Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Setelah mendengar permintaan langsung Devan untuk merestui hubungannya dengan Nara, Papa Nara terdiam. Bukan penolakan, melainkan sebuah perenungan yang dalam. Ia tidak ingin Nara terluka lagi. Kenangan pahit pernikahan Nara yang batal karena Renata, adiknya sendiri, masih sangat segar di ingatannya. Rasa bersalah yang dalam karena tidak bisa berbuat apa-apa, menganjal di hatinya.
Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Kesungguhan yang terpancar dari mata Devan memberikannya sebuah harapan baru. Harapan akan kebahagiaan Nara. Sebuah peluang untuk Nara memulai hidup baru yang lebih baik.
“Kami … terserah Nara saja,” kata Papa Nara akhirnya, suaranya lembut, tetapi penuh makna. Tatapannya tertuju pada Nara, penuh dengan kekhawatiran dan pertanyaan. “Dia yang lebih tahu bagaimana perasaannya. Apa dia sudah benar-benar sembuh dari lukanya? Jangan sampai ini hanya sebuah pelarian rasa sakit yang nantinya malah menambah luka untuknya.”
Ada sebuah keprihatinan yang dalam di balik kata-kata itu. Papa Nara juga was-was dengan perbedaan status sosial yang sangat jauh.
Endra, mantan calon suami Nara, juga berasal dari keluarga terpandang, dan mendapatkan restu keluarganya saja tidak mudah. Apalagi keluarga Devan yang jauh lebih berpengaruh. Nara seperti mengulang hal yang sama untuk kedua kalinya: berjuang untuk mendapatkan restu.
Mama Nara, yang awalnya sangat ragu, tampaknya mulai tertarik dengan Devan. Ia membaca kartu nama yang diberikan Devan. “Daniel Devandra Salim,” celetuknya. “Orang tua kamu bagaimana?” tanyanya, suaranya menunjukkan ketertarikan yang bertambah. “Apa mereka juga sudah tahu?”
Devan menjawab dengan tegas dan penuh keyakinan, “Iya, Tante. Mereka tahu, dan mereka menerima Nara dengan baik juga.”
Papa Nara menghela napas lega mendengar jawaban tegas Devan tentang penerimaan keluarganya terhadap Nara. Sebuah beban seolah terangkat dari pundaknya. Ia melihat kesungguhan di mata Devan, dan keyakinan pemuda itu tentang penerimaan keluarganya sedikit banyak mengurangi kekhawatirannya. Meskipun masih ada keraguan, ia mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk merestui hubungan ini.
“Bagaimana kalau kita adakan pertemuan keluarga dulu?” usul Papa Nara, suaranya lebih tenang dan terdengar lebih optimis. “Saling mengenal lebih dekat. Kalau dua keluarga sudah sama-sama setuju, kalian baru bisa merencanakan pernikahan. Ini akan lebih baik daripada terburu-buru.”
Ia menatap Nara dan Devan bergantian. “Ini akan memberikan waktu untuk kalian berdua dan keluarga kita untuk benar-benar mempertimbangkan semua hal. Dan juga memberikan waktu bagi Nara untuk memastikan bahwa keputusan ini adalah keputusan yang benar-benar ia inginkan, bukan hanya pelarian dari luka masa lalu.”
Mama Nara, yang awalnya sangat fokus pada status Devan, juga terlihat sedikit melunak. Usulan Papa Nara tentang pertemuan keluarga tampaknya masuk akal baginya.
Devan menanggapi usulan Papa Nara dengan senyum yang tulus. “Tentu saja, Om. Saya sangat setuju dengan usulan itu. Saya juga ingin kedua keluarga saling mengenal dan merestui hubungan kami.”
**
Setelah perbincangan serius dan makan malam yang agak tegang bersama orang tua Nara, Devan akhirnya pamit. Nara mengantarnya ke depan rumah. Berbeda dengan di dalam yang terasa tegang, suasana di luar rumah lebih rileks dan pribadi.
“Semuanya terasa lebih sulit dari dugaanku,” kata Devan, suaranya sedikit lesu. Ia terlihat sedikit kecewa dengan respon orang tua Nara, terutama Mama Nara.
Nara mengangguk. “Memang ini terlalu terburu-buru. Aku bahkan baru tahu namamu tadi pagi,” akunya, nada suaranya menunjukkan sedikit keraguan dan kegelisahan.
Devan dengan cepat meletakkan jari telunjuknya ke bibir Nara, membuat gadis itu diam. “Jangan keras-keras, nanti ada yang dengar!” bisiknya, sambil mendekatkan wajah pada Nara.
Saat itulah, tatapan mata mereka terkunci. Nara bisa merasakan hembusan napas Devan yang hangat menerpa kulit wajahnya.
Pesona Devan yang tampan membuat Nara merasakan sesuatu yang berbeda. Darahnya berdesir dan jantungnya berpacu dengan cepat.
Untuk sesaat, keduanya membeku dalam keheningan. Hanya suara detak jantung mereka sendiri yang terdengar berisik. Tatapan keduanya begitu intens.
Devan semakin mendekatkan wajahnya pada Nara, bibirnya sedikit terbuka. Nara memejamkan mata, seolah pasrah menerima apa pun yang akan dilakukan Devan.
Namun, saat mata Nara terpejam, ia merasakan terpaan angin yang cukup kuat mengenai pipinya. Lalu, suara papanya yang berdeham keras membuatnya tersentak.
Devan berbisik, “Maaf, tadi ada binatang kecil di wajahmu.” Ia lalu menatap Papa Nara dan menundukkan kepala dengan sopan sebelum akhirnya masuk ke mobil.
Nara masih membeku di tempat, memegangi bibirnya, lalu pipinya. “Apa tadi?” gumamnya. Pikirnya, Devan hampir menciumnya.
Kejadian itu meninggalkan rasa yang campur aduk di hati Nara. Kecemasan, kegembiraan, dan sedikit kekecewaan.
**
**
Esok harinya, Nara kembali bekerja seperti biasa setelah libur sehari. Suasana kantor sedikit berbeda. Para karyawan, terutama teman-teman dekat Nara, berbisik-bisik membahas rencana menjenguk anak Endra, mantan tunangan Nara, yang baru lahir. Mereka tampak ragu-ragu dan berhati-hati, tahu bahwa pembicaraan ini bisa melukai perasaan Nara.
Meskipun Endra adalah anak kedua pemimpin perusahaan, ia dikenal sebagai orang yang ramah dan dekat dengan karyawan, termasuk Nara. Karena itulah, mereka masih berniat menjenguk bayinya meski tahu akan melukai perasaan Nara.
Namun, Nara, dengan senyum yang mengembang—senyum yang tampak tulus dan tidak memaksa—mendekat kepada mereka. “Kalian mau jenguk anaknya Pak Endra? Bayinya dibawa pulang ke rumah orang tuaku,” katanya dengan suara yang ceria. “Kalau mau jenguk, sekalian bareng aku pas pulang aja!”
Tawarannya terdengar spontan dan tanpa beban. Seakan-akan ia benar-benar tidak merasakan sakit hati atas kejadian yang telah lalu. Sikapnya yang terbuka dan positif itu jelas mengejutkan teman-teman kerjanya.
Dewi, salah satu teman kerja Nara yang paling dekat, menunjukkan kekhawatirannya. “Mereka tinggal di rumah orang tua kamu? Terus kamu gimana, Nara?” tanyanya dengan nada yang lembut dan penuh perhatian.
Mereka semua tahu sejarah Nara dan Endra. Hubungan mereka yang lama dan hampir berujung pernikahan harus kandas setelah Endra menghamili calon adik iparnya sendiri.
Nara menjawab dengan tenang, “Ya, biasa saja. Istrinya Pak Endra juga adikku. Dia masih terlalu muda menjadi ibu, jadi mamaku berniat membantu,” katanya, tersenyum tipis.
Senyum Nara tampak lebih seperti pernyataan daripada ekspresi kegembiraan. Teman-temannya saling bertukar pandangan, mengetahui sejarah yang pahit antara Nara dan Endra. Mereka tahu betapa hancurnya Nara ketika hubungan mereka berakhir.
“Iya, kita tahu. Tapi, kan Pak Endra itu ….” Dewi memulai, tetapi suaranya terputus oleh suara langkah kaki yang mendekati.
Endra. Ia muncul di depan mereka. Penampilannya santai, tetapi aura yang dipancarkannya berbeda. Ada sesuatu yang gelap dan tidak bisa dibaca di matanya.
Nara tidak berubah ekspresi. Senyumnya masih terpatri di wajahnya, tetapi senyum itu terasa dingin, seperti topeng. “Dia hanya masa lalu,” ucapnya dengan suara yang datar, tanpa sedikit pun nada emosi. Kalimat itu seperti panah yang mengenai hati Endra.
Endra tidak berbicara, hanya menatap Nara dengan tatapan yang intens, tatapan yang membuat udara di sekitar mereka semakin menegang.
Ada sebuah perasaan yang tidak bisa disembunyikan di matanya: kecemburuan. Ia tidak menunjukkan kemarahan atau kecewa secara langsung, tetapi tatapannya mengungkapkan semua perasaan itu.
Endra kini mendekati Nara, berhenti di hadapannya, lalu berbisik dengan suara yang hanya keduanya yang mendengar, “Masa lalu? Kau yakin?”
Bisikan itu tidak terdengar kasar, tetapi memiliki daya pukul yang kuat. Ia meninggalkan Nara dengan tatapan yang penuh arti, lalu berlalu meninggalkan Nara dan teman-temannya yang terpaku dengan suasana yang sangat menegangkan. Ekspresi Nara tidak berubah, namun di balik ketenangannya itu, tersimpan sesuatu yang tidak bisa dibaca.
***
Kalau Otor jelas pengen nabok si Endra sih☺️
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar