“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ditangkap
Suasana malam itu berubah mencekam. Lampu-lampu rumah warga mulai menyala satu per satu. Sorot mata tetangga yang awalnya hanya penasaran kini berubah menjadi tajam dan penuh amarah.
Tubuh Rani yang tak sadarkan diri dibopong oleh beberapa warga laki-laki menuju rumah Bu Lastri, tetangga yang terkenal paling tegas dan disegani. Warga perempuan menyusul di belakang, sebagian membawa air hangat dan kain basah.
“Pelan-pelan! Kepalanya jangan sampai kena lagi!” seru Bu Lastri dengan suara lantang.
“Ya Allah, anak ini udah pucat banget…” gumam salah satu warga sambil menahan tangis.
Begitu sampai di ruang tamu Bu Lastri, tubuh Rani segera direbahkan di atas tikar. Seorang ibu menyeka darah di pelipisnya dengan hati-hati. Pak RT, yang memang tinggal tak jauh dari sana, datang tergesa—masih mengenakan sarung dan peci.
“APA YANG TERJADI?!” suaranya keras, berwibawa.
Salah satu warga pria menjelaskan dengan suara bergetar menahan emosi.
“Pak… Pak Surya ketahuan ada di kamar Rani. Pintu dikunci dari luar. Kami dobrak, Rani pingsan, kepalanya berdarah.”
Wajah Pak RT langsung menegang. “Panggil polisi sekarang juga,” perintahnya tanpa ragu.
Salah satu pemuda langsung mengeluarkan ponsel dan menelepon kepolisian. Tak sampai lima belas menit, suara sirene polisi terdengar mendekat. Warga yang memenuhi halaman rumah Bu Lastri langsung membuka jalan. Mobil patroli berhenti tepat di depan rumah, lampu merah-biru memantul di wajah semua orang.
Ketika para polisi turun, beberapa warga menunjuk ke arah rumah Andi—tempat kejadian.
Sementara itu di rumah Andi, Bu Marni dan Andi berdiri di depan pintu dengan wajah pucat pasi. Keringat dingin mengucur dari pelipis mereka. Bu Marni memegang tangan Andi erat, tubuhnya sedikit gemetar.
“Andi…” suaranya serak. “Kalau polisi benar-benar bawa Pak Surya… kita juga bisa ikut-ikutan… mereka semua dengar rencana kita…”
Andi tak menjawab, matanya kosong. “Sial… ini semua salah,” gumamnya lirih.
Suara langkah berat para polisi terdengar mendekat. Warga mengiringi mereka dengan tatapan menyala. Salah satu polisi berpangkat agak tinggi melangkah paling depan.
“Mana korban?” tanya polisi dengan suara tegas.
“Di rumah saya, Pak!” sahut Bu Lastri dari arah halaman. “Sudah pingsan. Kepala bocor, kayaknya sempat dipukul sama pelaku!”
Mendengar kata “dipukul”, beberapa warga makin mendidih. Tatapan mereka beralih ke rumah Andi—tempat Pak Surya yang masih dijaga warga laki-laki agar tidak kabur. Pak Surya berdiri dengan wajah kusut, baju kusut, dan pelipis sedikit lecet akibat perlawanan warga.
“Angkut pelaku ke mobil,” perintah polisi. Dua orang polisi langsung memborgol Pak Surya di depan warga.
“INI SALAH PAHAM! GUE CUMA MAU NGOBROL SAMA DIA!” teriak Pak Surya kalap.
“Ngobrol di kamar orang tengah malam dan pintu dikunci dari luar?” salah satu warga menyahut dengan nada tajam. “Bangs*t lo!”
Polisi menyeret Pak Surya ke mobil, sementara warga bersorak marah.
Bu Marni makin pucat ketika salah satu polisi berbalik ke arahnya. “Ibu… Bapak… kalian penghuni rumah ini, kan?”
“I.. iya Pak…” jawab Bu Marni terbata-bata.
“Kami perlu kalian ikut ke kantor buat dimintai keterangan,” kata polisi dengan nada dingin. “Karena ada dugaan keterlibatan kalian dalam upaya pelecehan terhadap korban.”
“Andi…” Bu Marni memandang anaknya dengan panik. Andi hanya membeku.
Pak RT mendekat, nadanya berat. “Bu, Pak… semua warga tahu apa yang kalian lakukan malam ini. Kalian sudah nggak bisa lari.”
Dari dalam rumah Bu Lastri, terdengar suara lirih Rani mulai sadar. “N… Nadia…” panggilnya pelan.
