Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 | Dia kembali datang
Kedekatan Gala dan Alana masih tertutup rapi. Mereka sepakat untuk merahasiakan ini dari siapa pun termasuk teman-temannya sendiri.
Selama liburan, keduanya semakin akrab satu sama lain, meskipun Alana masih sedikit menjaga jarak saat jalan berdua. Semua itu tak jadi masalah untuk seorang Gala. Baginya, dapat chattingan, telepon maupun video call dengan gadis itu sudah cukup membuatnya bahagia.
Sedangkan Alana merasa harinya semakin berwarna, kekosongan yang selalu dia rasakan perlahan terisi dengan tawa canda dan berbagai cerita mereka. Gala juga tak sungkan datang ke rumah Alana dan disambut baik oleh Hanna.
Sebagai ibu, dirinya tahu apa yang tengah terjadi di antara pemuda pemudi itu.
Suatu hari, Gala datang seperti biasanya, kebetulan Hanna sedang bersiap untuk pergi mengurus pekerjaannya di luar kota.
Alana bergegas ke kamarnya untuk berganti pakaian, kesempatan itu digunakan Hanna untuk berbincang dengan tamunya.
"Nak Gala, Tante titip Alana ya. Beberapa hari nanti atau mungkin hitungan minggu, Tante akan ke luar kota. Jadi tolong, jagain Alana ya, Nak." Hanna menatap Gala penuh harap. Dia merasakan ada yang tidak beres melihat gelagat putrinya juga Benny tempo hari. Untuk bertanya lebih, Hanna belum sampai hati, mengingat Alana sempat tak sadarkan diri dan raut wajahnya berubah saat mendengar nama Benny.
"Ini nomor Tante, hubungi aja nggak usah sungkan. Nanti akan ada adik Tante yang menemani Alana di sini, dan Tante minta tolong ... (Hanna melihat ke arah tangga untuk memastikan putrinya belum turun) tolong cari tahu apa yang Alana sembunyikan ya, Nak. Tante merasa dia menyimpan sesuatu entah kesehatannya atau apa, tolong ya."
Gala mengangguk mantap, dia melihat tatapan penuh harap dari wanita paruh baya itu.
Nah, kan. Berarti bener dugaan gue selama ini. Alana nyimpen sesuatu yang bahkan Ibunya sendiri tak tahu, pasti ini persoalan pelik dan bisa juga ini yang bikin dia nangis di aula.
Gala teringat suatu waktu, pernah mengintip Alana tengah menangis sesenggukan di dalam aula seorang diri. Meski hatinya ingin sekali menghampiri, namun satu dan lain hal membuatnya mengurungkan niat itu.
Kini, tinggallah Alana dan Gala di kursi teras. Hanna sudah pergi diantar pak Joko, sedangkan yang lain berada di dalam rumah, sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Na, lo nggak pengin liburan ke mana gitu? Mumpung kita masih ada waktu, sebelum masuk sekolah lagi." Gala membuka obrolan, sembari menikmati sepotong buah segar yang terhidang di meja.
Sebenernya gue pengin pergi, tapi gue nggak mau kalau nanti ada yang mergokin. Kan nggak lucu banget.
Alana terkejut saat Gala terus memanggilnya.
"Lo kebanyakan bengong sih, makanya gampang banget kerasukan siluman singa."
Celetukan Gala membuat Alana melemparnya dengan kotak tisu.
"Jaga omongan lo!"
Bukannya takut karena dibentak, Gala semakin tertawa lepas.
"Nah, kan. Baru aja gue diem, tu siluman udah masuk aja."
Seketika, suara tawa mereka terhenti saat seseorang datang dengan langkah mantap dan senyum misteriusnya.
Alana refleks mencengkeram tepian kursi, matanya tak henti mengikuti langkah tamunya yang semakin mendekat.
