Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 20: Tahanan Polisi
Lima puluh lima… Lima puluh enam… Lima puluh tujuh… Lima puluh delapan… Lima puluh sembilan… Enam puluh. Yah, sekarang seharusnya sudah pukul 10 malam. Itu artinya, sudah sekitar 4 jam aku berdiam diri di balik jeruji besi ini. Nggak ada yang bisa dilakukan di sini, selain menghitung detik sendirian. Soalnya, ruangan ini nggak punya satu pun ventilasi ataupun jam dinding, sehingga kau nggak akan tahu berapa lama waktu telah berjalan di luar sana kecuali menghitungnya sendiri.
Akibat memukul Avan si bocah mokondo itu tadi sore, aku berakhir ditangkap polisi karena telah menimbulkan keributan di tempat umum. Entah apa yang terjadi pada Michelle setelah aku dibawa ke kantor polisi. Aku harap, anak itu sedang dalam keadaan yang baik-baik saja sekarang.
Hah… Sebenarnya aku nggak perlu sampai mukulin Avan kayak gitu, sih. Tapi, saat mendengar penjelasan Michelle tadi, entah kenapa aku merasa bahwa dia sedang mengalami permasalahan yang sama dengan diriku di masa lalu.
Sejak kecil, aku adalah orang yang jarang sekali mendapatkan kasih sayang dari orang tua sendiri. Baik Ibu maupun Bapak, keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga lupa bahwa mereka memiliki seorang anak yang perlu diberikan kasih sayang. Bahkan, sejak Alvie tumbuh besar dan melengkapi keluarga kami, mereka tetap saja lupa untuk memberikan kasih sayang pada kedua putranya.
Beranjak pada masa SMA, aku bertemu dengan Deborah yang mampu memenuhi kebutuhanku akan kasih sayang. Tapi, alih-alih memberikannya secara tulus, ternyata iblis itu memiliki sebuah niat yang jahat di balik segala kasih sayang palsu yang ia berikan.
Michelle juga mengalami permasalahan yang sama. Anak itu jarang banget dapat perhatian dari orang tuanya, terlepas dari berbagai prestasi yang ia peroleh. Selain itu, dia juga malah dimanfaatkan oleh lelaki jahat yang telah menipunya dengan cinta palsu. Mungkin, perasaan iba atas kesamaan nasib inilah yang membuat emosiku memuncak, sampai-sampai melakukan aksi pemukulan secara tidak sadar.
*Klankkk!* Saat aku lagi hanyut dalam lamunan, tiba-tiba ada seorang petugas yang masuk ke dalam ruanganku. Butuh waktu beberapa detik sampai aku bisa mengenali wajahnya karena penerangan yang remang-remang. Ternyata, dia adalah Eka—sahabatku sendiri.
“Selama tugas di sini, aku nggak pernah kepikiran kalau kau bakal ada di ruangan ini sebagai seorang tahanan. Benar-benar sebuah kejutan, El.” Ucapnya sambil berjalan pelan ke arahku. Langkah sepatunya yang keras itu terdengar menggema di seluruh ruangan yang sepi ini.
“Cih, aku juga nggak pernah nyangka bakal jadi tahanan kalian walaupun cuma sehari aja.” Aku membalas dengan nada yang lebih jutek.
Eka kemudian melepaskan gembok yang mengunci pintu jerujiku sambil terlihat menghela napas panjang. “Yah, kita berdua sama-sama nggak pernah nyangka, El.” Ucapnya sambil membuka pintu jeruji yang ada di depanku.
“Keluarlah. Pak Kapolda ingin bicara langsung denganmu.”
...***...
Aku ditemani oleh Eka saat bertemu dengan Pak Kapolda yang sudah menunggu di luar gedung tahanan. Meski wajahnya terlihat lebih tua dariku, orang ini jelas memiliki badan yang jauh lebih kekar daripada Eka dan Felix. Rambutnya juga terlihat masih subur, walaupun ada beberapa helai uban yang tumbuh di antaranya.
Di sampingnya, ada seorang wanita muda yang mengenakan jas almamater Universitas Andawana. Yap, wanita ini adalah Michelle—yang merupakan anak magangku sendiri. Awalnya, aku juga bertanya-tanya mengapa dia bisa ada di sini. Tapi, pikiranku langsung mengeluarkan sebuah hipotesis yang menduga bahwa Michelle adalah putri dari Pak Kapolda itu sendiri.
“Senang bisa bertemu dengan anda, Pak Nael. Maaf telah membuatmu menunggu sangat lama, karena kami harus menyelesaikan perkara anda terlebih dahulu.” Ucap Pak Kapolda sambil mengulurkan tangannya, seolah menawarkan jabat tangan.
Aku lalu menjabat tangannya dengan erat, sambil memberikan ekspresi wajah yang terkesan ramah. “Senang bertemu dengan anda juga. Ngomong-ngomong, apa yang ingin anda bicarakan dengan saya?” Tanpa basa-basi, aku langsung menanyakan maksud dan tujuannya bertemu denganku saat ini.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih.” Ucapnya dengan senyuman yang penuh wibawa. Sampai di sini, dugaan bahwa Michelle adalah putri dari Pak Kapolda menjadi semakin kuat. Namun, dugaan ini tentu saja harus dibuktikan kebenarannya.
“Terima kasih? Untuk apa anda berterima kasih dengan saya?” Tanyaku untuk mengkonfirmasi kebenaran dari dugaanku itu.
