Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Pasar Rakyat Kaelmoor
Langkah kaki Sion menjejak tanah berbatu yang mulai mengering, meninggalkan rimbunnya hutan Syrren dan memasuki kawasan yang jauh lebih ramai. Matahari telah naik tinggi, menghangatkan atap-atap kayu dan genteng tanah liat yang berjajar di kiri-kanan jalan. Di kejauhan, terdengar sorak tawar-menawar dari pasar, denting logam tukang besi, dan derap roda pedati. Ini adalah desa besar Kaelmoor, persimpangan antara timur dan wilayah utara Garya.
Sion melepas tudungnya dan menyusuri jalan utama. Aroma roti panggang, daging asap, dan sup bawang tercium dari arah warung-warung terbuka. Lapar dan haus mendorongnya memasuki sebuah warung tua berkanopi kanvas merah yang menjorok ke jalan. Sebuah papan kayu bertuliskan “Kedai Odelva” menggantung goyah di pintu masuk.
Ia duduk di sudut, memesan segelas air lemon dingin dan roti panggang isi. Sambil menunggu, ia mengamati para pengunjung—para pengrajin, pedagang, dan beberapa buruh tambang yang tampak letih, sebagian masih mengenakan seragam kerja berdebu.
Dua lelaki di meja sebelahnya berbicara pelan namun serius, suara mereka cukup jelas untuk didengar Sion yang duduk tak jauh.
“...Aku bilang padanya, jangan kerja di sana kalau belum siap mati berdiri...”
“Tapi bayarannya tiga kali lipat dari pertambangan biasa. Siapa yang tahan godaan itu?”
Sion menoleh sedikit, tidak mencolok.
“Wilayah tambang di Garya memang selalu begitu. Dulu aman... sekarang entah kenapa, para pekerja mulai hilang. Terutama di tambang barat—di dekat tebing Raon.”
“Kau dengar kabar tentang suaminya Haila?”
“Yang punya lima anak itu? Tentu. Dia belum pulang dua pekan ini. Haila masih menunggu di rumah pelayan barat. Katanya, malam-malam dia sering menangis.”
Sion menggenggam gelasnya. Wajahnya tetap tenang, tapi telinganya menangkap tiap kata.
“Ada yang bilang... mereka lihat suaminya pulang sebentar... tapi linglung. Seperti dirasuki. Beberapa hari kemudian, dia loncat dari Jembatan.”
“Dihantui bayangan orc, katanya...”
“Ah, omong kosong. Mana bisa orc masuk sejauh itu? Garya itu wilayah Homuran. Keamanan mereka dijaga ketat. Lagi pula, dia calon besan Raja.”
“Justru karena itulah… siapa yang berani mengatakan ada masalah di sana?”
Percakapan mereka mulai menurun volumenya, tetapi benak Sion sudah cukup dipenuhi. Ia mengingat nama itu—Haila, tambang barat Garya. Ada yang tak beres. Jika benar orc telah menyusup, itu lebih dari sekadar masalah tambang—itu sinyal bahwa pertahanan kerajaan mulai rapuh.
Sion menyandarkan punggungnya sejenak, meneguk air hingga tandas, lalu mengeluarkan selembar kain kecil dari saku jubahnya. Di dalamnya, tergambar simbol air terjun Lyinn dan peta kasar wilayah utara. Tapi kali ini, instingnya berkata—jalannya tak bisa langsung ke puncak tempat naga berada.
“Garya... Homuran... tambang...” gumamnya pelan. “Jika Homuran tahu… dan tetap diam, berarti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tambang. Dan jika dia tidak tahu… maka rakyatnya akan terus jadi korban.”
Setelah membayar makanannya, Sion meninggalkan Warung Odelva. Suasana pasar di Kaelmoor mulai ramai oleh penduduk yang menjajakan kain, rempah, dan logam mentah. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar suara bentakan keras dari arah salah satu kios kecil yang menjual buku bekas dan lembaran naskah lusuh.
“Aku bilang Jangan dekat-dekat lagi, anak gila!”
Plakk!
Terdengar suara tamparan yang diikuti teriakan pelan tertahan.
Sion menoleh dan menyipitkan mata. Di antara kerumunan, seorang lelaki tua berambut abu, mengenakan jubah cokelat dengan badge toko buku “Delsham”, tengah menarik kerah seorang anak kecil laki-laki dan memukulinya dengan gulungan naskah kertas. Bocah itu mengenakan pakaian tambal-sulam, tubuhnya kurus, rambutnya merah—tanda ia adalah Mestiz.
“Kau pikir dengan wajahmu yang setengah rusak itu bisa dapat ilmu gratis dari sini?” bentak si pemilik toko.
Beberapa orang dewasa di sekitar hanya berdiri menonton. Ada yang tertawa, ada yang mencibir.
