NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Cakra berdiri di tengah lapangan ujian, mengenakan pakaian olahraga standar dengan peluh yang mulai menetes di dahi. Semua peserta lainnya tampak lebih percaya diri dan siap menghadapi ujian fisik yang menantang. Cakra, di sisi lain, merasa gugup namun juga bertekad kuat. Ia memandang pelatih yang memberi instruksi, perasaan campur aduk mulai mendera hatinya.

Pelatih berbicara dengan nada keras

"Jangan berpikir tentang hasilnya! Fokuskan pikiranmu pada setiap langkah. Kalau kamu nggak bisa bertahan, kamu akan kalah dari diri sendiri!"

Cakra menelan ludah dan mulai bergerak. Ujian fisik pertama dimulai dengan lari jarak jauh. Cakra berlari, namun tubuhnya terasa berat, seolah langkahnya semakin melambat. Nafasnya terengah-engah, tapi ia tetap mencoba mempertahankan kecepatannya.

"Aku harus bisa. Ini untuk aku, untuk ayah, dan untuk semua yang sudah percaya sama aku. Aku nggak boleh nyerah. Aku nggak boleh bikin mereka kecewa."

Setiap langkah terasa lebih sulit dari yang sebelumnya. Ia berusaha menatap garis finish yang masih jauh di depan, tetapi rasanya seperti tidak ada habisnya. Ketika ia melihat peserta lain berlari lebih cepat dan melaju dengan semangat tinggi, ia merasa dirinya tertinggal. Namun, dengan tekad yang semakin kuat, ia memaksa tubuhnya untuk bertahan.

Di tengah perjalanan, pelatih memberikan kritik tajam pada beberapa peserta yang mulai kelelahan. Suara kerasnya mengingatkan Cakra untuk tidak menyerah.

Pelatih berteriak pada peserta lain

"Jangan biarkan tubuhmu mendikte pikiranmu! Kamu punya lebih dari itu!"

Cakra menggigit bibirnya, mencoba menepis suara-suara yang mulai membuatnya goyah. Ketika akhirnya ia mencapai garis finish, tubuhnya terasa sangat lelah, dan kakinya hampir tidak kuat menopang berat tubuhnya. Ia menurunkan diri untuk beristirahat sejenak.

Namun, saat ia duduk di rumput, Cakra melihat sesuatu yang tidak biasa. Di sisi lapangan, Arlan tengah melakukan tes lari dengan wajah yang serius. Meski Arlan biasanya terlihat santai dan tidak terlalu peduli, kali ini ia tampak sangat fokus, berlari dengan tekad dan konsentrasi yang tinggi. Tidak ada gurauan atau ekspresi santai seperti biasanya. Cakra terkejut melihat perubahan dalam diri sahabatnya.

Cakra berbicara pelan dalam hati

"Arlan... kenapa dia bisa serius seperti itu? Aku nggak pernah lihat dia segitunya."

Di sela-sela kesibukannya berlari, Arlan melirik sekilas ke arah Cakra yang sedang duduk beristirahat. Melihat Cakra, ia memberinya senyuman tipis sebelum kembali fokus pada ujian.

Cakra, yang sempat teralihkan perhatiannya oleh Arlan, kembali merasakan semangatnya terpicu. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa kalah dari sahabatnya yang tampak lebih serius dan bersemangat. Tanpa ragu, ia bangkit lagi, mengambil napas dalam-dalam, dan kembali melanjutkan tes fisiknya.

"Aku nggak bisa cuma duduk dan menyerah. Arlan bisa, kenapa aku nggak bisa?"

Di belakangnya, Arlan berhasil menyelesaikan tes lari dengan hasil yang baik, namun ia tidak menunjukkan ekspresi sombong atau bangga. Ia justru tampak kelelahan, namun dengan rasa puas dalam diri. Cakra merasa terinspirasi oleh sikap Arlan yang berbeda hari ini.

Cakra tersenyum kagum

"Arlan, kamu bener-bener teman yang nggak bisa aku remehkan..."

