Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 21 - Perjuangan
Pagi di biara selalu dimulai dengan doa. Para novis dan biarawati berlutut rapi di depan altar, mengenakan kerudung putih bersih seperti salju, dan seragam biarawati sederhana berwarna abu-abu.
Murni berada di barisan kedua dari belakang. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada dalam sikap berdoa, di jemarinya terselip rosario. Bibirnya bergerak, tetapi pikirannya tidak di sana.
Sudah tiga hari ia kembali ke biara, sudah tiga malam ia berhasil memenangkan perjuangan.
Namun... dunia seakan tidak terasa nyata.
Ia tidak berlari ke Warung Murni setiap malam, meskipun pikirannya tetap pergi ke sana setiap saat.
Setiap lilin di altar membangkitkan bayangan cahaya kuning dari warung, dan ingatan akan tangan mereka yang bersentuhan ringan ketika menahan api yang tertiup angin.
Setiap uap teh dari dapur biara mengingatkan pada aroma kaldu hangat yang dimasak Mahanta.
Dan setiap malam, ketika ia berhasil memejamkan mata setelah berjam-jam nyalang menatap langit-langit kamar, ia bermimpi tentang tangan Mahanta.
Tangan Mahanta yang kasar tapi menenangkan, menyodorkan mangkuk yang berisi lebih dari sekadar makanan. Mungkin janji, mungkin racun, atau mungkin… cinta? Ia ingat cara bagaimana lelaki itu menatapnya.
Bahkan kini, ketika ia menunduk, wajah Mahanta seolah ada di hadapannya. Dan ketika ia menengadah menatap patung Kristus, itu tertutup oleh wajah Mahanta.
Mahanta ada di mana-mana. Murni merasa hampir gila oleh kerinduan yang kian tak mampu ia lawan. Tetapi ia masih bertekad untuk berjuang. Mungkin… ini adalah ujiannya. Dan ia harus lulus. Ia harus menang.
Doa selesai. Semua bangkit dan kembali ke jadwal kegiatan masing-masing. Ada yang bersiap menjenguk orang sakit, ada yang hendak pergi ke panti jompo, ada yang mau pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan hari ini di biara.
Hanya Murni yang masih tertinggal. Theresia menghampirinya.
“Kamu terlihat pucat,” katanya lembut. “Apakah sakit?”
“Aku… hanya kurang tidur.” Murni menoleh dan memaksakan senyum.
“Apakah suara dengkuran aku makin keras?” Theresia tampak merasa bersalah dan malu.
“Oh bukan, bukan karena itu.” Murni menenangkan rekannya.
“Apakah karena mimpi buruk itu?”
Murni menatapnya sejenak. “Lebih seperti... mimpi yang terlalu indah, dan itu yang membuatnya menakutkan.”
Theresia menatapnya heran, tapi tidak bertanya lebih jauh.
Sebagai teman satu kamar, Theresia tahu Murni sering mimpi buruk. Dia pernah beberapa kali memergoki Murni berteriak dalam tidurnya.
Tetapi karena Murni tidak mengatakan apa-apa, dia tidak pernah mendesaknya untuk bercerita, meskipun Murni yakin pasti Theresia sudah bercerita pada suster kepala. Terutama setelah Murni tiba-tiba memutuskan untuk cuti panjang.
—
Sore hari di hari keempat, biara sepi karena semua biarawati yang pergi mengerjakan tugas masing-masing belum kembali. Murni lebih dulu tiba, ia baru saja melakukan kunjungan ke panti asuhan. Anak-anak yatim piatu di sana sangat menyukainya, dan sangat gembira melihatnya kembali datang setelah sekian lama absen.
Dikelilingi wajah-wajah polos itu, hati Murni agak terobati, merasa bahwa memang ini adalah tempatnya. Tugas dan panggilannya. Sejenak, Mahanta terlupakan. Rasa rindunya tersingkirkan.
Namun, duduk sendirian di kebun belakang biara saat ini, dikelilingi keheningan, Murni menatap semak bunga yang setengah mekar.
Di pangkuannya ada buku doa. Tetapi pikirannya kembali pada mimpinya malam tadi.
Mimpi itu bukan mimpi buruk. Bukan kobaran api. Bukan suara teriakan dirinya sendiri.
Ia berdiri di padang luas yang tidak dikenalnya, bukan padang rumput, melainkan seperti hamparan awan. Langit di atasnya gelap pekat, namun dipenuhi kerlip gugusan bintang yang berserakan.
Malam segelap ini seharusnya dingin, tetapi udara terasa hangat. Bunga-bunga putih bermekaran di sekitarnya, dan angin berembus pelan, mengalun seperti nyanyian.
Murni duduk di sana, mengenakan gaun putih panjang yang melambai ringan. Bahunya terbuka, sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam kesehariannya sebagai biarawati, rambutnya terurai panjang hingga pinggang.
Ada langkah kaki mendekat.
Berat. Membuat jantungnya berdegup, tetapi bukan karena takut.
Satu sosok muncul dari kabut bintang. Seorang pria. Tubuhnya tinggi dan kokoh, matanya hitam dengan titik kemerahan, tatapannya... seolah menusuk langsung ke dalam jantungnya.
Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa. Tetapi Murni tahu siapa dia. Meski wajahnya tidak jelas, ia mengenal tubuh itu. Tatapan itu. Dan getaran yang ditimbulkan karena kehadirannya.
Mahanta.
Namun…
Itu bukan Mahanta yang ia temui di warung.
Ini Mahanta yang lain. Lebih tua, lebih... mendominasi.
Dia mendekat. Tak bersuara. Tangannya terulur, menyentuh pundaknya. Tubuh Murni seketika bergetar.
Dan saat bibir pria itu nyaris menyentuh miliknya… ia terbangun.
Ia masih bisa merasakan jejak sentuhan itu di kulitnya. Hangat, seperti bara halus, namun membuatnya menggigil. Itulah sebabnya ia mengatakan pada Theresia, bahwa itu adalah mimpi indah yang menakutkan.
Kini, ia bahkan meresapi kembali perasaan itu.
Bahkan… menikmatinya.
Saat tiada satu mata manusia pun di sekelilingnya, ia merasa boleh, merasa berhak… untuk mengenangnya.
Suara decit rem di jalanan tiba-tiba membuatnya tersentak. Rasa bersalah langsung menerjang, keras, menampar pikirannya.
Ia bergegas ke kapel di dalam biara, menyalakan lilin, berlutut, dan menatap patung Kristus di depannya.
"Tuhan, aku lemah," bisiknya. "Aku sudah berusaha, dan masih berusaha. Aku ingin tidak memikirkan dia, tapi mengapa dia terus hadir dalam keseharianku, dalam mimpiku."
“Apakah ini ujian darimu, Tuhan? Atau sebuah peringatan, bahwa aku… tidak layak menjadi pengantinMu? Apakah aku harus memilih antara jalanMu dan dia?”
“Aku mohon… beri aku jawaban.”
Namun, jauh di dalam hati kecilnya, Murni takut jika jawaban benar-benar datang.
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran