Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Ada yang Tumbuh, Tapi Bukan Lagi Cinta
Nayla berdiri di depan kelas sore itu, memandangi wajah-wajah mahasiswa baru yang begitu bersemangat menyambut setiap materi. Ia mengajar dengan sepenuh hati bukan sekadar karena kewajiban, tapi karena itu satu-satunya ruang di mana ia merasa benar-benar hidup.
Di sela-sela jeda, ponselnya bergetar. Pesan dari seorang nama yang akhir-akhir ini mulai akrab di notifikasinya: “Hadi: Jangan lupa makan malam ya, Nay.”
Nayla tersenyum kecil. Hadi adalah dosen tamu yang beberapa kali satu proyek dengannya. Ramah, cerdas, dan punya cara membuat Nayla merasa dihargai, tanpa tekanan. Tidak ada cinta di sana, belum, tapi ada ketenangan yang membuat luka dalam dirinya tidak lagi terasa seperti jurang.
Di sisi lain kota, Arvan menatap layar laptopnya kosong. Sejak ia bertemu Nayla kembali, pikirannya kacau. Ia berusaha menjalani hidup seperti biasa, tapi selalu kembali ke satu titik: penyesalan.
Ia sempat mengira Nayla akan tetap menjadi miliknya. Sekalipun terluka, Nayla adalah perempuan yang tak pernah pergi sejauh ini. Tapi kali ini berbeda. Nayla pergi bukan karena emosi, melainkan karena sadar bahwa ia tak bisa terus jadi pilihan terakhir.
Dan kini, saat Nayla tak lagi menjadi bagian dari hidupnya, justru semua kenangan menyerbu tanpa ampun.
Ia membuka galeri foto. Masih ada gambar-gambar mereka. Nayla di dapur, Nayla tertidur di sofa, Nayla tersenyum sambil memeluk bukunya hal-hal kecil yang dulu tak ia anggap penting, kini menjadi harta yang tak bisa dimiliki lagi.
Arvan mendesah. Ia mencoba menghubungi Nayla, tapi hanya dibaca tanpa balasan. Ia tahu batas itu sudah dibuat Nayla. Tapi tetap saja hatinya tak bisa diam.
Malam itu, Nayla duduk di sebuah kafe, menunggu Hadi yang datang dengan senyum menenangkan. Mereka berbicara banyak hal tentang pendidikan, tentang anak-anak di pedalaman, bahkan tentang puisi.
“Aku rasa kamu pernah nulis puisi yang sedih banget,” ujar Hadi tiba-tiba. “Kayak kamu pernah patah, tapi nggak semua orang tahu.”
Nayla tersenyum tipis. “Aku pernah patah. Tapi lebih menyakitkan saat tetap berdiri pura-pura utuh.”
Hadi menatapnya lama. “Kalau kamu capek berdiri sendiri, kamu tahu, aku di sini, kan?”
Nayla mengalihkan pandangannya. Ia belum siap. Hatinya belum benar-benar sembuh. Tapi yang ia tahu, perasaannya ke Hadi bukan tentang jatuh cinta, tapi tentang dihargai, dimengerti, dan... akhirnya bisa bicara tanpa harus takut diabaikan.
Sementara itu, Arvan berdiri di depan rumah kontrakan Nayla malam itu. Hujan turun pelan. Tapi kali ini, Nayla tak membukakan pintu.
Dan untuk pertama kalinya, Arvan benar-benar merasa... Nayla telah pergi.
Malam mulai larut. Di dalam kamar sederhana yang ia sewa dekat kampus, Nayla memandangi dinding kosong. Suara hujan mengetuk jendela, mengirimkan rindu yang tak ia undang. Bukan pada Arvan. Tapi pada dirinya sendiri versi dirinya yang dulu kuat meski dilukai, yang dulu selalu berharap meski tahu akhirnya tak dipilih.
