"Sedang Apa Kalian?"
"Wah! Mereka Mesum!"
"Sudah jangan banyak bacot! Kawinin Pak saja! Kalo gak mau Arak Keliling Kampung!"
"Apa?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Rim, Kamu pikir Aku bakal nyerah cuma karena Kamu blokir nomor Aku? Enggak Rim! Aku akan tetap berjuang supaya Kita bisa balikan. Aku salah Rim. Aku tahu! Tapi Kamu pun ada andil didalamnya dalam perselingkuhan Aku! Dan Kamu tahu itu!"
Karim melempar ponsel miliknya ke ranjang. Tarukan nafas Karim terasa berat dan menyesakkan.
Entah. Apakah pantas perselingkuhan dianggap sebagai jalan keluar dan pembenaran disaat seorang Suami tak mampu memberikan nafkah batin kala itu.
Karim masih ingat betul. Kejadian yang membuat dirinya harus mengalami pukulan terberat dan dinyatakan sempat tak mampu menjalankan tugas sebagai seorang Suami pada umumnya.
Saat itu, Karim hancur. Sangat hancur. Namun Karim berusaha terus agar sebagai seorang Suami Ia bisa layak, paling tidak Karim tetap memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang Suami meski nafkah batin untuk Karina tak mampu Ia berikan.
Didepan Karim, Karina tampak menerima dan baik-baik saja. Hingga Karim merasa, mungkin perjodohan yang dilakukan Ayah Karim adalah yang terbaik bagi Mereka.
Namun siapa yang menyangka, disaat Karim mulai menemukan lagi rasa kepercayaan dirinya dan terus berusaha untuk kesembuhannya, Karim justru mendapati pengkhianatan yang dilakukan Karina dan orang kepercayaan Karim.
Saat itu, Karim masih ingat betul, Karim menjalani pemeriksaan terakhir di luar negeri. Sengaja tak memberi tahu Karina agar menjadi kejutan bahwa Ia sudah dinyatakan sembuh dan segera bisa menunaikan kewajibannya memenuhi nafkah batin sebagai Suami kepada Karina Istrinya.
Namun, bukan Karim yang sukses memberikan kejutan, tapi Karim lah yang dibuat terkejut oleh pemandangan tak senonoh yang Ia lihat sendiri dengan mata kepalanya.
Karina bergerak liar diatas, Orang yang sudah Karim anggap seperti keluarganya sendiri. Orang kepercayaan Karim itu tanpak begitu puas menikmati permainan Karina diatas tubuhnya.
Kini, sambil memejamkan mata, Karim berusaha mengenyahkan ingatan buruk akan peristiwa yang sukses membuat Karim hilang kepercayaan terhadap apa yang namanya cinta.
Karim masuk kamar mandi, hingga tak sadar, ada pesan masuk dari Kartika.
***
Kartika menjatuhkan bobot tubuhnya diranjang.
Menatap kayar ponsel yang barusaja mengirim pesan kepada Karim.
Tak ada jawaban namun mengapa hati Tika setia menunggu dan berharap.
"Si@lan! Dasar Mantan Duda! Gara-gara Dia hidup Gue jungkir balik!"
Kartika memilih meletakkan saja ponselnya diatas nakas. Entahlah! Pusing!
***
Suasana pagi di rumah Pak Kartono selaku saja riuh. Ada saja tang membuat Ibu Suri, Ibu Kita Kartini, Istri Pak Kartono yang bukan Harum namanya bersabda.
"Tama! Buruan mandinya! Kamu laki-laki rapi kalau mandi Ibu heran! Ngalahin anak Perawan!" Suara merdu alis menggelegar Bu Kartini sambil menggedor kamar mandi yang sudah setengah jam di huni Kartama Putra bungsunya.
"Ada apa sih Bu, pagi-pagi suara sudah sampe ke teras. Bapak masuk ngucap salam sampe gak ada yang jawab." Sambil menyodorkan tangan yang langsung diraih sang Istri turut mengalami dan sesi omelan pun kembali dibuka.
"Gimana Ibu gak ngomel Pak. Tama, kalo mandi lama banget! Ibu tuh mau minta tolong sama Tama, ini malah sudah setengah jam sendiri di kamar mandi. Kamu itu mandi apa pingsan Tam!" Kembali pintu kamar mandi di gedor.
"Ya sudah Bu, memang Ibu minta tolong apa? Kan ada Tika, sama Tika aja."
Bukan memberikan solusi terbauk, malah semakin membuat Bu Kartini murka.
