Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Klub Orang Berantakan
Langit sore di luar kaca gedung Arjuno Group masih kelabu, tapi hujan sudah berhenti. Tetes air terakhir mengalir perlahan di permukaan jendela besar, sementara langit Surabaya mulai memperlihatkan gradasi senja yang lembut — keemasan, samar, tapi hangat.
Bhumi dan Bulan berjalan beriringan menuju lantai tiga puluh, ruang kerja pribadi Bhumi.
Lift berhenti dengan suara lembut, pintunya terbuka menampilkan ruangan luas bernuansa modern — interiornya minimalis, didominasi warna abu tua, krem, dan sedikit aksen kayu.
Rak buku besar memenuhi satu sisi dinding, sementara di sisi lain, jendela lebar memperlihatkan panorama kota dari ketinggian.
Aroma kopi hitam dan kayu mengisi udara. Heningnya terasa berbeda — bukan dingin, tapi intimate.
Bulan duduk di salah satu kursi kulit dekat meja kerja besar. Jas milik Bhumi masih melingkari bahunya, dan ia belum berani melepasnya. Sementara Bhumi menuangkan dua cangkir kopi dari mesin di pojok ruangan.
“Gula?” tanyanya tanpa menoleh.
“Setengah sendok.”
Bhumi tersenyum kecil. “Sama kayak aku.”
Bulan tersenyum samar, memperhatikan bagaimana gerakan Bhumi begitu tenang dan otomatis — nyaris seperti ritual.
Sebelum Bhumi kembali dengan dua cangkir di tangannya, ponsel Bulan bergetar di meja.
Pesan dari Liora.
Liora : “Udah ya, aku balik ke kantor duluan. Kamu gak usah buru-buru. 😉”
Bulan: “Oke. Hati-hati di jalan.”
Bulan menatap pesan itu beberapa detik. Liora tahu terlalu banyak untuk ukuran satu emoji “😉” — dan Bulan tahu Liora pasti lagi senyum-senyum sendiri di lift Arjuno Grand Hotel.
Bhumi meletakkan dua cangkir kopi di meja. “Liora balik duluan?”
“Iya. Aku suruh dia langsung ke kantor Global Teknologi aja. Katanya mau cek laporan bulanan.”
Bhumi mengangguk, duduk di kursi seberang. “Bagus. Kamu gak buru-buru balik juga kan?”
“Enggak,” jawab Bulan pelan. “Toh, udah sore juga.”
Hening beberapa saat, hanya suara jarum jam yang terdengar pelan. Bhumi menatapnya sebentar sebelum akhirnya bertanya, nada suaranya tenang tapi penuh minat tulus.
“Bulan, aku penasaran… PT Global Teknologi itu milik kamu dan Liora?”
Bulan sempat mengangkat wajah, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu.
“Oh, bukan. Kami cuma dipercaya buat pimpin. Aku di bagian IT, Liora di marketing digital. Tapi pemilik aslinya ada beberapa.”
“Siapa aja?” tanya Bhumi lembut, tapi matanya memperhatikan dengan seksama — bukan interogasi, lebih seperti ingin memahami ekosistem di mana Bulan bergerak.
“Pemegang saham terbesarnya itu Pak Januar dari PT Global Jaya, sama Pak Sadam dari PT Prima Perkasa. Sisanya dimiliki tiga orang direksi: Pak Mulya, Pak Siregar, dan Pak Aldo.”
Ia menyesap kopi pelan. “Mereka berlima itu fondasi awal berdirinya Global Teknologi, sementara aku dan Liora cuma… orang lapangan yang kebetulan ahli di bidang masing-masing.”
“Ahli?” ulang Bhumi. “Kamu merendah.”
Bulan tersenyum kecil. “Nggak, cuma realistis.”
“Kalau realistis, Global Teknologi gak bakal bisa maju secepat ini kalau bukan karena tangan dua perempuan yang ngerti dunia sistem dan digital marketing sekaligus.”
Kalimat itu sederhana, tapi cara Bhumi mengucapkannya membuat dada Bulan terasa sedikit hangat. Ia menatap cangkirnya, berusaha menyembunyikan senyum yang mulai muncul tanpa izin.
Bhumi melanjutkan, “Aku kenal baik dengan Pak Januar dan Pak Sadam. Kita sering ketemu di acara PPSI.”
“PPSI?”
