NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Beberapa hari setelah pernikahan Hana, berita tentang kehadiran Sekar di acara itu menyebar cepat di kalangan keluarga besar Hanif. Padahal, sebagian besar dari mereka bahkan belum pernah bertemu langsung dengannya. Namun, rasa penasaran perlahan berubah menjadi desas-desus. Siapa perempuan yang kini mendampingi Hanif? Apa latar belakangnya? Apakah dia benar-benar berbeda dari Yuna, perempuan yang dulu hampir menjadi bagian keluarga, tapi akhirnya justru menyakiti hati semua?

Saat arisan keluarga seminggu kemudian, topik tentang Sekar menjadi pembicaraan utama. Hanif datang agak terlambat sore itu, mengenakan kemeja abu-abu yang disetrika rapi. Ia baru saja menyelesaikan shift siang di rumah sakit dan hanya sempat mampir sejenak. Begitu ia masuk, beberapa kepala menoleh bersamaan.

“Kamu beneran bawa perempuan ke nikahan Hana, Hanif?” tanya salah satu bibi Hanif dengan nada penuh rasa ingin tahu, tapi juga menyimpan nada mencurigai.

Hanif mengangguk tenang, tanpa ragu. “Namanya Sekar. Kami sudah bersama cukup lama.”

“Lama tapi nggak pernah dikenalin?” sahut bibi yang lain sambil mengerutkan kening. “Aneh, ya. Kita ini keluargamu, Nif.”

Hanif hanya tersenyum tipis, memilih menahan diri.

“Aku nggak sengaja liat fotonya di Instagram Hana,” ujar sepupu perempuannya yang duduk di seberang meja. “Cantik sih… tapi kayaknya dia lebih muda ya?”

Suara-suara lain mulai ikut menyela, seolah mendapat ruang untuk mengeluarkan unek-unek. “Apa dia kerja juga di rumah sakit?” “Latar belakangnya apa?” “Orang tuanya siapa?” “Jangan-jangan kayak Yuna lagi…”

Mama Hanif yang duduk di pojok ruangan hanya terdiam, mendengarkan semuanya dengan raut wajah datar. Ia tidak ikut dalam percakapan, tapi jelas sekali bahwa semua ucapan itu menyentuhnya. Ia pernah menyaksikan sendiri bagaimana putranya hancur karena Yuna. Ia pun, meski tak pernah terang-terangan menyalahkan, menyimpan luka yang belum benar-benar sembuh.

Seorang paman Hanif akhirnya ikut bicara, menatap keponakannya dengan tatapan tajam. “Aku cuma ingin kamu hati-hati, Nif. Trauma masa lalu itu bisa bikin kita salah pilih. Apalagi kalau kamu terbutakan cinta lagi.”

Hanif menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. “Aku tahu apa yang kulakukan, Om. Sekar bukan Yuna. Dia berbeda, sangat berbeda.”

“Tapi tetap saja…” sahut bibinya lagi. “Kita semua belum kenal siapa dia. Jangan-jangan cuma karena dia cantik pas acara kemarin, kamu langsung yakin?”

Kata-kata itu terasa seperti pisau. Hanif ingin menjelaskan panjang lebar tentang Sekar—tentang cara Sekar melihat dunia, tentang luka masa lalunya yang tak kalah berat, tentang malam-malam panjang ketika mereka saling berbagi kisah dan menyembuhkan satu sama lain—tapi ia memilih diam. Karena ia tahu, penilaian keluarga tidak akan berubah hanya lewat argumen.

Di sisi lain, Hana, yang kini sudah resmi menjadi istri sah pria pilihannya, mulai lebih sering menghubungi Sekar. Hubungan mereka memang belum terlalu dekat, tapi Hana menyimpan rasa simpati sejak pertama bertemu. Ada sesuatu dalam diri Sekar yang membuatnya yakin: perempuan itu bukan perempuan sembarangan.

“Aku tahu banyak dari keluarga yang masih ragu padamu,” kata Hana lewat panggilan video suatu sore. Rambutnya masih disanggul rapi, wajahnya terlihat lelah tapi tetap ramah. “Tapi aku percaya kamu, Sekar. Kamu beda dari Yuna. Aku bisa lihat itu.”

Sekar yang duduk di ruang tamunya, hanya mengenakan kaus rumah, tampak tertegun. “Kenapa kamu bisa yakin? Kita bahkan baru ketemu sekali.”

“Karena perasaan nggak bisa bohong,” Hana tersenyum. “Cara kamu mandang Hanif aja udah beda. Nggak ada pamrih. Nggak ada ambisi. Hanya cinta.”

Ucapan itu menghantam pelan ke hati Sekar. Satu per satu, dinding ketakutannya runtuh. Ia merasa selama ini tak pernah benar-benar mendapat tempat di dunia Hanif. Tapi Hana—perempuan yang seharusnya punya banyak alasan untuk ragu—justru menawarkan kepercayaan.

