'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'
---
Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.
Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."
Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.
Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.
Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17: Fajar yang Menipu - Bayangan di Surga
## Bangkit dari Kepingan Diri
Fajar menyingsing di Arib dengan keanggunan yang menyakitkan. Cahaya keemasan mengalir seperti madu di atas permukaan pulau, menyentuh setiap daun yang bergoyang, setiap butir pasir yang basah embun. Namun bagi Raka, fajar itu terasa seperti pisau yang membelah kesadarannya. Keheningan yang mengendap di seluruh Bumi masih terasa menusuk—keheningan yang lahir dari ketiadaan miliaran suara yang pernah mengisi planet ini.
Air mata yang menetes di pipinya semalam telah mengering, meninggalkan jejak garam yang gatal dan mengingatkannya pada luka yang belum sembuh. Ini adalah air mata pertama yang ia rasakan sejak ia menjadi algojo, dan sensasinya... asing. Bukan rasa sakit yang biasa ia kenal, bukan kesedihan yang dapat ia kategorikan, melainkan kebingungan yang menusuk seperti serpihan kaca di dadanya. Hati yang ia kira telah membatu kini terasa seperti dinding retak yang memungkinkan sesuatu yang tak dikenal merembes masuk—sesuatu yang membuatnya merasa... manusiawi.
Raka bangkit dari pasir yang dingin, merasakan butiran-butiran halus yang menempel di kulitnya. Setiap gerakan terasa berat, seolah gravitasi Bumi kini menariknya dengan cara yang berbeda. Ia meninggalkan Eva yang masih duduk tenang seperti patung di sampingnya, matanya yang hitam pekat menatap lautan dengan ekspresi yang tak terbaca.
Langkahnya menyusuri pantai terasa seperti ritual yang aneh. Setiap jejak kakinya di pasir meninggalkan kesan yang dalam, dan ia tak bisa menahan diri untuk menoleh ke belakang, melihat jejak-jejak itu seolah mereka adalah pertanyaan yang tertulis dalam bahasa yang tak ia pahami. Keheningan Arib, yang dulunya terasa seperti kedamaian yang ia dambakan, kini terasa seperti medan perang dalam benaknya.
Setiap suara yang muncul—tawa anak-anak dari desa, nyanyian syukur yang mengalun dari tepi pantai, bahkan celoteh burung-burung yang bersarang di pohon-pohon yang rimbun—adalah palu yang menghantam dinding pembenaran yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Dinding yang memisahkan antara Raka si algojo dan sesuatu yang lain, sesuatu yang kini mulai bangkit dari dalam dirinya.
Sensasi fisik yang ia rasakan sangat mengganggu. Kepalanya berdenyut dengan ritme yang tidak biasa, seolah ada sesuatu yang bergolak di dalam tengkoraknya. Terkadang ia merasa mual, bukan karena kelemahan fisik, tetapi karena kontradiksi yang berputar di perutnya. Ia mencoba mengingat wajah-wajah yang telah ia hancurkan, mencoba memunculkan kembali kepuasan dingin yang dulu ia rasakan saat melaksanakan perintah Bumi. Namun yang muncul justru bayangan-bayangan yang kabur, tidak konsisten, seolah ingatannya sendiri sedang berperang melawan narasi yang telah ia yakini.
*Apakah kehancuran ini benar-benar diperlukan?* Pertanyaan Jenderal Vargas bergema kembali, kini diperkuat oleh tawa murni anak-anak Arib. Jika kebaikan seperti ini sudah ada, mengapa ia harus melalui api dan debu kehancuran total untuk bisa muncul? Mengapa jutaan anak yang tak bersalah harus mati untuk melahirkan tawa yang sama?
Raka mengulurkan tangannya, membiarkan ombak kecil menyentuh ujung jarinya. Air laut terasa lebih hangat dari biasanya, dan ia merasakan getaran yang aneh—energi Bumi yang kini terasa berbeda. Lebih tenang, lebih... memaafkan? Atau justru lebih licik? Ia tidak bisa membedakannya lagi. Bisikan Bumi di benaknya kini terdengar lebih lembut, lebih persuasif, seolah intonasi yang berbeda dari suara yang sama.