“Persatuan Pengusaha Seluruh Indonesia,” jelas Bhumi, nada suaranya ringan. “Mereka berdua orang baik, walau… sedikit konvensional soal teknologi.”
Bulan tertawa kecil. “Iya, itu betul banget. Pak Januar masih suka tanya kenapa file-nya ‘hilang’ padahal cuma salah klik minimize.”
Bhumi ikut tersenyum. “Aku juga dulu gitu.”
“Dulu?”
“Sekarang udah mendingan dikit. Soalnya ada seseorang yang bikin aku ngerti hal-hal yang dulunya aku pikir gak penting.”
Bulan mengangkat alis, menatapnya — dan Bhumi tahu tatapan itu menuntut jawaban.
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Orang itu, sekarang lagi duduk di depan aku.”
Seketika, Bulan terdiam. Ada jeda panjang yang menggantung di udara — antara degupan jantung dan suara hujan yang kembali turun pelan di luar. Ia menunduk cepat, menyembunyikan rona merah muda yang tiba-tiba naik di pipinya.
“Mas Bhumi…” katanya pelan, tapi tak melanjutkan.
“Ya?”
“Kamu selalu ngomong hal-hal kayak gitu tanpa ekspresi, tapi… efeknya gak bisa diabaikan, tahu gak?”
Bhumi tersenyum kecil. “Kalau aku senyum waktu ngomong, kamu kira aku lagi gombal.”
“Dan sekarang aku kira kamu serius,” sahut Bulan cepat.
Bhumi menatapnya lama — terlalu lama. Hening di antara mereka berubah jadi sesuatu yang berat tapi lembut, seperti udara hangat setelah hujan.
“Bulan,” katanya akhirnya, pelan tapi tegas.
“Hm?”
“Kamu tahu kenapa aku ikut rapat tadi?”
Bulan berpikir sejenak. “Karena kamu gak mau kecolongan lagi?”
“Sebagian.”
“Sebagian?”
“Sebagian lagi…” Bhumi berhenti, menatapnya dengan sorot mata yang dalam tapi lembut. “Karena aku gak mau kehilangan momen lihat kamu kerja.”
Hening lagi. Tapi kali ini, bukan canggung — hanya penuh sesuatu yang tak perlu dijelaskan.
Bulan menatapnya, pipinya kini sudah memanas, matanya sedikit menunduk tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
“Mas Bhumi…”
“Ya?”
“Kalau kamu terus ngomong kayak gini, aku yang gak bisa fokus nanti.”
Bhumi tertawa pelan — tawa yang jarang sekali terdengar, dalam tapi hangat.
“Berarti adil. Karena dari tadi aku juga gak fokus kalau kamu ada di ruangan.”
Bulan hanya bisa menatapnya — antara ingin tertawa, tapi juga takut kalau suara kecilnya sendiri akan membocorkan debaran yang ia simpan. Mereka berdua diam cukup lama, hanya membiarkan waktu berjalan.
Dari jendela besar, sinar senja yang tersisa menembus awan. Cahaya keemasan itu jatuh di sisi wajah Bulan, membuat Bhumi menatap sedikit lebih lama dari yang seharusnya.
Dan di ruangan setenang itu — antara dua cangkir kopi, aroma kayu, dan sisa suara hujan — dua hati yang sama-sama terbiasa menahan diri mulai menemukan titik tenang yang baru.
**
Hujan sudah reda ketika Bulan tiba di kantor Global Teknologi. Gedungnya tidak sebesar Arjuno Group, tapi suasananya jauh lebih hangat — lampu-lampu kuning lembut, aroma kopi yang menempel di udara, dan suara keyboard dari tim malam yang masih lembur.
Sudah lewat pukul delapan malam, dan hampir semua karyawan sudah pulang. Hanya lantai tim back office yang masih menyala.
Bulan melangkah masuk ke ruangannya dengan langkah tenang, tasnya masih tersampir di bahu, dan jas abu arang yang tadi dikenakan masih melingkari pundaknya. Ia baru sadar — jas itu masih punya aroma yang sama seperti beberapa jam lalu: kayu, kopi, dan hujan.
“Haiii!”
Suara itu muncul begitu tiba-tiba sampai Bulan refleks berhenti. Dari balik monitor besar di meja seberang, Liora muncul dengan ekspresi yang… terlalu bersemangat untuk ukuran malam hari. “Akhirnya lo balik juga, Bu COO yang sedang jatuh hati!”