Setelah beberapa menit beristirahat, Cakra melanjutkan tes fisik lainnya—push-up dan sit-up. Keringat mengucur deras, tubuhnya mulai merasakan kelelahan yang sangat dalam, namun ia tahu bahwa ia harus terus berjuang. Setiap kali pelatih memberikan instruksi atau mengkritik peserta lain, Cakra semakin termotivasi untuk membuktikan bahwa ia mampu bertahan lebih lama.

Sore hari di lapangan setelah ujian fisik berakhir. Para peserta duduk kelelahan, peluh masih membasahi seragam olahraga mereka. Di depan mereka, pelatih berdiri tegak, mengenakan topi lapangan dan kacamata hitam. Sorot matanya tajam, suaranya tegas.

Langit mulai redup, angin sore berhembus pelan, membawa aroma rumput yang terinjak dan debu keringat. Cakra duduk di barisan tengah, mengatur napas yang masih berat. Kaosnya basah oleh keringat, kedua tangannya bertumpu di lutut, dan matanya menatap tanah, tak berani mendongak.

Di hadapannya, pelatih berdiri tegap, memandang satu per satu wajah para peserta yang duduk bersila. Diam. Tak ada suara. Yang terdengar hanya suara angin dan sesekali batuk kecil dari beberapa peserta yang kelelahan.

Pelatih itu akhirnya berbicara, dengan nada datar tapi penuh tekanan. “Kalian semua… masih jauh dari cukup. Jangan pernah berpikir ini adalah pencapaian. Ini—baru permulaan.”

Beberapa peserta menunduk, termasuk Cakra. Detak jantungnya kembali memacu cepat, kali ini bukan karena kelelahan, tapi karena cemas.

Pelatih melanjutkan “Hari ini kalian diuji secara fisik. Tapi ke depan, yang akan diuji lebih berat: mental kalian. Kalau mental kalian rapuh, semua latihan ini tidak ada artinya. Keringat kalian akan sia-sia.”

Kalimat itu terasa seperti hantaman langsung ke dada Cakra. Ia menggenggam ujung celananya kuat-kuat. Pikirannya terlempar kembali ke saat-saat ia hampir menyerah di tengah lari tadi, saat ia merasa langkahnya berat, saat kakinya seperti tak mampu lagi menopang tubuhnya. Tapi ia terus bertahan—karena tekadnya.

“Saya lihat banyak dari kalian yang mulai putus asa sebelum waktunya. Saya juga lihat beberapa yang justru menunjukkan potensi karena mereka tidak banyak bicara, tapi kerja kerasnya nyata.”

Sore hari menjelang petang. Kamar mandi umum di area seleksi militer. Suara air mengguyur deras. Cakra dan Arlan sedang membersihkan diri setelah ujian fisik yang menguras tenaga. Setelah selesai, mereka berjalan kembali menuju aula utama, di mana para pendamping dan panitia menunggu para peserta.

Air dingin menyentuh kulit, menyapu keringat, debu, dan segala beban dari tubuh mereka. Cakra menyandarkan punggung ke dinding kamar mandi semen yang lembap, matanya terpejam sejenak. Nafasnya terasa lebih ringan.

Di bilik sebelah, terdengar suara Arlan mengeluh kecil.

“Sumpah ya… ini bukan ujian fisik, ini penyiksaan batin dan lahir.”

Cakra hanya tertawa pendek. “Lu baru ngerasain dikit. Itu baru pembukaan.”

Mereka keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan seragam ganti. Jalan mereka beriringan menuju aula besar yang kini dipenuhi suara obrolan pelan, derap langkah, dan bisik-bisik para peserta yang menunggu hasil tahap awal.