*Kau telah membersihkanku, anakku. Kau telah menunaikan keadilan yang tertunda. Mereka yang ada di sini adalah benih yang murni, yang pantas mendapatkan fajar yang baru.*
Bisikan itu mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya, mengarahkan Raka untuk melihat Arib sebagai hasil yang logis dari misinya, bukan kontradiksi yang menyakitkan. Namun Raka merasakan ada sesuatu yang tidak tepat dengan bisikan itu. Sesuatu yang terlalu... terkalkulasi.
## Tali-tali yang Tak Terlihat
Eva akhirnya bangkit, langkahnya tanpa suara, seolah ia meluncur di atas pasir. Tidak ada jejak kaki yang tertinggal di belakangnya, seolah ia adalah bayangan yang bergerak independen dari tubuhnya. Ia mendekati Raka dengan gerakan yang begitu halus, mata hitam pekatnya mengamati setiap ekspresi mikro di wajah Raka—setiap kedutan otot, setiap perubahan dalam ritme napasnya, setiap kilatan emosi yang mencoba muncul di matanya.
Senyum tipisnya kini lebih jelas, seolah ia baru saja memecahkan sebuah persamaan yang rumit dan menemukan hasil yang sesuai dengan prediksinya. Ada kepuasan yang terkendali dalam ekspresinya, seperti seorang ahli bedah yang melihat operasi yang sulit berjalan sesuai rencana.
"Kau merasakannya, bukan?" Eva bertanya, suaranya seperti melodi yang menenangkan, namun setiap kata dipilih dengan ketelitian yang hampir matematis. "Disonansi. Konflik antara apa yang kau lakukan dan apa yang kau saksikan. Itu adalah tanda bahwa misimu belum sepenuhnya usai, Raka."
Raka menoleh ke Eva, matanya penuh kebingungan yang tak tertahankan. Kebingungan yang membuatnya merasa seperti anak kecil yang kehilangan dalam hutan. "Aku... aku tidak mengerti. Aku telah membersihkan Bumi. Semua parasit telah tiada. Lalu mengapa aku merasakan ini? Mengapa aku merasa... kosong?"
Eva menyentuh lengan Raka, sentuhannya dingin namun memancarkan gelombang energi yang aneh. Energi itu tidak lagi menekan emosinya seperti sebelumnya, tetapi membentuknya, mengarahkannya seperti tangan seorang pematung yang membentuk tanah liat. Raka merasakan pikiran-pikirannya mulai mengalir ke arah yang berbeda, seolah ada arus bawah sadar yang menuntunnya menuju narasi yang baru.
"Karena Bumi tidak hanya ingin menghapus kejahatan, Raka," Eva menjelaskan, suaranya kini terdengar lebih dekat dengan bisikan Bumi yang baru saja ia dengar. Kesamaan intonasi itu membuat Raka merasa tenang, seolah dua suara yang ia percayai sedang berbicara dalam harmoni. "Bumi ingin memulihkan kemanusiaan sejati. Kebaikan yang kau lihat di Arib ini adalah kebaikan yang Bumi impikan sejak awal. Namun, kebaikan ini tidak dapat berkembang jika ada bayangan yang mengancamnya."
Raka mengerutkan kening, merasakan sakit kepala yang berdenyut semakin intens. "Bayangan?"
"Bayangan dari masa lalu. Ketakutan akan kehancuran yang lain. Trauma yang dapat mencegah mereka membangun masa depan yang benar-benar bersih." Eva menunjuk ke arah lautan yang luas, tempat di mana miliaran jiwa telah musnah dalam keheningan yang kekal. "Pembersihan fisik telah selesai, Raka. Tapi pembersihan spiritual... itu baru permulaan."
Eva menuntun Raka ke tengah pemukiman Arib, dan dengan setiap langkah, dunia di sekitar mereka terasa semakin nyata, semakin penuh dengan detail yang mempesona. Aroma bunga-bunga yang tidak pernah Raka cium sebelumnya mengalir di udara—manis namun tidak menyesakkan, segar namun tidak menusuk. Tanah di bawah kaki mereka terasa berbeda, lebih subur, seolah setiap butir debu mengandung kehidupan yang berlipat ganda.
