Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Sesampainya di rumah, Yudha segera membuka pintu mobil dengan hati-hati, memastikan Puri bisa keluar dengan nyaman.
Ia membantu istrinya melangkah perlahan menuju pintu rumah, tak jauh berbeda seperti saat mereka baru pertama kali menikah, di mana Yudha selalu siap membantu dengan penuh perhatian.
Puri tersenyum kecil, meski masih terlihat lelah.
"Akhirnya... rumah kita."
"Ya," jawab Yudha, sambil menuntun Puri masuk.
"Di sini, kamu bisa istirahat sebanyak yang kamu mau."
Begitu melangkah ke dalam rumah, suasana yang tenang dan familiar menyambut mereka.
Puri duduk di sofa, melepas sepatu dan melemaskan tubuhnya. Yudha segera menyiapkan bantal dan selimut untuknya.
"Aku bawa makanan dari rumah sakit. Kamu mau makan?" tanya Yudha, berusaha mengalihkan perhatian Puri dari rasa lelahnya.
"Terima kasih, tapi... aku cuma ingin tidur dulu," jawab Puri sambil merebahkan tubuhnya, memejamkan mata sejenak.
Yudha mengangguk dan duduk di sampingnya. Ia menyentuh rambut Puri dengan lembut.
"Istirahatlah, sayang. Aku di sini."
Puri membuka mata sedikit, menatapnya dengan tatapan penuh rasa cinta.
"Aku tahu... terima kasih, Mas . Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kamu."
"Jangan bicara begitu," jawab Yudha pelan, matanya berkaca-kaca.
"Kamu nggak akan pernah sendirian. Aku selalu ada."
Setelah beberapa detik dalam keheningan penuh kenyamanan, Yudha pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam sederhana, sementara
Puri terlelap, akhirnya bisa menikmati kedamaian setelah malam yang penuh kecemasan.
Beberapa hari setelah Puri pulih dan kembali beristirahat di rumah, suasana yang semula tenang tiba-tiba berubah. Pintu depan terdengar diketuk keras.
Yudha yang sedang menyiapkan makan siang segera berlari ke pintu dan membukanya dengan ragu.
Di depan pintu, berdiri seorang pria bertubuh besar, mengenakan kacamata hitam dan membawa koper besar.
Wajahnya penuh senyum, dan senyum itu langsung menghilangkan keraguan di wajah Yudha.
“Om Sasongko?” Yudha terkejut.
“Iya, Yudha, aku datang!” jawab Om Sasongko dengan suara berat namun penuh tawa.
Yudha terperanjat. "Kenapa nggak kasih kabar dulu, Om? Kok tiba-tiba datang?"
Om Sasongko tertawa lebar, meletakkan koper di lantai dan masuk tanpa menunggu jawaban.
“Ah, kalau kasih kabar dulu, malah nggak seru! Aku dan Tante Mamik, mau bulan madu kedua. Kami baru saja sampai.”
Yudha bingung. “Bulan madu kedua? Om, kok nggak ada kabar? Kenapa nggak bilang sebelum berangkat?”
“Wah, ini kan kejutan, Yudha! Tante Mamik kan juga sudah lama nggak keluar negeri, jadi kami memutuskan untuk liburan ke Australia. Tentu saja, tanpa memberi kabar dulu! Bagaimana kalau langsung datang?” Om Sasongko mengedipkan mata nakal.
Dari dalam rumah, Puri yang sedang beristirahat mendengar suara riuh di luar.
Ia terbangun, sedikit bingung, dan membuka pintu kamar. Begitu melihat Om Sasongko, matanya langsung berbinar.
“Om Sasongko!” Puri berlari mendekat dan memeluknya.
“Kapan datang? Kenapa nggak kasih kabar?”
Om Sasongko tertawa besar. “Biar kejutan, Puri! Tante Mamik lagi sibuk di luar, tapi dia pasti akan ke sini nanti.”
Yudha yang masih kebingungan hanya bisa menggelengkan kepala.
"Om Sasongko, memang benar-benar nggak berubah, ya. Tapi... kalau sudah di sini, kita harus rayakan dengan makan malam."
"Setuju!" jawab Om Sasongko penuh semangat.
"Jadi, apa yang kita makan malam ini? Om lapar setelah perjalanan jauh!"
Om Sasongko, yang sudah duduk nyaman di sofa sambil meletakkan kopernya di samping, tiba-tiba berdiri dengan semangat tinggi.
"Ayo, kita makan di luar saja!" katanya sambil mengangkat tangannya ke udara seolah merayakan sebuah kemenangan besar.
"Aku sudah reservasi makan malam di hotel bintang lima di dekat sini. Tempatnya bagus, makanannya enak. Semua biaya ditanggung! Ini kejutan untuk kalian!"
Yudha dan Puri saling bertukar pandang, masih terkejut dengan kehadiran Om Sasongko yang tiba-tiba datang tanpa kabar.
Namun, melihat semangat Om Sasongko yang tak terbendung, mereka akhirnya setuju.