Namun, langkah Cakra terhenti sejenak saat melihat satu sosok yang ia kenal berdiri di sudut aula, tepat di dekat tiang besar berwarna putih kusam. Laras. Gadis itu tampak gelisah. Sebelah tangannya memegang ponsel menempel di telinga, sementara tangan lainnya mengusap lengan kanan seolah mencoba menenangkan diri sendiri. Alisnya berkerut. Ia tampak menatap kosong ke lantai, menyimak suara dari seberang dengan wajah cemas. “Iya tante… Iya, Cakra baik-baik aja kok. Tadi habis tes, sekarang lagi ganti baju… Iya, nanti aku bilangin.” Cakra dan Arlan saling pandang. Cakra langsung mempercepat langkahnya. “Laras?”

Suara itu membuat Laras menoleh cepat. Ia langsung menutup telepon. “Cak… Ibu kamu barusan nelpon. Dia nanya kamu di mana. Katanya, kamu nggak bilang kalau hari ini ikut seleksi…”

Cakra menelan ludah, wajahnya berubah pucat. “Dia… tau" “Kayaknya sih belum tahu pasti. Tapi feeling seorang ibu itu kuat. Aku tadi coba tenangin… tapi kamu harus siap-siap. Bisa aja dia datang langsung.”

Arlan menimpali, menyenggol bahu Cakra dengan ekspresi ngeri pura-pura. “Wah, bro… ini udah bukan misi rahasia lagi. Ini statusnya: terdeteksi musuh. Siap-siap dicegat waktu pulang.”

Cakra menghela napas panjang, menatap jauh ke arah pintu aula. Entah kenapa, udara tiba-tiba terasa lebih berat dari sebelumnya. “Ya udah. Kalau emang harus ketahuan… gue hadapi.”

Laras menatapnya dalam diam, lalu tersenyum tipis. “Apapun yang terjadi, aku tetap dukung kamu.”

Cakra menatap Laras sesaat. Matanya berbinar walau hatinya was-was.

Dan Arlan, seperti biasa, mencoba meringankan suasana dengan menyeringai. “Kalau lu dipulangkan paksa, titip sepatu lari lu buat gue, ya. Lumayan baru tuh.”

Mereka bertiga tertawa kecil—lelah, namun mereka menyimpan ketakutan di hati mereka.

Sore menjelang senja, langit sudah mulai menguning. Suasana di sekitar gerbang akademi mulai sepi, peserta sudah keluar satu per satu. Mobil-mobil penjemput mulai berdatangan. Laras, Arlan, dan Cakra berjalan ke arah parkiran setelah menunggu hasil pengumuman sementara. Namun, langkah Cakra terhenti tiba-tiba.

Di seberang jalan, berdiri seorang perempuan dengan pakaian sederhana dan kerudung warna cokelat tua. Wajahnya tegas namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. Tangannya terlipat di depan dada. Ia berdiri diam, tapi auranya cukup untuk membuat dada Cakra mendadak sesak.

"Bro… itu, kayaknya…"

"Iya. Gue lihat."

Laras menoleh ke arah yang sama, matanya membulat. "Cak… aku minta maaf, aku udah coba tutupin… tapi kayaknya beliau tahu sendiri." Tanpa menjawab, Cakra menarik napas panjang. Ia berjalan perlahan, seperti seorang anak kecil yang ketahuan mencuri kue di meja makan. Jantungnya berdetak begitu keras, hingga telinganya terasa berdenging.

Sesampainya di depan ibunya, ia berdiri tegak. Tidak berkata apa-apa. Ia tahu, apa pun yang ia katakan, tidak akan bisa menghapus kenyataan bahwa ia telah membohongi perempuan yang paling ia hormati. "Kamu senang bohong sama Ibu, Cakra?" Pertanyaan itu sederhana. Tapi nadanya seperti cambuk. Cakra menunduk. "Bukan… bukan maksud Cakra bohong, Bu… Cakra cuma…"

"Cuma takut Ibu melarang? Cuma takut hadapi kenyataan bahwa jalan yang kamu pilih bukan yang kita sepakati?" Cakra menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai memanas. "Cakra nggak mau hidup dengan bayang-bayang. Cakra mau berdiri sendiri. Mau buktiin kalau Cakra bisa" ibunya hanya bisa menahan emosinya "Dengan cara menyelinap seperti ini? Cakra, kamu anak siapa? Ayahmu dulu…" Ibu menghentikan ucapannya, napasnya memburu. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ia segera memalingkan wajah. Cakra mendekat perlahan.