“Dasar Mestiz! Mereka memang lebih baik mati muda.”
“Kasihan? Aku lebih kasihan dengan kertas yang dia sentuh!”
Anak itu tidak menangis, hanya meringkuk melindungi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat. Namun dari tangannya masih tergenggam selembar halaman—bagian depan dari buku berjudul Cahaya Acalopsia.
“Berhenti,” suara Sion memotong kekejaman itu, tajam dan dingin.
Pemilik toko menoleh, jengkel. “Apa urusanmu? Ini bocah liar—”
“Dia anak-anak,” potong Sion lagi, melangkah mendekat. “Tidak pantas kau memukulinya, bahkan jika dia mencuri.”
“Dia Mestiz! Mereka bukan bagian dari kita!” bentaknya. “Kau? Siapa kau, sok menjadi pahlawan di depan tokoku?!”
Sion tetap tenang. Saat si lelaki kembali mengayunkan gulungan naskah ke kepala anak itu, tangan Sion bergerak cepat.
BRAK!
Ia menahan tangan lelaki itu dan memelintirnya hingga pria itu berteriak kesakitan. Dengan satu dorongan cepat, Sion menjatuhkannya ke tanah. Toko buku itu sedikit berantakan dan kerumunan langsung berseru marah.
“Hey, dia menyerang pemilik toko!”
“Dia membela Mestiz! Mestiz! Dia pasti salah satu dari mereka juga!”
Sion menarik napas panjang, namun tidak melawan balik ejekan itu. Ia hanya menatap semua orang yang kini memandangnya seakan ia kriminal, lalu kembali menoleh ke bocah itu dan berlutut.
“Kau mencuri?” tanyanya lembut.
Anak itu menggeleng cepat. “Tidak, aku... aku hanya... ingin membaca halaman ini. Aku tahu aku tak boleh menyentuh, tapi... aku hanya ingin baca... sebentar saja…”
Tangannya yang gemetar masih menggenggam lembaran kertas, sedikit sobek di sisi atasnya. Jelas, anak itu tak berniat mencurinya.
Sion berdiri dan menatap kerumunan. Matanya menyapu satu per satu wajah di hadapannya—penuh penilaian, penuh kekecewaan.
“Kalian semua... lebih tercela dari anak ini,” ucapnya lantang. “Ia hanya ingin membaca. Sementara kalian membunuh harga dirinya, seperti dia bukan apa-apa.”
Beberapa orang tertawa sinis.
“Lahir Mestiz memang sudah kutukan!”
“Cepat suruh dia pergi, sebelum kita semua sial!”
“Aku pernah melihat anak Mestiz yang membuat sakit bayi tetanggaku... bawa dia jauh-jauh dari sini!”
Wajah Sion mengeras. Ia mengabaikan komentar keji itu, lalu berlutut di hadapan anak itu, yang kini menunduk, tubuhnya gemetar. Lalu dengan gerakan lembut, Sion mengulurkan tangannya.
“Ayo. Aku akan mengantarmu pulang.”
Anak itu mendongak, menatap mata Sion seolah tak percaya masih ada yang mau menyentuhnya. Ragu-ragu, tangannya yang kecil dan kotor menggenggam tangan Sion. Keduanya pun mulai melangkah menjauh dari kerumunan yang masih menggerutu dan meludah ke tanah.
“Siapa namamu?” tanya Sion pelan setelah beberapa langkah.
“Vietra...” jawab bocah itu lirih.
“Dimana rumahmu?” tanya Sion sambil menatapnya sekilas.
Vietra mengangguk pelan. “Aku tinggal di pinggir timur... dekat sungai kecil. Rumahku... beratap jerami. Aku tinggal di sana sendiri sejak ibu meninggal tahun lalu.” Ia menunduk. “Ayahku dibakar bersama Mestiz lainnya, waktu kerusuhan di Kaelmoor tiga tahun lalu. Katanya… karena kami bawa penyakit.”
Sion mengepalkan tangan, tapi tetap menjaga nada suaranya lembut. “Dan kau ke pasar hanya untuk membaca?”
“Iya... aku suka tulisan. Dulu ibu sering bacakan buku sebelum tidur. Tapi setelah dia pergi, aku hanya bisa diam-diam membaca di sana.”
Sion menarik napas panjang. Desa ini... tidak hanya terluka oleh orc, tapi oleh kebencian yang dilestarikan warganya sendiri.
“Kalau begitu, hari ini kau boleh membaca sepuasnya di tempatku istirahat nanti. Dan makan yang cukup.”
Vietra menatap Sion, matanya membesar. “Benarkah?”
Sion mengangguk. “Asal kau berjanji... terus bertahan. Dunia tidak selalu jahat. Kadang butuh waktu untuk bertemu orang-orang baik.”
Vietra menggenggam tangan Sion lebih erat.