Nayla membuka jurnal kecilnya. Tinta pena menyentuh halaman dengan gemetar:
"Aku tidak sedang mencari cinta baru. Aku hanya sedang mencari tempat di mana aku bisa tenang, tanpa harus bertanya, 'Apa aku cukup baik untuk dipilih?'"
Sementara itu, Arvan masih berdiri di depan gerbang rumah kontrakan itu. Sudah pukul sepuluh malam. Tangannya dingin. Hujan tidak deras, tapi cukup untuk membuat tubuhnya menggigil. Ia tahu Nayla tidak akan membukakan pintu. Tapi ia tidak tahu harus ke mana.
Ia tak bisa pulang ke rumah mereka dulu rumah yang sekarang kosong dan dingin meski semua perabot masih utuh. Ia juga tak bisa kembali ke hidupnya yang dulu, karena sesuatu dalam dirinya telah berubah.
Arvan kehilangan arah. Tapi lebih dari itu, ia kehilangan seseorang yang membuatnya tahu arah sejak awal.
Keesokan harinya, Nayla menghadiri seminar di luar kota bersama beberapa dosen dari universitas. Salah satunya adalah Hadi.
Di ruang konferensi, mereka duduk berdampingan. Nayla mengenakan blazer abu muda dan jilbab biru tua, terlihat dewasa dan tenang. Tak ada sisa perempuan yang dulu sering menangis diam-diam di sudut kamar.
Saat sesi diskusi selesai, Hadi menoleh padanya. “Kamu tahu, Nay... kamu berubah. Sekarang kamu kayak... punya kendali penuh atas hidupmu. Dulu kamu lebih sering menenggelamkan diri.”
Nayla menatapnya singkat. “Dulu aku mengira mencintai seseorang harusnya menyelamatkan. Tapi ternyata... yang kupikir cinta, justru menenggelamkanku perlahan.”
Hadi terdiam. Ia tak ingin menekan. Ia hanya ingin berada. Menjadi seseorang yang tidak datang dengan tuntutan, tapi dengan penerimaan.
Di hari yang sama, Arvan menerima kabar bahwa Nayla mengikuti seminar tersebut. Ia melihat foto-foto yang beredar di media sosial kampus Nayla tampak bersinar, duduk di barisan depan, berdiskusi aktif. Dan di beberapa foto lain, ada sosok Hadi yang berdiri di dekatnya.
Perut Arvan mendadak mual. Ia tahu ia tak berhak cemburu. Tapi melihat Nayla bisa tertawa dengan pria lain membuatnya terasa seperti ditikam di bagian yang tak terlihat.
Ia duduk di mobil, menatap ponsel, mengetik pesan:
“Nayla, bolehkah aku bicara sebentar? Aku tahu aku bukan siapa-siapa lagi... Tapi aku cuma ingin jujur untuk sekali ini saja.”
Lalu menghapusnya.
Lalu menulis lagi:
“Apa kamu baik-baik saja? Aku cuma ingin tahu.”
Dan lagi-lagi, dihapusnya.
Pada akhirnya, ia hanya menatap layar kosong seperti hatinya yang kehilangan cahaya.
Malam itu, Nayla dan Hadi berjalan di trotoar hotel setelah makan malam. Kota kecil itu sepi, tapi suara langkah kaki mereka cukup untuk menyejukkan malam.
“Nay,” kata Hadi, pelan tapi mantap, “kalau suatu saat kamu merasa siap untuk membuka lembaran baru... kamu nggak harus cari yang sempurna. Kadang yang kamu butuhkan cuma orang yang mau jalanin hari-hari biasa bareng kamu.”
Nayla menatapnya. Dalam diam, ia merasa hatinya pelan-pelan mulai bernapas.
Tapi satu bagian dalam dirinya yang masih memeluk luka dari Arvan belum ingin sembuh sepenuhnya.
Dan ia tahu, sebelum bisa maju... ia harus menyelesaikan sesuatu yang belum tuntas.