"Justru karena Ayah, Bu… Cakra pengen buktiin, Cakra juga punya keberanian. Kalau pun gagal, biar itu jadi kegagalan Cakra, bukan karena Ibu mengekang."

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan daun-daun di pohon dekat gerbang. Laras dan Arlan hanya berdiri jauh, tidak berani mendekat.

Akhirnya, sang ibu menarik napas dalam.

"Kamu tahu apa risiko pilihan ini?" cakra mengangguk mantap "Tahu, Bu. Dan Cakra siap." ibunya menatap tajam "Siap dihukum Ibu?" Cakra tersenyum getir. "Kalau itu konsekuensinya, Cakra terima. Tapi tolong, jangan tarik aku dari sini…" Mata ibu Cakra menatap putranya dalam diam. Lalu perlahan, ia membalikkan badan.

"Kalau kamu serius, kamu tahu apa yang harus kamu buktikan. Ibu tunggu di rumah. Jangan pulang kalau cuma bawa alasan."

Ia melangkah pergi, meninggalkan Cakra berdiri sendiri. Napasnya bergetar, tapi untuk pertama kalinya, ada keberanian yang tak bisa ia sembunyikan di balik tubuhnya yang gemetar. Laras mendekat, menepuk bahunya.

"Kamu nggak sendiri."

Arlan mengangkat dua botol minuman dingin dari kantin.

"Dan kalau lu diusir dari rumah, lu bisa tidur di rumah gue. Tapi jangan lupa bawa bantal."

Cakra tersenyum. Meski awan gelap sempat menggantung, ia tahu—langit hatinya masih punya cahaya.

Dalam mobil milik Laras, sore menjelang malam. Jalanan mulai dipenuhi lampu kendaraan. Cakra duduk di kursi kemudi, Laras di sampingnya, dan Arlan di kursi belakang dengan tangan menyilang dan wajah cemberut.

Suasana di dalam mobil sangat hening. Hanya suara radio pelan yang sesekali memutar lagu pop sendu. Tapi ketegangan terasa nyata, seolah ada guntur yang belum sempat menggelegar. "Hebat. Gila. Strategi diam-diam lo sukses banget, Ras. Baru juga dua hari, udah bocor ke nyokapnya Cakra."

Laras langsung menoleh ke belakang, tajam "Kamu pikir aku yang ngomong ke ibunya? Aku bahkan panik pas tau beliau nelpon!"

"Ya siapa lagi? Gue nggak mungkin. Cakra juga enggak. Tiba-tiba muncul di gerbang kayak ninja."

Laras menahan amarahnya "Dengar ya, Arlan. Aku tuh bukan tipe orang yang suka ngaduk-ngaduk hidup orang lain. Kalau aku bisa nolong, ya aku tolong. Tapi jangan asal nuduh!"

Arlan mengejek "Tolong? Atau terlalu banyak ikut campur?"

Laras

"Setidaknya aku peduli! Nggak kayak kamu yang cuma mikirin meme dan snack!"

Arlan menyeringai pahit "Ya ampun, maaf deh kalau gua nggak setulus malaikat pelindung kayak lo."

Cakra mulai muak membentak, mereka "CUKUP!!!" Mobil sedikit oleng karena emosi Cakra yang meledak. Laras langsung diam. Arlan ikut menunduk. Keheningan menggantung berat setelah bentakan itu.

Cakra napas berat, masih menahan amarahnya "Gue capek, ngerti?! Hari ini bukan cuma soal ujian fisik. Gue harus ketemu ibu gue dalam kondisi kayak gitu. Gue harus jelasin semuanya sendirian. Dan sekarang, kalian malah saling nyalahin di depan gue?!" "Gue tahu kalian sayang sama gue. Tapi tolong, jangan jadi beban juga. Gue butuh teman, bukan ribut-ribut nggak penting."