“Tentu saja untuk mengapresiasi pertolongan anda kepada putri kecil saya ini. Dia sudah menceritakan semua yang anda lakukan tadi sore.” Nah, bener kan, apa yang kukatakan! Michelle adalah putri dari Kapolda Andawana!
“Oalah, ternyata Michelle adalah anak anda, toh. Saya baru tahu, hahaha.” Ucapku sambil melontarkan ketawa karir.
“Wah, saya kira anda sudah tahu, hahaha.” Balasnya sambil melontarkan tawa yang jauh lebih berwibawa daripada diriku. “Yah, begitulah. Michelle adalah anak kebanggaan saya yang punya banyak sekali prestasi. Tapi, entah kenapa, dia selalu terjebak dalam masalah percintaan yang rumit.” Ucapnya sambil merangkul pundak Michelle yang sedang terlihat murung.
“Tapi, berkat pertolongan anda, masalah percintaannya kali ini bisa terselesaikan dengan cepat, sebelum hubungannya itu menjadi semakin parah. Terima kasih banyak, ya. Maaf kalau anakku ini benar-benar merepotkan anda.” Tambah Pak Kapolda, sambil menunjukkan senyum berwibawanya lagi padaku.
Kalau aku telaah dari gesturnya, sepertinya Pak Kapolda memang tidak memiliki kedekatan emosional dengan Michelle. Meski harus mencampuri urusan pribadi mereka, sepertinya aku memang harus memberikan sedikit saran pada pasangan ayah dan anak ini. Aku nggak pengen kejadian seperti ini terjadi lagi kedepannya.
“Pak Kapolda-”
“Ah, namaku Kevin. Kevin Gideon.” Saat aku hendak memberinya masukan, tiba-tiba Pak Kapolda menyela untuk memperkenalkan dirinya.
“Baiklah, Pak Kevin, ini mungkin akan terkesan mencampuri urusan keluarga anda, tapi aku ingin memberikan sedikit saran.” Wajah Kevin langsung berubah menjadi serius begitu mendengar ucapanku itu. Aku juga bisa merasakan bahwa Eka sedang menatapku dengan tajam saat ini.
“Untuk kedepannya, tolong berikan lebih banyak perhatian pada Michelle. Asal anda tahu, segala permasalahan ini berakar pada kebutuhan Michelle akan afirmasi yang tidak terpenuhi oleh anda.” Kevin langsung menoleh ke arah putrinya dengan wajah yang terlihat sangat terkejut.
“B-Benarkah seperti itu…?” Michelle hanya mengangguk pelan untuk merespon pertanyaan ayahnya itu.
“Dan untuk Michelle.” Aku memanggil anak magang yang berbakat itu hingga membuatnya mendongak ke arahku. “Dari sekarang, kau harus lebih terbuka lagi dengan ayahmu. Beritahu dia saat kau sedang butuh perhatian setelah melalui banyaknya rintangan hidup. Soalnya, ayahmu nggak akan tahu apa yang terjadi padamu, kecuali kau menceritakannya sendiri.”
Michelle langsung tertegun, seolah setiap kata yang kuucapkan barusan benar-benar mengena di hatinya.
“B-Baiklah, Pak Nael. Terima kasih…”
...***...
Setelah melalui hari yang panjang di Polda, aku akhirnya bisa pulang ke rumahku yang begitu nyaman. Aku kemudian langsung pergi ke kamar untuk mengistirahatkan tubuh yang sudah kelelahan ini.
Karena nggak mandi selama seharian, badanku rasanya benar-benar lengket dan juga bau apek. Namun, aku udah nggak peduli lagi dengan hal itu, karena satu-satunya hal yang kuinginkan sekarang adalah tidur yang nyenyak.
“Selamat datang di rumah, Sayang.” Begitu membuka pintu kamar, aku langsung disambut oleh Felicia yang sedang duduk di atas kasur. Dia membuka lengannya lebar-lebar, seolah ingin memberikan sebuah pelukan hangat kepadaku. Hah… Ini pasti karena aku nggak sempat minum obat tadi sore, sehingga halusinasi Felicia bisa muncul sekarang.
Karena udah nggak punya tenaga lagi, aku langsung menyerahkan diriku ke dalam dekapan Felicia yang terasa begitu nyata. Meskipun dia hanyalah sebuah halusinasi, tapi pelukan inilah yang paling aku butuhkan setelah menjalani hari yang melelahkan.
“Capek banget, ya, sayang?” Tanya Felica dengan suara yang lembut, sambil mengelus-elus kepalaku.
“Iya, nih. Anak itu benar-benar bikin aku kerepotan.” Balasku sambil menikmati kenyamanan semu ini.
“Hahahaha, benar banget. Sejak awal, si Michelle itu adalah murid kamu yang paling merepotkan.” Ucap Felicia dengan tawa riang yang biasa terdengar dari dirinya.
“Tapi, aku senang karena kamu udah ngebantu banyak orang, sesuai permintaan terakhirku sebelum meninggal. Makasih banyak, ya, sayang. Kedepannya, kamu harus jadi orang yang lebih kuat lagi!” Oh my god, siapa sangka perkataan Felicia versi halusinasi ini bisa bikin air mataku menetes.
Aku lalu memeluk Felicia dengan lebih erat, sambil mengubur wajahku di dalam dekapannya. “Makasih banyak juga, sayang… Aku kangen banget sama kamu…” Ucapku lirih sambil gemetar menahan tangis.
“Aku juga, sayang.”