"Hotel bintang lima, Om? Wah, jadi penasaran nih," kata Yudha, meskipun di dalam hati masih berpikir keras tentang perubahan mendadak ini.
Puri yang sudah duduk kembali di sofa, menatap suaminya dengan senyuman lelah.
"Kalau begitu, kita ikut saja. Nggak setiap hari ada kesempatan makan di tempat mewah, kan?"
Om Sasongko mengangguk dengan penuh kebanggaan.
"Itu dia! Kalian pantas mendapatkannya. Sudah lama tidak jalan-jalan ke luar, dan ini adalah waktu yang tepat."
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga pun berangkat menuju hotel tersebut.
Begitu sampai di sana, Puri dan Yudha terkejut melihat kemewahan tempat itu.
Lobi hotel yang luas, dengan desain elegan dan lampu kristal yang berkilau.
Sambil mengagumi suasana sekitar, mereka berjalan menuju ruang makan yang telah dipesan khusus oleh Om Sasongko.
Tante Mamik, yang ternyata sudah tiba lebih dulu, menyambut mereka dengan pelukan hangat.
"Apa kabar, Puri? Yudha?" katanya, senyum cerah menghiasi wajahnya.
"Om, Tante, terima kasih sudah mengundang kami ke sini. Kami sangat terkejut," ujar Puri dengan tulus, melihat meja yang sudah disiapkan dengan dekorasi mewah dan pemandangan indah di luar jendela.
Om Sasongko mengangkat gelasnya. "Ini hanya permulaan, ya. Semua harus spesial. Kalian berdua sudah menjalani banyak hal, terutama Puri yang baru saja pulih. Kita rayakan bersama malam ini. Makan enak, ngobrol santai, dan menikmati hidup."
Yudha tersenyum, meskipun masih merasa sedikit bingung dengan semua kejutan ini.
"Om, Tante, terima kasih banyak. Ini memang kejutan yang tak terduga."
Mereka semua duduk dan mulai menikmati hidangan yang disajikan dari hidangan pembuka yang elegan hingga menu utama yang luar biasa.
Selama makan malam, suasana hangat dan penuh tawa mengisi meja.
Semua berbagi cerita, meskipun kehadiran Om Sasongko tetap menjadi pusat perhatian dengan segala keceriaannya yang tak terbendung.
Suasana makan malam yang hangat di restoran hotel bintang lima itu begitu nyaman.
Tertawa bersama, saling berbagi cerita, membuat Puri merasa sedikit melupakan kecemasan yang sempat mengganggu beberapa hari terakhir.
Namun, tiba-tiba, pandangannya tertuju pada satu sosok di sudut ruangan.
Puri terdiam sejenak, matanya membelalak sedikit. Di meja dekat jendela, duduk seorang pria yang tampaknya sedang berbicara dengan beberapa orang.
Sosok itu mengenakan jas hitam, rambutnya sedikit berantakan, tetapi yang membuat Puri terperanjat adalah… wajah itu.
Wajah yang ia kenal. Wajah yang tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya. Karan.
Puri mengedipkan mata, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya kebetulan.
“Apa aku sedang bermimpi?” bisiknya dalam hati, matanya masih tertuju pada pria itu.
Ia menatapnya lebih lama, berharap apa yang ia lihat hanyalah imajinasinya.
Namun, saat ia melihat ke arah meja itu lagi, Karan sudah tidak ada di sana.
Hanya ada kursi kosong, dan suasana restoran yang sibuk seperti biasa.
Puri menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya.
Matanya kembali memandang Yudha yang sedang berbicara dengan Tante Mamik. Namun, perasaan aneh masih menggelayuti hatinya.
Tiba-tiba, Yudha merasakan sesuatu yang berbeda. Ia menoleh ke arah istrinya yang tampak gelisah.
Puri menggenggam gelasnya dengan tangan yang sedikit gemetar, dan pandangannya terfokus pada tempat yang kosong.
Yudha menyentuh tangan Puri dengan lembut, menggenggamnya erat.
“Sayang, ada apa?” tanyanya khawatir, suaranya penuh perhatian.
Puri menoleh ke arah Yudha, matanya sedikit berbinar, namun ia langsung menggelengkan kepalanya. “
"Nggak… nggak ada apa-apa, Mas. Mungkin aku capek. Hanya… bayangan saja.”
Namun, Yudha tidak bisa menutupi rasa khawatirnya. Ia tahu istrinya tidak sedang baik-baik saja, meski Puri berusaha tersenyum dan menenangkan dirinya sendiri.
Yudha menggenggam tangan Puri lebih erat, seperti ingin memberinya kekuatan.
“Aku di sini, sayang. Kamu nggak perlu takut, aku selalu di sini untuk kamu.”
Puri menatap mata suaminya, dan untuk sesaat, semua kecemasan yang sempat mengganggunya perlahan mereda.
Ia mengangguk pelan, tapi dalam hatinya, ada satu pertanyaan yang belum bisa ia jawa.
Siapa sebenarnya Karan? Kenapa ia merasa seperti melihatnya lagi, padahal ia tahu Karan sudah pergi jauh?