“Terima kasih, Hana,” ucap Sekar akhirnya. Suaranya lirih, tapi sarat makna. “Aku butuh dukungan itu.”

“Aku bakal bantu kamu,” jawab Hana tegas. “Aku mau semua orang tahu kamu memang pantas buat Hanif.”

Dan Hana benar-benar menepati janjinya.

Setiap kali ada kesempatan, ia menyebut nama Sekar dalam percakapan keluarga. Ia menceritakan bagaimana Sekar sopan saat datang ke pernikahannya, bagaimana Sekar membantu seorang anak kecil yang tersandung di pelaminan tanpa diminta, dan bagaimana Sekar dengan tulus memeluk ibunya Hanif walau sempat gugup. Cerita-cerita kecil itu, yang tampak remeh di permukaan, perlahan mengubah cara pandang keluarga. Karena mereka lebih percaya pada cerita daripada pernyataan langsung.

Sampai akhirnya, Mama Hanif sendiri yang mengajak Hanif duduk di teras rumah mereka pada suatu sore yang sejuk. Burung-burung gereja beterbangan di atap rumah, dan suara adzan magrib menggema dari kejauhan.

“Aku sudah dengar banyak soal Sekar dari Hana,” ucapnya tiba-tiba, suaranya pelan tapi jelas.

Hanif yang sedang memandangi langit jingga, menoleh cepat. “Dan Mama percaya?”

“Mama belum sepenuhnya mengenalnya. Tapi dari caramu membela dia, dari cerita Hana, Mama mulai… ingin mengenal dia juga.”

Hanif menatap ibunya lama. Dadanya seperti ditimpa beban yang perlahan terangkat. Ia tidak menyangka ibunya akan berkata seperti itu. Perempuan yang paling ia hormati dan cintai, yang selama ini paling sulit diyakinkan sejak kejadian masa lalu, kini membuka pintu.

“Ajak dia makan malam ke rumah minggu depan,” lanjut Mama. “Tapi Mama mau bicara baik-baik. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengenal.”

Hanif mengangguk pelan. Matanya berkaca, tapi ia tahan agar tidak jatuh. “Terima kasih, Ma. Ini berarti banyak.”

Untuk pertama kalinya sejak kehadiran Sekar di hidupnya, Hanif merasa bahwa langkah mereka benar-benar akan menuju tempat yang baru—bukan hanya karena cinta, tapi karena mereka akhirnya diterima.

***

Minggu yang dijanjikan pun tiba.

Sekar datang mengenakan blouse putih sederhana dan celana panjang berbahan linen. Rambutnya digerai rapi, wajahnya hanya diberi makeup tipis. Tapi senyum gugup di wajahnya memperlihatkan betapa ia menghargai kesempatan ini.

Mama Hanif menyambut di depan pintu. Untuk sesaat, keduanya saling memandang, menakar satu sama lain.

“Selamat sore, Tante,” sapa Sekar sambil menunduk.

Mama Hanif tak langsung menjawab. Ia menatap mata Sekar, mencari sesuatu yang tak tampak di permukaan. Lalu ia mengangguk pelan. “Masuklah. Makanannya hampir siap.”

Makan malam berjalan dalam suasana kaku di awal. Namun perlahan mencair ketika Mama Hanif mulai bertanya—bukan interogatif, tapi penuh rasa ingin tahu.

Sekar menjawab dengan tenang. Ia tidak menyembunyikan masa lalunya, meski tidak juga mengumbar luka. Ia hanya menunjukkan bahwa dirinya bukan perempuan sempurna, tapi ia terus belajar menjadi lebih baik.

Hanif duduk di samping, tak henti memberikan tatapan dukungan.

Dan ketika hidangan penutup disajikan, Mama Hanif berkata pelan, “Kamu tahu, aku dulu berharap Hanif menikah dengan orang yang bisa membuatnya lebih tenang. Tapi makin aku dengar, makin aku lihat, ternyata ketenangan itu justru datang karena kamu.”

Sekar menunduk, matanya mulai berkaca. “Saya hanya ingin bersyukur bisa ada di hidup Hanif, Tante.”

Mama Hanif mengangguk. “Kamu boleh panggil saya Mama.”

Air mata Sekar tak tertahan lagi. Hanif menggenggam tangannya erat, membisikkan, “Kita berhasil.”

Malam itu, semua kekhawatiran tak langsung lenyap, tapi satu per satu mulai pudar.

Karena cinta yang tulus selalu menemukan jalannya—melewati ragu, menembus prasangka, dan membuka hati yang sempat tertutup luka.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Sekar merasa disambut… bukan hanya oleh Hanif, tapi oleh dunia tempat Hanif berasal.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!