang pakaian di tangannya.
"Bela, kamu tunggu sebentar di sini. Kakak ingin pergi sebentar," ujar Rama, nada suaranya mendadak serius.
Bela yang tengah asyik memilih pakaian langsung mengernyitkan kening. "Hah? Kak Rama mau ke mana?" tanyanya heran.
"Menarik uang," jawab Rama singkat. "Kamu pilih saja semua baju yang kamu suka. Nanti Kakak yang akan bayar semuanya."
"Tunggu saja, aku akan segera kembali," lanjutnya, lalu tanpa memberi Bela waktu untuk bertanya lebih jauh, Rama langsung melangkah cepat keluar dari toko pakaian itu.
"Kak...?" panggil Bela dengan ekspresi bingung, namun ia tidak mengejar. Ia hanya menatap kepergian Rama yang menghilang di antara kerumunan.
"Aneh sekali... dia bilang mau menarik uang? Membayar semua baju yang aku pilih?" gumamnya, mengulang perkataan Rama. Bela menggelengkan kepala pelan. Entah benar atau tidak, ia memutuskan untuk kembali memilih beberapa potong pakaian—sesuai dengan jumlah uang yang ia bawa.
Gema Peringatan Lama
Di sudut pasar yang agak tersembunyi, di dekat lapak sayuran, ketegangan memuncak.
"Cepat! Serahkan putrimu itu! Bos kami menyukainya!" bentak Jabrig, sang preman, bersama dengan anak buahnya yang bertubuh besar.
"Ja-jangan, Tuan! Saya mohon, jangan apa-apakan putri saya!" Seorang wanita paruh baya, Bu Mirna, berusaha keras melindungi putri semata wayangnya yang meringkuk ketakutan. "Saya janji akan segera melunasi utang saya, tapi tolong berikan saya waktu sedikit lagi!"
"Tidak ada lagi waktu untukmu, Bu Mirna!" Jabrig tertawa sinis. "Bos kami sudah cukup memberimu kelonggaran! Tapi apa yang kamu lakukan? Sampai sekarang bahkan bunganya saja kamu tidak mampu melunasi. Jadi jangan salahkan kami jika kami harus membawa putrimu!"
"Cepat, bawa gadis itu!" perintah Jabrig kepada anak buahnya.
"Bu...!" lirih gadis itu ketakutan, air mata sudah membasahi pipinya.
Sama seperti biasanya, semua orang yang menyaksikan di sana hanya bisa diam, membeku tanpa berani berbuat apa-apa. Meskipun mereka muak dengan tingkah Jabrig dan bos di belakangnya, mereka tahu betul konsekuensinya. Membantu seseorang yang terlibat dengan para preman sama saja dengan mengundang masalah besar.
Selama ini, beberapa dari mereka telah mencoba melapor ke polisi, tetapi laporan mereka seolah ditelan bumi, tanpa ada tindakan dari Polsek terdekat.
"TIDAK AKU SANGKA, TERNYATA PERINGATAN-KU BEBERAPA WAKTU LALU HANYA DIANGGAP ANGIN LALU OLEH KALIAN!"
Tiba-tiba, suara Rama yang tenang namun tajam dan berwibawa menggema di kerumunan. Suasana seketika menjadi tegang, dan semua pasang mata langsung menoleh ke arah sumber suara.
Jabrig dan anak buahnya ikut menoleh, dan sesaat mereka terpaku. Mereka melihat sosok Rama berjalan santai ke arah mereka, tetapi tatapan mata pemuda itu dingin, setajam bilah es.
"Bangsat! Rupanya kau lagi, bajingan!" raung Jabrig, amarahnya langsung naik ke ubun-ubun. "Kebetulan sekali kau muncul kembali, bocah!"
"Dengar, bocah. Aku sarankan kamu untuk tidak ikut campur lagi. Karena jika tidak, jangan salahkan aku jika aku akan membuatmu terbaring di rumah sakit dengan kaki dan tanganmu yang patah!" ancam Jabrig, suaranya dipenuhi dendam.
Rama menggelengkan kepalanya pelan, wajahnya datar. "Kalau begitu... lakukanlah jika kamu bisa," balasnya dengan santai.
"Hah? Bagus, bocah! Kamu sendiri yang memintanya!" Usai berkata demikian, sekitar lima puluh orang—preman bayaran yang tampak garang—langsung bermunculan dari sudut-sudut pasar, mengepung Rama dalam formasi ketat.
Rama diam, menatap satu per satu wajah para preman yang mengepungnya. Tidak ada sedikit pun rasa takut di wajahnya.
Jabrig tertawa puas. "Kau terdiam, bukan? Lihatlah, bocah! Sejak kejadian itu, aku memang sengaja membawa orang lebih banyak! Agar ketika bertemu denganmu kembali, aku bisa membalas perbuatanmu waktu itu!"
"Beberapa hari ini aku memang telah mencari keberadaan dan tempat tinggalmu. Tapi siapa sangka, sebelum aku menemukan tempatmu, kau sendiri yang datang mencari kematianmu!"
Rama tetap diam tak bergeming, wajahnya tenang. "Cih... apakah kau takut sekarang, bocah? Apa kau menyesal? Lihatlah, aku membawa lima puluh orang yang bisa membuat seluruh anggota tubuhmu remuk. Tidak peduli seberapa kuatnya dirimu... di hadapan begitu banyak orang yang akan menyerangmu secara bersamaan, hari ini kamu tetap akan menerima konsekuensi karena telah mencari masalah denganku!"
Jabrig tertawa penuh kepuasan, seolah dendamnya terhadap pemuda itu akan terbalaskan. Tawa itu diikuti oleh para preman lainnya. Mereka yang belum tahu kekuatan Rama hanya bisa mencibir dan meremehkan.
Saat tawa mereka mencapai puncaknya, Rama berkata, "Apakah kalian sudah cukup tertawa? Kalau sudah, mari kita mulai saja pertarungannya."
Hening.
Tawa keras mereka seketika terhenti. Semua preman menatap pemuda itu dengan ekspresi bodoh.
"Bedebah! Kau benar-benar sombong, bocah!" bentak Jabrig. Ia langsung memerintahkan semua anak buahnya untuk menyerang.
"Serang! Cepat serang dia dan buat dia mengerti akibatnya karena berani ikut campur urusan kita!"
Swoosh!
Buagh!
Baru saja Jabrig menyelesaikan ucapannya, Rama bergerak! Gerakannya begitu cepat sehingga mata telanjang hampir tidak bisa mengikutinya. Ia menghantam wajah Jabrig dengan satu pukulan telak hingga tubuh preman itu terlempar keras, menabrak tumpukan dagangan buah milik seseorang.
Seketika, suasana kembali hening total. Tidak ada yang menyangka pemuda itu bergerak begitu cepat dan berani menyerang Jabrig, pemimpin mereka.
"K-kau...! Uhuk!" Darah segar langsung keluar dari mulut dan hidung Jabrig. Ia bangkit dengan amarah yang meluap. "Bedebah! Kenapa kau menyerangku?!"