Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.
Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.
Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.
Victoria masuk dalam obsesi Julius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. KALAH
Victoria menatap Sean cukup lama, mencoba membaca pikiran pria itu walau gagal juga. Pria itu terlalu pandai memasang ekspresi tenang, sama seperti dulu.
Victoria menekan rahangnya. "Jangan bertele-tele. Apa maumu?"
"Tenanglah dulu. Kita bukan musuh," kata Sean dengan senyum yang justru mengerikan untuk Victoria.
"Kau mengancam adikku dan aku harus tenang? Lucu sekali," tukas Victoria.
"Ah," Sean terkekeh. "Koma itu hanya jeda. Bisa panjang, bisa pendek ... tergantung keputusanmu malam ini, Love."
Victoria ingin menamparnya saat itu juga. Namun ia menahan diri.
Karena Violetta.
Karena keselamatan adiknya jauh lebih penting dari pada emosinya sendiri.
Victoria duduk tegak, menjaga jarak. Mata Sean mengikutinya seperti predator yang tidak pernah lupa mangsa pertamanya.
"Kau terlihat lebih cantik dari terakhir kali kulihat," ucap Sean sambil menatapnya dalam. "Lebih dewasa. Lebih ... matang."
Victoria tidak merespons.
Sean menyandarkan tubuhnya. 'Kau tahu, Violetta itu benar-benar bodoh."
Jantung Victoria mencelos. "Jangan bawa-bawa adikku."
"Aku harus, Love," Sean menunjuk meja dengan ketukan pelan. "Menurutmu lucu tidak? Gadis polos itu berpikir dia bisa menjatuhkanku hanya karena dia ingin membalaskan dendammu.”
Mata Victoria membesar. Ada sesuatu yang sangat dingin dan sangat berbahaya dalam cara Sean menyebutkan hal itu. Seolah sejak awal ia tahu Violetta mengincarnya. Seolah ia menikmati usaha sang adik dengan cara paling kejam.
"Violetta melakukan itu karena-"
"Karena kau," potong Sean cepat. "Karena dia pikir aku menyakitimu dulu. Dia pikir dia bisa melawanku. Dia pikir dia cukup cerdas untuk main di levelku."
Sean mencondongkan tubuh. "Sayangnya," ia mendesis, "dia sama bodohnya dengan kau dulu."
Kata-kata itu menusuk. Tapi Victoria tidak goyah. Ia menatap Sean lurus, tanpa gentar, tanpa goyah, tanpa memberi celah manipulasinya menembus benteng mentalnya.
"Apa yang terjadi pada Violetta bukan karena kebodohannya," Victoria berkata pelan namun tegas. "Itu terjadi karena kejahatanmu."
Sean terdiam. Sedetik. Dua detik. Matanya menyipit.
Lalu pria itu tertawa kecil.
"Ternyata kau sudah berubah," kata Sean sambil mengamati Victoria dengan pandangan yang tidak nyaman. "Biasanya, kau akan menangis jika aku berkata begitu."
Victoria mengangkat dagu, menolak tunduk. "Aku bukan Victoria yang dulu. Dan kau bukan siapa-siapa bagiku."
Kedipan Sean berhenti seketika.
Ada sesuatu yang bergetar dalam sorot matanya. Sesuatu yang gelap, posesif, dan mematikan.
"Bukan siapa-siapa?" ulang Sean dengan suara rendah. "Victoria ... Sayang, kau milikku. Selalu."
Victoria berdiri.
Ia tidak bisa berlama-lama. Setiap detik ia tinggal di hadapan Sean berarti memberikan kekuatan pada pria itu.
"Aku datang bukan untuk mendengarkan provokasimu," Victoria berkata sambil meraih tasnya, "Aku hanya datang memastikan kau tidak menyentuh Violetta."
Sean memiringkan kepala. "Dan jika aku tetap menyentuhnya?"
Victoria menatapnya. "Maka aku akan menjatuhkanmu. Dengan cara apa pun."
Senyum Sean memudar.
Victoria melangkah mundur, perlahan, hati-hati.
"Aku tidak akan kembali padamu, Sean. Selesai," tegas Victoria.
Victoria berbalik.
Melangkah.
Mendekati pintu.
Satu langkah lagi.
Tinggal satu langkah lagi untuk keluar dari kafe itu dan menjauh dari pria yang menghancurkan seluruh hidupnya. Setelah ini Victoria akan bicara pada ayah san kakaknya mengenai perlindungan Violetta.
Namun tiba-tiba-
Tangan kuat mencengkeram lengannya dari belakang.
"Victoria." Suara itu rendah. Gelap.
Sebelum Victoria sempat melawan, Sean menariknya ke arah dadanya. Tubuh Victoria terpental sedikit, kehilangan keseimbangan.
"Hei-lepaskan!" Victoria berusaha melawan, tetapi percuma.
Sean lebih kuat. Sean mengunci pergerakan Victoria, seolah tahu Victoria ahli dalam bela diri sekarang.
"Maafkan aku," bisik Sean, tepat di belakang telinganya. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi."
"Sean-"
Terlambat.
Sapu tangan putih muncul di tangan kanan pria itu, menutup mulut dan hidung Victoria.
Dan aroma menyengat langsung menusuk hidung Victoria.