"Apalagi anak Gadis Bapak satu itu! Hobinya ngerem di kamar, Ibu panggil belum ada jawaban! Heran Ibu, setiao hari gak bisa ta kalo gak bikin Ibu naek darah! Sekali-kali Ibu naek haji Pak!"
"Aamiin. Ya sudah, Bapak yang panggil Tika, Ibu itu lagi masak apa, kok bau hangus."
"Astaga! Ibu sampe lupa lagi rebus telor. Gara-gara Tama sama Tika!" Bu Kartini segera menuju dapur kembali melanjutkan sesi masak menyialkan sarapan pagi.
Sedangkan di rumah Karim, sejak sebelum subuh, Karim sudah terjaga.
Setelah menunaikan shalat subuh, Karim memilih berolahraga di rumah saja.
"Datang ke rumah. Penting!"
Baru saja Karim memeriksa ponsel yang sejak semalam Ia abaikan, pesan masuk yang Ia baca sukses membuat Karim bernafas berat, menetralisir irama degup jantung yang memancing emosi.
Hari ini, Karim sudah janji dengan Tika dan keluarga, Mereka akan melakukan gladi di gedung untuk acara pernikahan keduanya.
Namun, pesan yang baru saja masuk tak bisa Karim abaikan. Karim paham betul, jika Ia abai menanggapi pesan itu, bisa saja rencananya menikah akal gagal.
Karim meraih ponselnya kembali menghubungi Tika.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Sudah bangun?"
"Sudah. Ada apa?"
"Kamu gak nanya kabar Mas?"
"Sehatkan?"
"Gitu banget sih! Cium nih!"
"Gak usah modus! Ada apa?"
"Maaf, semalam Mas ketiduran, Kamu hari ini sama Bapak dan Ibu berangkat duluan aja ya ke Gedung, Mas ada urusan yang gak bisa ditinggal, nanti Mas nyusul secepatnya."
"Batalin aja!"
"Ya jangan dong Sayang, Orang Gedung, WO nya sudah janji, gak enak. Gapapa ya, Mas janji segera nyusul, Please😥."
"Ya udah."
"Makasi Sayang. Mas janji segera nyusul. Salam buat Bapak sama Ibu. Pakai mobil aja. Jangan pakai Taxi. Sekalian Kamu coba mobil Kamu."
"Iya."
"Ah! Senengnya ada yang dikhawatirin."
"Siapa yang khawatir. Gak ada!"
"Iya deh! Cium boleh gak?"
"Gak!"
***
"Jadi Karim nanti nyusul Tik?"
"Heem."
"Karim itu sibuk banget ya kayaknya. Tapi gapapa deh, yang penting Dia tetap laporan sama Kamu sesibuk apapun."
"Oh iya Pak, sebetulnya Ibu penasaran, Kenapa sampai saat ini Karim gak pernah cerita soal keluarganya ya?"
"Mungkin memang Karim belum siap aja Bu, kadang sebagai laki-laki, Kita memang harus bisa memilah memilih bagaimana bersikap dan laki-laki bisa menikah tidak seperti perempuan yang harus ada wali."
"Ya tapi Ibu cuma gak mau aja, Tika tahu-tahu gak diterima sama Mertuanya. Kayak di Film-Film, Mertuanya gak setuju pilihan anaknya terus anak Kita amit-amit ditinggalin gitu aja."
"Hush! Kalo ngomong jangan sembarangan Bu. Kalo Tika denger kasihan, sedih lagi. Lagi pula, Karim sendiri belum cerita apa-apa tapi melihat tanggung jawab Dia ke Anak Kita, Bapak yakin Karim hanya lagi menunggu saat yang tepat."
"Ya semoga begitu ya Pak. Ibu cuma khawatir aja."
"Sudah, panggil anak-anak, dari tadi ditunggu sarapan kok lama banget. Kan mau berangkat."
"I'm Coming Mommy, Daddy!" Si Tengil Tama dengan senyum selebar gapura tujuh belasan, duduk bergabung di meja makan menatap dengan berbinar pada lauk yang sudah komplit tersaji.
Sementara Tika dari arah belakang, tak ada ekspresi, bosan dengan drama pagi tang riuh di rumahnya sejak zaman dahulu kala.
"Ayo cepet sarapan! Gak usah banyak gaya Tama! Ibu sebel sama Kamu!"
Dimulut bilang sebal tapi semuanya dilayani dengan baik oleh Ibu Kita Kartini, Istri Pak Kartono, yang bukan Harum namanya.
"Makasi Ibuku yang cantik! Semoga Ibu Kita Kartini, Istri Bapak Kartono yang baik hatinya selalu diberi kesehatan, umur panjang dan selaku sabar."
Tama tersenyum meski mendapatkan pelototan dari Sang Ibu.