Bulan menghela napas. “Gue bahkan belum buka laptop, Li.”
“Tapi lo udah buka hati, kan?”
Bulan langsung menatapnya dengan tatapan tolong-hentikan-dramamu. “Liora.”
“Rembulan.”
Nada Liora menirukan dengan dramatis. “Tolong jelaskan kepada saya—kenapa anda pulang bawa jasnya Pak CEO? Atau, lebih tepatnya… jasnya Bhumi Jayendra?”
Bulan menunduk, memijat pelipisnya pelan. “Lo lihat dari CCTV kantor atau kamu punya radar di kepala lo itu?”
Liora menyilangkan tangan di dada. “Dua-duanya.”
“Serius, Li, jangan mulai—”
“Serius, Bulan, gue harus mulai.”
Liora mendekat, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu.
“Ceritain ke Gue, kenapa lo bisa pakai jas dia? Jangan bilang lo keujanan bareng, please, gue gak siap dengernya.”
Liora langsung menyeret Bulan untuk langsung masuk kedalam ruangannya, lalu Liora menutup pintu ruangan itu. seketika ruangan berubah menjadi seperti ruang intrograsi tahanan. Sorot mata Liora seperti penasaran.
Bulan menarik napas panjang lalu duduk di kursinya. “Kita cuma ngobrol di balkon. Udara dingin. Dia—”
“—langsung refleks ngasih jasnya, kan?” potong Liora cepat, matanya membesar. “Astaga, ini tuh textbook move versi Bhumi! Dingin di luar, hangat di hati. Dia lagi ngedeketin lo, Bulan!”
Bulan menatapnya datar. “Gue gak tahu lo terlalu banyak nonton dracin atau lo terlalu haus sama interaksi romantis.”
Liora menepuk dada sendiri. “Keduanya.”
Mereka berdua tertawa kecil. Namun tawa Bulan masih mengandung sesuatu yang lain — ada sisa hangat dari siang tadi, sesuatu yang belum mau hilang.
Liora memperhatikan itu. Ekspresi lembut di wajah sahabatnya, cara matanya sedikit menerawang, dan caranya menyentuh jas di pundak seperti enggan melepasnya.
“Bulan,” katanya lebih pelan kali ini, “Lo sadar gak, lo beda hari ini?”
“Beda gimana?”
“Biasanya lo dingin kayak server di ruang data. Tapi sekarang… kayak lagi jalan di sore hari yang cerah. Tenang, tapi hidup.”
Bulan terdiam sebentar. Lalu perlahan, ia menunduk sambil tersenyum kecil. “Gue gak tahu, Li. Tapi… rasanya ada yang berubah.”
“Berubah ke arah mana?”
“Gak tau kearah mana tapi yang anehnya, gue malah gak takut.”
Liora menyandarkan tubuh di kursi, menatap Bulan dengan senyum lebar.
“Jadi… Bhumi Jayendra berhasil bikin lo ngelepas firewall hati?”
Bulan menatapnya, pura-pura kesal. “Lo bisa gak sih satu menit aja gak pake istilah IT buat ngecengin orang?”
“Gak bisa,” jawab Liora cepat. “Soalnya kisah cinta kalian udah kayak sistem baru — penuh enkripsi, tapi gue tahu, bentar lagi pasti kebuka.”
Bulan hanya menggeleng, tapi kali ini sambil tersenyum lebih lebar. Ia duduk di kursinya, menyalakan laptop, sementara Liora masih menatapnya dengan tatapan bestie-mode-on.
“Oh iya,” kata Liora sambil berpura-pura mengetik, “jadi tadi waktu kamu ngobrol di balkon itu, dia ngomong apa aja? Jangan bilang cuma ‘dingin ya udaranya’— guetahu Bhumi gak se-basi itu.”
Bulan menatap layar laptopnya, tapi nada suaranya menurun pelan. “Dia bilang… takut gue sakit.”
Liora langsung menegakkan tubuh. “Wait—what?!”
“Dan…” Bulan berhenti, pipinya mulai memanas. “Dia juga bilang… susah buat gak ngelihat gue terlalu lama.”
Suasana langsung hening beberapa detik. Sampai akhirnya, Liora bersuara lirih, hampir seperti bisikan, “Gila. Itu bukan Bhumi versi dunia korporat. Itu Bhumi versi… Fallin in love.”