Chloroform.
"Tidak ..."
Victoria berusaha menekan napas, memalingkan wajah, memukul dada Sean, tapi tenaganya semakin melemah.
"Sayang," Sean memeluk gadis itu erat, suaranya seperti senandung orang gila. "Kau seharusnya tidak pernah pergi dariku.'
Kesadaran Victoria memudar cepat.
Ruangan bergoyang.
Lampu-lampu menjadi kabur.
Sebelum semuanya gelap, ia sempat mendengar suara Sean yang penuh kemenangan.
"Aku akan membawamu pulang."
Ketika Sean melangkah keluar dari kafe sambil menggendong Victoria di lengannya, hujan sudah berubah deras. Payung hitam yang dibawanya masih terlipat, dibiarkannya tubuhnya basah, entah karena ia terlalu senang hingga tidak peduli, atau karena ia tahu tidak ada yang bisa menghentikannya.
Atau setidaknya, begitu pikirnya.
Karena tiba-tiba-
"SEAN?! LEPASKAN VICTORIA!"
Sebuah suara menggelegar dari jarak tidak jauh.
Sean menoleh.
Senyum lebar langsung muncul di bibirnya.
Julius.
Mencari Victoria.
Berlarian ke arahnya dengan wajah yang dipenuhi kepanikan dan amarah.
"Oh," Sean mendecak kecil. "Ternyata kau benar-benar datang."
Julius hampir menubruknya, tetapi lima pria berbadan besar muncul dari sisi lain jalan, menghadang dengan cepat dan profesional.
"LEPASKAN VICTORIA!!" Julius meraung, mencoba menerobos, tetapi dua dari pria itu langsung menangkap kedua lengannya, memelintirnya ke belakang.
Sean mengangkat bahu. "Tenang, Julius. Kau akan mencederai dirimu sendiri."
Julius berusaha melepaskan diri dengan kekuatan liar, tetapi tidak satu pun dari para pria itu tergoyahkan.
Mereka petarung. Jelas sekali. Petarung profesional.
"Kau bajingan! Apa yang kau lakukan pada Victoria?!" Julius menubruk lagi, namun dua orang memukulnya ke dinding dengan kasar.
Sean hanya berjalan mendekat, masih menggendong Victoria seperti memegang barang berharga.
"Apa yang kulakukan?" Sean tertawa pendek. "Mengembalikan milikku."
"Victoria bukan barangmu!" Julius menggeram.
"Kau pikir kau bisa menguasai Lemington dengan menggunakannya?" Sean menatap Julius dengan sorot meremehkan. "Sungguh langkah bodoh."
"Aku tidak pernah-"
"Oh, Julius ...," Sean menatapnya seolah berbicara pada anak kecil. "Aku tahu semua yang kau lakukan. Bahkan rencanamu menghabisi semua orang di keluarga Lemington ... termasuk aku."
Tubuh Julius kaku.
Kelopak matanya membesar penuh kebencian dan keterkejutan.
"Aku tahu semuanya," ulang Sean. "Termasuk rencana kecilmu menggunakan Victoria sebagai celah untuk menjatuhkanku."
Julius meraung. "SEMUA ITU TERJADI KARNA KAU! KAU YANG MEMULAI SEMUANYA! Orang tuaku ... orang tuaku MATI karena-"
Karena.
Karena siapa?
Sean menatap Julius lama.
Lalu tersenyum.
"Ya. Karena aku," kata Sean dengan senyum psikopatnya.
Julius langsung hendak menerjang, tetapi pukulan keras menghantam perutnya dari belakang. Julius terbungkuk, lalu pukulan kedua menghantam wajahnya.
Darah memercik.
Para pria itu mengunci tubuhnya.
"Jangan buang waktuku," kata Sean datar, memberi isyarat kecil dengan dagu kepada orang-orangnya
Dan dalam sekejap-
Satu pukulan kokoh menghantam tengkuk Julius.
Tubuh pria itu langsung terkulai.
Tidak sadarkan diri.
Hening.
Hanya suara hujan deras yang tersisa.
Sean menatap Julius yang jatuh di tanah tanpa sedikit pun rasa empati. "Sayang sekali. Kau tidak pernah belajar. Kau terlalu bodoh untuk melawanku, Julius."
Sean menggeser pandangannya ke Victoria yang terlelap di pelukannya. Wajah wanita itu pucat, tetapi tetap cantik. Tetap berharga bagi ego Sean.
Sean mengusap pipi Victoria sambil tersenyum puas.
"Sudah waktunya kau pulang, Love," bisiknya. "Ke tempatmu. Di sisiku. Selamanya."
Dan Sean melangkah pergi, membawa Victoria ke dalam malam yang gelap, ke dalam neraka yang sudah menunggunya.
Ke tempat Victoria tidak bisa melarikan diri.
makin seru Victoria luar biasa mendalami peran nya hehe
semoga rencana Julius dan Victoria berhasil
semangat juga thor 💪
Sean obsesi bgt ke Victoria
boleh nggak sih ku gempur itu retina si sean thooorr ??😡😡😡😡
badai pasti berlalu
semangat Vivi, pelan-pelan pasti kamu bisa .
Julius selalu bantu Vivi biar dia kuat dan bisa menghadapi semuanya