Penduduk di sana menyambut mereka dengan senyuman yang tulus, mata mereka bersinar dengan kebahagiaan yang murni. Tidak ada jejak ketakutan, tidak ada bayang-bayang kecurigaan. Anak-anak kecil memandang Raka dengan mata polos, tidak menyadari bahwa ia adalah pembawa kiamat yang baru saja mengubah wajah dunia.
Raka mengamati mereka dengan seksama, dan ia menyadari sesuatu yang aneh. Gerakan mereka terlalu selaras, seolah mereka bergerak dalam irama yang sama dengan detak jantung Bumi. Cara mereka berinteraksi dengan alam terasa intuitif, bukan hasil pembelajaran—seolah pengetahuan tentang harmoni dengan lingkungan telah tertanam dalam DNA mereka.
"Kau adalah pahlawan mereka, Raka," Eva berkata, suaranya dipenuhi dengan kepuasan yang tersembunyi. "Kau adalah penyelamat yang membuka jalan bagi kehidupan baru. Kau harus meyakini itu. Ini adalah takdirmu yang sesungguhnya."
Kata-kata Eva mengalir seperti air ke tanah yang kering, mengisi kekosongan dalam diri Raka. Ia telah menghancurkan, itu benar. Tapi sekarang ia bisa menjadi penyelamat. Ia bisa melindungi kebaikan ini. Emosi-emosi yang baru muncul dalam dirinya—simpati, mungkin bahkan cinta—kini memiliki arah baru. Sebuah tujuan baru yang terasa benar, yang bisa mengisi kehampaan yang ia rasakan sejak air mata pertama itu jatuh.
## Ilusi yang Terbangun
Selama beberapa hari berikutnya, Eva dan Raka menghabiskan waktu di Arib. Setiap hari terasa seperti terapi yang dirancang dengan sangat hati-hati. Raka mengamati penduduk, mencoba memahami kebaikan mereka, dan dengan setiap observasi, narasi baru dalam benaknya semakin menguat.
Ia berpartisipasi dalam kegiatan mereka—membantu menenun jaring ikan dengan tali yang dibuat dari serat tumbuhan yang tumbuh sempurna, mengukir kayu dengan pola-pola yang entah kenapa terasa familiar, mendengarkan cerita-cerita kuno tentang harmoni dengan alam yang disampaikan dengan bahasa yang indah dan metafora yang mendalam.
Setiap momen memperkuat "hati nurani" yang telah Eva biarkan tumbuh. Bisikan Bumi di benaknya kini secara konsisten terdengar lembut, memuji setiap tindakannya, menguatkan keyakinannya bahwa ia adalah agen keseimbangan yang diperlukan. Eva tak pernah meninggalkan sisinya, selalu siap memberikan penjelasan yang menenangkan, arahan yang halus, atau sentuhan yang menstabilkan ketika keraguan Raka mulai muncul.
Namun ada sesuatu yang mengganggu dalam keselamatan Arib. Raka mulai memperhatikan detail-detail kecil yang tidak biasa. Penduduk Arib tidak pernah sakit, tidak pernah terluka, bahkan ketika mereka melakukan pekerjaan yang seharusnya berisiko. Tumbuhan di sekitar mereka tumbuh dengan cara yang tidak alami—terlalu cepat, terlalu sempurna, seolah mereka merespons kehendak penduduk.
"Mereka... berbeda," Raka bergumam pada suatu sore, saat ia mengamati seorang anak kecil yang menyembuhkan luka kecil di tangannya hanya dengan menyentuhnya.
Eva tersenyum, dan untuk sesaat, Raka melihat kilatan kepuasan yang dingin di matanya. "Tentu saja mereka berbeda. Mereka adalah yang dipilih, Raka. Mereka adalah benih yang Bumi tanam untuk masa depan yang baru. Mereka memiliki gen yang tidak tercemar, jiwa yang tidak tergores oleh keserakahan dan kebencian. Mereka adalah bukti bahwa misimu berhasil."
"Tapi bagaimana mereka bisa selamat? Bagaimana mereka bisa ada di sini ketika seluruh dunia..."
"Karena Bumi melindungi mereka." Eva memotong, suaranya mengandung otoritas yang tidak bisa dibantah. "Bumi tahu bahwa mereka adalah masa depan. Bumi tidak memusnahkan semua karena Bumi membutuhkan penjaga yang memahami kebaikan, dan kaulah penjaga itu."
