Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kukira Kawan, Ternyata Lawan
Tidur Jia tidak nyenyak semalam. Entah karena perkataan mang Ceceng atau karena ulangan harian matematika yang akan diadakan pagi ini.
Jia hanya bisa fokus supaya bisa mendapatkan nilai yang bagus. Dia mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah lebih awal, agar dapat belajar sebelum ulangan dimulai.
Berharap ruangan kelas sepi, namun dia keliru, ternyata ada delapan orang yang sudah berada di kelas, diantaranya ada Doris, Nata dan Sanna. Hanya Liel yang tidak terlihat di matanya, entah di mana Liel berada, Jia juga tidak tahu.
Jia menatap wajah Nata yang tersenyum padanya. Setiap melihat wajahnya, Jia selalu teringat akan perkataan Mang Ceceng.
Dia ingin sekali bertanya padanya, akan tetapi situasi tidak memungkinkan karena ada Liel dan Sanna, si tukang heboh.
Namun bukan Jia namanya jika berdiam diri saja. Bergegas Jia menarik lengan Nata, membawanya ke samping meja guru, jauh dari Doris dan Sanna.
“Nat, aku bukan mencurigaimu, namun mang Ceceng mengatakan padaku … bahwa dia mendengar Liel dan dirimu saling menelpon? Apa aku salah? Mengapa kamu tidak mengatakan padaku jika kalian mengenal satu sama lain??” ucapnya dengan berbisik.
Nata dengan cepat menangkap maksud Jia. Dia tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Jia, yang sedang terbakar api asmara.
“Hahaha, jangan khawatir, akan aku ceritakan nanti,” ucap Nata sembari terkekeh, membuat Jia semakin kebingungan.
Kemudian Den yang baru saja datang, menghampiri mereka. Raut wajahnya terlihat kesal. Tangannya mengepal seperti ingin menghajar Jia.
Jia tidak takut, sebab Nata mampu menghadangnya, karena Nata ahli dalam beladiri karate, pemilik sabuk biru.
Den melangkah cepat, dadanya naik turun, matanya merah. “Beri aku alasan yang tepat Jia?”
Tiba-tiba saja dia bertanya tanpa melihat situasi. Suara lantangnya cukup untuk membuatnya menjadi pusat perhatian di kelas. Jia menghampiri seraya berbisik.
“Sepertinya … semalam dengan jelas kukatakan padamu. Lagipula ulangan harian akan segera dimulai, bukan saatnya bertingkah seperti ini.”
“Apa balasanmu setelah semua yang kuberikan padamu??” tutur Den dengan emosi yang tidak dapat diredamnya.
“Hei, aku selalu menolak, namun kamu memaksaku untuk menerima semua pemberianmu.” Ucap Jia dengan serius.
“Ya, setelah kamu menikmati semuanya! Aku baru sadar, ternyata kamu hanya memanfaatkanku.”
Jia terdiam, berusaha tenang meskipun sudah kesal setengah mati. “Baiklah, aku akan mengembalikan semuanya. Oh iya, Jangan tagih makanan dan minuman, karena sebagian ada di perutku dan Nata, aku akan mengembalikannya dalam bentuk uang!”
“Dasar wanita tidak tahu malu! Aku sudah menduga, apa yang dikatakan Sanna tentang kamu seorang perempuan penggoda adalah benar!! Kamu menolakku di saat kamu tengah asik bersama Liel dan juga menggoda Reonald!!”
“Jaga bicaramu Den!!! Berikan aku bukti jika memang aku seperti yang kamu tuduhkan!!” ucap Jia kesal.
“JANGAN BANYAK BICARA!!”
Tangan Den hampir melayang ke arah Jia karena emosinya meledak, namun dalam satu gerakan cepat, Nata menangkap pergelangan tangannya dengan cengkraman kuat.
“Coba saja gerakan tanganmu sedikit lagi, aku pastikan kamu dikeluarkan dari sekolah,” ucap Nata pelan namun penuh ancaman.
Den terkejut. Dia baru saja ingat bahwa Nata adalah seorang atlet karate. Den segera memohon agar Nata melepaskan tangannya, sebab dia merasakan tangannya mulai sakit.
“Pria lemah, hanya berani pada wanita! Jika cinta mu ditolak, seharusnya kamu sadar diri, bukan menyebar fitnah seperti ini!” ucap Nata kesal sambil melepaskan tangan Den.
Sorot mata Den yang tadi menantang, kini justru memelas “S–sudah kukatakan bahwa aku mengetahui semuanya dari Sanna.”
“Hanya karena kamu cemburu, lalu percaya perkataannya?”
Den tertunduk malu. Meski masih kesal, dia tidak bisa mengatakan apapun lagi. Kemudian Jia melihat Sanna yang ketakutan dan menggeleng-gelengkan kepalanya kepada dirinya.
Jia pun pergi meninggalkan Den, dan menatap tajam Sanna. Tanpa melihatnya, Jia mengatakan pada Sanna bahwa mereka harus bertemu sepulang sekolah.
Dia duduk diam dengan mata berkaca-kaca. Jia tidak menyangka bahwa kata-kata itu datang dari Den, yang dulu begitu sopan dan manis di awal.
Tidak ada air mata yang jatuh, begitu pula dengan rasa marah, semuanya mampu Jia kuasainya dengan baik.
Dia berhasil, bertahan sekuat mungkin. Lagipula, ada yang penting, yaitu Ulangan Harian Matematika yang harus dia selesaikan. Sungguh, baik Den maupun Sanna, saat ini, keduanya membuat Jia muak.
...****************...
Sementara itu, di kamarnya yang sepi, Liel baru saja berhenti memainkan sebuah permainan yang ada di personal computer nya.
Tiba-tiba seorang pria paruh baya masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. “Liel, mengapa tidak pergi ke sekolah?”
Liel menautkan kedua alisnya. “Kakek? Mengapa tidak mengetuk pintu terlebih dahulu??”
“Bukankah hari ini kamu ada ujian harian di sekolah?” tanya sang kakek pelan.
Liel tersenyum, berusaha menjawab pertanyaan kakeknya. “Tidak mengikuti satu kali ujian, tidak akan memengaruhi nilai sempurnaku kek.”
“Anak ini!!! Sudah disekolahkan di tempat yang bagus dan bergengsi, masih saja seperti ini! Jadi bagaimana? Apa kamu ingin menjadi dokter atau meneruskan perusahaan ayahmu saja?”
“Pertanyaan kakek kesana kemari, terlalu berat … aku tidak sekolah hari ini karena hanya ingin mengalah saja dari seseorang, agar nilainya lebih tinggi dariku.”
Kakeknya terdiam, berusaha mencari kata-kata yang tepat, dihadapan seorang pria remaja yang masih labil.
“Seseorang ya? Kakek kira karena kamu sedang malas. Apakah cucu ku sedang jatuh cinta??” tanya sang kakek seraya tersenyum.
Liel hendak segera menjawab pertanyaan kakeknya, namun dia masih ragu. Begitu penuh tanda tanya di benak Liel saat ini, jika menyangkut tentang Jia.
“Tidak, ini hanya karena—“
“Liel, meskipun kakek sudah tua, tetapi pengalaman kakek lebih banyak darimu. Dengar, mengalah dengan mengorbankan nilai sekolah menurut kakek kurang bijak. Namun, ketahuilah, jika kamu rela berkorban sampai sejauh ini, itu artinya kamu memiliki rasa yang mendalam terhadapnya.”
Liel terdiam, tidak membantah. Liel menganggap kakeknya terlalu sok tahu dengan urusan pribadinya, namun disisi lain, separuh hatinya berkata bahwa apa yang dikatakan kakeknya benar adanya.
,, suka deh puny sahabat macam Nata