Bulan menunduk, senyum kecil tak bisa disembunyikan.
“Gak tahu, Li. Tapi gue ngerasa dia bukan cuma partner bisnis di balik meja. Waktu bareng dia, kayak… ngelihat sisi manusia yang selama ini dia sembunyikan.”
Liora menatapnya lama, lalu tersenyum hangat. “Lo sadar gak sih, Bul, kalau lo adalah satu-satunya orang yang bikin cowok itu berhenti keliatan kayak robot?”
Bulan hanya menatapnya balik, wajahnya memerah samar.
“Dan lo,” balas Bulan, menatap Liora dengan senyum jahil, “adalah satu-satunya orang yang bisa ngomong ‘jatuh cinta’ dengan ekspresi kayak detektif nemu bukti kriminal.”
Liora terkekeh keras. “Ya jelas lah, ini bukti besar, Bu Rembulan! Bukti bahwa manusia es itu bisa meleleh.”
Bulan tertawa kecil. “Liora, lo tahu gak?”
“Apa?”
“Kadang gue lupa gimana rasanya jatuh cinta. Tapi hari ini… kayaknya gue ingat lagi.”
Liora berhenti mengetuk ngetukkan jarinya ke meja.
Senyum yang tadinya usil berubah jadi lembut. “Dan gue harap, lo gak lupa cara bahagia juga.”
Bulan menatap layar laptopnya, tapi pandangannya kosong. Di luar jendela kantor, cahaya lampu kota Surabaya berpendar lembut — dan di dalam ruangan itu, untuk pertama kalinya, senyum Bulan bukan senyum sopan… tapi senyum yang hidup.
**
Ditempat berbeda tapi diwaktu yang sama, langit Surabaya sudah benar-benar gelap. Cahaya kota berpendar di bawah sana, memantul di kaca lebar ruang kerja Bhumi di lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel. Di dalam ruangan, hanya lampu gantung di atas meja kerja yang menyala — cahayanya hangat, menyoroti dua sosok pria yang duduk berseberangan: Bhumi Jayendra dan Marvin Nalendra.
Di atas meja, beberapa dokumen terbuka, laptop menyala, dan dua cangkir espresso masih mengepulkan aroma pahit yang menenangkan. Tapi suasananya… jauh dari yang disebut formal.
“Jadi,” suara Marvin pelan tapi menggoda, nada rendah khasnya penuh arti, “rapat sore tadi harusnya teknis soal sistem keamanan, kan?”
Bhumi yang sedang menatap layar laptop menoleh pelan. “Iya.”
“Tapi kenapa, dari laporan Arsen, lo gak kedip waktu narasumbernya ngomong?”
Bhumi memutar pena di jarinya, ekspresinya datar. “Arsen kebanyakan omong.”
Marvin mengangkat satu alis. “Arsen cuma realistis, Bhum.”
Hening beberapa detik. Marvin menyandarkan tubuh di kursinya, kaki bersilang santai. “Gimana rasanya, Bhumi Jayendra, si manusia dingin dan tenang — akhirnya jatuh cinta?”
Bhumi menghela napas dalam, meletakkan penanya di meja. “Gue kerja, Vin.”
“Ah ya, kerja.” Marvin menirukan, nadanya sinis ringan. “Kerja bareng cewek cantik yang setengah jam lalu masih lo antar ke parkiran hotel.”
Tatapan Bhumi beralih ke sahabatnya, datar tapi matanya sedikit berkilat. “Gue cuman – sopan.”
“Dan sopan lo itu penuh makna, Bhum, kayak puisi korporat,” jawab Marvin cepat, tertawa kecil.
Bhumi akhirnya menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap keluar jendela. Cahaya gedung lain terpantul di kaca, memantulkan siluet wajahnya yang serius tapi — kalau diperhatikan baik-baik — ada lembut yang baru di sana. Sesuatu yang tidak dimiliki Bhumi Jayendra yang dulu.
Marvin memperhatikan itu.
“Gue belum pernah lihat lo kayak gini,” katanya akhirnya.
“Kayak gimana?”
“Kayak manusia.”
Bhumi menoleh cepat, tapi sudut bibirnya naik sedikit. “Lucu.”
“Serius,” kata Marvin. “Biasanya lo dingin, to the point, semua hal harus terukur. Tapi begitu ada dia —” ia menunjuk udara kosong di depan — “logika lo mulai rontok satu-satu.”