Raka merasakan sesuatu yang hangat menyebar di dadanya. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa memiliki tujuan yang tidak berkaitan dengan kehancuran. Ia merasa... dibutuhkan dengan cara yang berbeda.
## Misi Baru: Penjaga Fajar
Pada suatu malam, saat mereka duduk di tepi pantai mengamati bintang-bintang yang bersinar lebih terang dari biasanya, Eva menjelaskan "misi" selanjutnya. Suaranya terdengar seperti angin malam yang lembut, namun setiap kata yang ia ucapkan tertanam dengan kedalaman yang menakutkan.
"Mereka adalah benih yang sangat berharga," Eva berbisik, matanya menatap langit yang dipenuhi bintang. "Mereka harus dilindungi dari segala sesuatu yang dapat mencemari. Bahkan dari bayangan kehancuran masa lalu."
Raka mengangguk, merasakan pemahaman yang baru. "Aku mengerti. Kehancuran memang perlu. Tapi sekarang, perlindungan juga perlu."
"Lebih dari sekedar perlindungan, Raka." Eva berpaling ke arahnya, matanya berkilat dengan intensitas yang dalam. "Kau akan menjadi penjaga ilusi yang diperlukan. Ilusi bahwa kehancuran global yang baru saja terjadi adalah akibat dari bencana alam yang tidak terduga dan tak terkendali. Ilusi bahwa Arib adalah sebuah 'keajaiban' keberuntungan. Ilusi bahwa mereka yang selamat adalah yang terbaik dari yang terbaik."
Raka mengerutkan kening. "Mengapa harus ilusi?"
"Karena kebenaran akan menghancurkan mereka." Eva menyentuh pipi Raka, sentuhannya terasa seperti es yang membakar. "Jika mereka tahu bahwa kehancuran itu disengaja, jika mereka tahu bahwa miliaran jiwa dikorbankan untuk melahirkan mereka, mereka akan dihantui oleh rasa bersalah yang akan mencegah mereka membangun masa depan yang murni. Mereka akan menjadi seperti kau—terbebani oleh pilihan yang tidak pernah mereka buat."
Penjelasan itu terdengar masuk akal bagi Raka. Ia sendiri merasakan bagaimana beban kebenaran bisa melumpuhkan seseorang. "Jadi aku akan..."
"Kau akan menjadi penjaga kedamaian mereka. Kau akan memastikan bahwa tidak ada yang mengganggu kebahagiaan mereka. Kau akan melindungi mereka dari kebenaran yang merusak, dari dunia luar yang mungkin masih bertahan, dari bahaya apa pun yang bisa mengancam surga kecil ini."
Eva menjelaskan detail peran baru Raka. Ia harus memastikan bahwa Arib tetap terisolasi, bahwa tidak ada informasi dari dunia luar yang bisa mengkontaminasi kebahagiaan penduduk. Ia harus menggunakan kekuatannya untuk menciptakan penghalang yang tidak terlihat, untuk memanipulasi ingatan jika perlu, untuk memastikan bahwa generasi mendatang akan lahir dalam kebahagiaan yang murni.
"Bumi butuh waktu untuk pulih," Eva berkata, matanya menatap Raka dengan kepuasan yang dingin. "Dan benih-benih baru ini butuh lingkungan yang murni, bebas dari rasa takut dan trauma masa lalu. Kau akan menjadi penjaga ilusi itu, Raka. Penjaga fajar baru."
Raka merasa sebuah beban baru diletakkan di pundaknya, namun anehnya, beban itu terasa ringan. Bahkan mengangkat. Ini adalah tujuan yang terasa benar, yang mengisi kekosongan yang telah ia rasakan sejak air mata pertama itu jatuh. Ia telah menjadi tangan kehancuran. Sekarang ia akan menjadi tangan perlindungan. Ia akan menjaga kedamaian di Arib.
Perasaannya terhadap Bumi bergeser lagi. Bukan lagi hanya ketaatan yang dingin, tetapi semacam koneksi emosional yang baru, sebuah tanggung jawab yang terasa mulia. Ia adalah penjaga surga terakhir di Bumi. Ia adalah pelindung masa depan.
awal babak 3