Beberapa detik tak ada yang bicara. Hanya suara ban melindas jalan dan deru mesin yang terasa. Laras mengalihkan pandangan ke luar jendela, sedangkan Arlan menunduk, menyesal.

"Sorry, Bro..."

Laras yg masih agak ketakutan dengan emosi cakra "Maaf, Cak..."

Cakra tak menjawab. Tapi ia menyalakan lampu sein kanan, bersiap belok ke arah rumah Laras. Saat itu, langit di luar sudah mulai gelap. Namun dalam diam mereka, perlahan ketegangan mulai mereda.

Rumah Cakra, malam hari. Ruang tengah remang dengan cahaya televisi yang menyala tanpa suara. Di sofa, sang ibu duduk tegak, mengenakan daster dan selendang tipis. Wajahnya datar, dingin. Seolah tak memandang Cakra yang baru masuk dan berdiri kikuk di ambang pintu. "Bu..."

dengan nada dingin ibunya memberi perintah "Duduk." Cakra menurut, perlahan-lahan melangkah dan duduk di karpet, tepat di hadapan ibunya. Jarak mereka hanya satu meter, tapi rasanya seperti seberang samudera. Ia bisa merasakan ketegangan menjalar dari ubun-ubunnya hingga ke ujung jari.

Ibu Cakra menekan tombol mute di remot televisi. Suara dari layar lenyap, digantikan oleh keheningan yang mengerikan. "Kamu serius, Cak?" Cakra mengangguk. Tak berani membuka suara. "Tanpa bilang ke Ibu. Belajar diam-diam. Daftar sendiri. Kamu pikir kamu itu siapa?" Cakra meremas celana olahraga yang masih dipakainya. Matanya menatap lantai. Tapi kemudian, dengan tangan yang sedikit gemetar, ia merogoh saku jaket lusuhnya dan mengeluarkan secarik kertas yang dilipat rapi.

"Aku nggak nyari izin dulu karena takut, Bu... Tapi aku bawa ini. Surat dari Ayah."

Ia menyodorkan kertas itu perlahan. Ibu Cakra menatapnya sejenak sebelum mengambil surat itu dengan tangan yang sedikit ragu. Ia membuka lipatannya pelan, lalu membaca dengan suara nyaris berbisik:

“Anakku, Mungkin saat ini Ayah tidak bisa mendampingimu, Namun jika kamu besar nanti... lanjutkanlah impianku. Jagalah ibumu, jadilah versi terbaikmu. Buktikan bahwa kamulah anak dari sang legenda. Ayah akan selalu mendukungmu. Lanjutkan perjuangan Ayah, Tapi jangan tiru sifat buruknya. Jangan pernah takut mengambil keputusan.”

Selesai membaca, sang ibu diam. Lama. Sangat lama. Matanya masih tertuju pada tulisan itu, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Mungkin ke masa lalu. Mungkin ke kenangan yang tak pernah benar-benar sembuh.

Air mata perlahan jatuh di pipinya. Ia cepat mengusapnya, seolah malu terlihat rapuh. "Surat ini... diselipin di dalam album fotonya. Ibu nemu waktu kamu masih bayi. Tapi Ibu simpan baik-baik. Ibu pikir... kamu belum perlu tahu." Cakra tetap diam. Matanya ikut berkaca-kaca.

"Kamu anak Ayah kamu, Cakra. Keras kepala. Nekat. Tapi... kamu juga punya hatinya. Ketulusan dia. Semangatnya." Ia menatap anaknya, kali ini dengan sorot mata yang lebih hangat. "Kalau itu pilihan kamu... jalanmu... Ibu restui." Cakra terkejut. Air matanya jatuh begitu saja. Ia menunduk dalam, lalu mendekat dan memeluk ibunya erat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka diam dalam pelukan yang menyimpan rindu dan luka yang lama terpendam.

Ibu membelai kepala anaknya,putra kecilnya sudah beranjak dewasa "Tapi janji... jangan pernah tinggalkan Ibu tanpa pamit lagi." Cakra mengangguk suaranya parau "Janji, Bu..."

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!