Bhumi diam. Ia tak menyangkal, tapi tatapan matanya berubah — bukan malu, tapi tenang.
“Gue gak tau sejak kapan,” katanya pelan. “Tapi setiap dia ada di ruangan, rasanya kayak sistem di kepala gue berhenti ngitung.”
Marvin terdiam beberapa saat, lalu tertawa pendek. “Gawat. Itu bukan bug, Bhum. Itu cinta.”
“Cinta?” Bhumi menatapnya datar. “Kata yang terlalu lebay untuk hal yang sederhana… Tapi nyaman.”
Marvin menggeleng sambil tertawa. “Kalau nyaman aja udah bikin lo gak fokus, gue jadi gak sabar liat lo yang bener bener jatuh cinta.”
Bhumi ikut tersenyum kecil. “Kayak lo gak pernah jatuh cinta aja.”
Marvin mengangkat bahu santai. “Gue? Gue mah realistis.”
“Realistis?” Bhumi menyipitkan mata. “Maksud lo, pura-pura gak peduli waktu Liora terang-terangan ngejar?”
Marvin langsung menatap Bhumi tajam, tapi Bhumi hanya menaikkan alis santai.
“Gak usah pura-pura, Vin. Gue liat sendiri waktu di stasiun, gimana lo diem tapi mata lo natap dia terus waktu dia ngomong.”
Marvin menghela napas, memutar gelas kopinya pelan.
“Dia berisik, cerewet, dan terlalu spontan.”
“Tapi lo gak nyuruh dia diam, kan?” potong Bhumi cepat.
“Karena gue takut dia benar-benar diem,” balas Marvin pelan, tanpa sadar mengakui.
Bhumi tersenyum kecil, memiringkan kepala. “Berarti lo juga gak merasa kalo lo udah mulai jatuh cinta.”
“Dan lo gak sedingin yang semua orang pikir,” balas Marvin cepat. “Lihat diri lo sekarang — buka meeting IT cuma karena Rembulan Adreyna duduk di ruangan itu.”
Bhumi mengangkat satu sisi bibir. “Pasti Arsen ngelaporin semua, ya?”
“Dia loyal, tapi gak buta,” jawab Marvin ringan. “Dia bilang ekspresi lo waktu denger nama Rembulan kayak orang yang baru nemu makanan enak.”
Bhumi tertawa pelan, nada suaranya rendah. “Arsen perlu cuti kayaknya.”
“Dan lo perlu jujur.” Sanggah Marvin cepat.
Suasana ruangan kembali hening. Lampu kota di luar berkedip perlahan, sementara dua sahabat itu hanya duduk — satu memutar cangkir, satu menatap langit. Heningnya bukan dingin; justru penuh makna yang tidak perlu dijelaskan.
Marvin menatap Bhumi lagi. “Jadi… sekarang gimana?”
“Gimana apa?”
“Rencana lo. Mau tetap pura-pura gak peduli, atau mulai bergerak?”
Bhumi menatapnya sebentar, lalu menjawab dengan suara rendah tapi tegas,
“Kalau data corporate aja bisa gue pelajari sampai hafal diluar kepala… masa perasaan sendiri gak bisa?”
Marvin menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Lucunya, gue yakin lo lagi gak ngomongin data sekarang.”
“Dan gue yakin lo gak ngomongin kerjaan waktu bilang Liora ‘menyebalkan tapi menarik’.”
Mereka berdua saling menatap — lalu tertawa kecil, pelan, tapi tulus. Suara hujan yang mulai turun lagi di luar mengisi sela di antara tawa mereka.
Bhumi menghela napas panjang. “Lucu ya, Vin.”
“Apa?”
“Dulu kita pikir orang sukses cuma perlu kerja keras.”
Marvin tersenyum miring. “Sampai akhirnya sadar, yang paling bikin hidup berantakan justru bukan proyek… tapi seseorang.”
Bhumi mengangguk kecil.
“Dan mungkin,” katanya pelan, menatap keluar jendela, “berantakan kali ini gak seburuk itu.”
Marvin menatapnya lama — lalu mengangkat cangkir kopi, menyengir tipis.
“Kalau gitu, selamat datang di klub orang berantakan, Bhumi Jayendra.”
Bhumi ikut mengangkat cangkirnya, menepuk ringan gelas Marvin.
“Selamat datang juga, Marvin Nalendra.”
**
tbc