Warga perempuan langsung mengelilingi Rani, menenangkannya. “Tenang, Nak… kamu aman sekarang,” ujar Bu Lastri dengan suara lembut, meski matanya masih menyala karena marah.
Di luar, suasana makin tegang. Polisi membawa Pak Surya ke mobil, sementara Andi dan Bu Marni hanya bisa saling pandang dengan wajah pucat pasi—mereka tahu, malam ini bukan mereka yang berkuasa lagi. Kini semuanya ada di tangan hukum… dan mata warga yang telah menyaksikan segalanya.
Di dalam rumah Bu Lastri, suasana mulai sedikit tenang meski ketegangan masih terasa. Rani perlahan membuka matanya, kelopak matanya terasa berat, dan pandangannya buram sesaat sebelum akhirnya kembali fokus. Di sekelilingnya, beberapa ibu-ibu tetangga duduk dengan wajah cemas.
“Rani… kamu udah sadar, Nak?” tanya Bu Lastri lembut sambil menggenggam tangan Rani.
Rani berusaha bangun, meski kepalanya terasa sakit. “Ponsel… aku… ponsel aku di rumah…” ucapnya terbata-bata, napasnya masih tidak stabil.
Salah satu warga, seorang ibu muda, buru-buru menenangkan. “Kamu tenang dulu, jangan bangun dulu, ya.”
Tapi Rani menggeleng pelan. “Aku harus hubungi seseorang…”
Mendengar itu, seorang anak kecil, Dimas—tetangga kecil Rani—yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan, langsung angkat tangan. “Biar aku yang ambilin, Kak Rani!” serunya polos.
“Dimas, hati-hati ya, Nak,” pesan Bu Lastri. Anak kecil itu berlari kencang ke rumah Bu Marni, tempat Rani tinggal.
Beberapa menit kemudian, Dimas kembali terengah-engah sambil menggenggam ponsel kecil milik Rani. “Nih, Kak… aku ambilin di kamar depan,” ucapnya polos, wajahnya sedikit berkeringat.
Rani tersenyum lemah dan mengelus kepala Dimas. “Terima kasih ya, Dimas…”
Dimas hanya tersenyum malu-malu sebelum disuruh pulang oleh ibunya.
Dengan tangan bergetar, Rani membuka ponselnya dan menekan nama Nadia di kontak. Begitu tersambung, suara Rani terdengar gemetar.
“Nad… t-tolong aku…” ucapnya dengan suara parau.
Suara Nadia langsung terdengar panik dari seberang.
“Rani!? Ya Tuhan, kamu kenapa? Suaramu… kamu gemetar!”
“Pak Surya… dia ada di kamarku… aku dipukul… semua orang tahu… polisi udah datang…” suara Rani pecah di ujung kalimatnya.
“Ya Allah, Ran… tahan ya! Aku ke sana sekarang! Aku nggak sendirian, aku bawa Papa Mama sekalian!” jawab Nadia cepat dan tegas.
Rani menutup teleponnya dengan tangan masih bergetar, air mata mulai mengalir. Bu Lastri dan para tetangga lainnya menepuk pelan bahunya, menenangkan.
Sekitar dua puluh menit kemudian, suara mobil terdengar berhenti di depan gang. Nadia turun terburu-buru, disusul Papa dan Mama Nadia. Mereka segera masuk ke rumah Bu Lastri.
“Nadia…” suara Rani bergetar begitu melihat sahabatnya. Nadia langsung berlari memeluknya erat.
“Ran… aku di sini. Kamu aman sekarang, ya?!” ujar Nadia dengan nada tegas tapi penuh kehangatan.
Papa Nadia, seorang pria paruh baya dengan pakaian rapi—sosok berwibawa yang dikenal sebagai hakim—melangkah maju, menatap serius ke arah warga.
“Siapa pelakunya?” tanyanya dengan nada dalam dan tegas.
Pak RT menjawab, “Sudah dibawa polisi, Pak. Warga lihat semua. Korban juga sempat teriak minta tolong.”
Papa Nadia mengangguk. “Bagus. Kasus ini nggak boleh dibiarkan. Kita bakal dampingi Rani sampai tuntas.”
Mama Nadia memeluk Rani dengan lembut. “Kamu nggak sendirian, Nak. Malam ini kamu ikut kami saja, ya. Rumah kami lebih aman.”
Rani hanya bisa mengangguk sambil menangis pelan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya… ada orang yang benar-benar melindunginya.
Sementara di luar rumah, suara bisik-bisik warga mulai membesar. Nama Bu Marni dan Andi makin menjadi omongan. Tapi kali ini, semua berpihak pada Rani.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
di neraka .