"Mama nggak ada, mau apa lagi Om ke sini?" Gadis itu berdiri dengan tubuh bergetar. Gala yang melihat itu segera menyentuh pergelangan tangan Alana dan menggenggamnya.
Orang itu adalah Benny, dia tertawa kecil melihat sambutan itu.
"Kalian ngapain berduaan di sini? Udah tahu nggak ada orang tua. Mau cari kesempatan ya," ujarnya lalu duduk menyilangkan kaki tanpa dipersilakan.
"PERGI DARI SINI! ATAU AKU PANGGIL SATPAM!"
Alana menggebrak meja, membuat cangkir dan piring di atasnya bergetar.
Benny tertawa dengan suara yang cukup membuat Alana muak, laki-laki itu berdiri dan menatap Alana lekat sebelum beranjak pergi.
"Bagus kalau kamu masih menyimpannya, Manis. Jangan sampai semuanya terbongkar, termasuk kejadian malam itu."
Benny pergi dengan tawa yang masih terdengar, sampai dia lenyap bersama mobilnya di balik gerbang.
Setelah memastikan laki-laki itu pergi, Alana menjatuhkan tubuhnya di kursi. Tubuhnya terlihat lemas dengan wajah yang memucat.
Dengan sigap, Gala membawa Alana masuk lalu memanggil art untuk meminta bantuan.
"Na, are you okay? Lo udah enakan?" Gala menyentuh kening Alana yang terbaring di sofa.
"Gue nggak papa, sorry atas kejadian tadi. Anggap aja tadi nggak ada apa-apa." Perlahan Alana bangkit dan duduk bersandar. Gala memberinya minum dan tetap menunggu gadis itu benar-benar pulih.
Ponsel Alana berdering, panggilan masuk dari Lidia membuatnya menegakkan tubuh dan bersikap biasa seakan tak pernah terjadi sesuatu sebelumnya.
"Na, Tante baliknya agak malem ya. Ini masih lumayan rame soalnya, kamu nggak papa kan? Tadi Mama kamu bilang, kalo di rumah lagi ada temenmu. Cowok katanya. Hmm ... pacar? Kenalin dong." Alana melirik sekilas pada Gala, lalu kembali berbincang dan memutus sambungan.
"Lo bisa di sini dulu nggak, sampe Tante gue dateng?" Suara Alana hampir tak terdengar membuat Gala memintanya untuk mengulang.
Mendengar permintaan itu, Gala tersenyum dan terus mengedipkan mata ke arah Alana.
"Dengan senang hati, Tuan putri. Saya siap berjaga di sini ... atau kalau boleh, nginep juga tidak masalah."
Brakk!!
Alana melempar bantal sofa pada Gala, namun dia berhasil menghindar, membuat benda itu melayang mengenai vas bunga di dekatnya.
"Wah, barang mahal lo pecahin, Na? Ntar nyokap lo ngomel-ngomel nih." Gala bangkit dan mengumpulkan pecahan kaca itu lalu berlari ke arah dapur.
Di tempatnya, Alana masih terdiam mengamati gerak-gerik cowok itu sampai dia kembali dengan sapu dan kantong plastik.
Tak dapat dipungkiri, Alana menyesal telah berbuat demikian. Tapi dia juga kesal atas jawaban Gala.
Lo bukannya kesel sama dia, Na. Lo cuma salting aja dapet gombalannya.
Alana menghela napas saat hati berkata lain, sedang Gala sudah kembali duduk di hadapannya.
Mereka larut dalam obrolan hingga tak menyadari kedatangan seseorang di ambang pintu.
"Oh, jadi gini kelakuanmu selama ini? Bawa laki-laki ke rumah di saat sepi? Dasar perempuan binal, kau tak ubahnya perek murahan!"
"Cukup, Pa!" Alana bangkit berdiri, wajahnya merah padam oleh amarah. Dia bahkan tak menghiraukan keberadaan Gala yang kini menatap kebingungan.
Bastian terus mengeluarkan sumpah serapah sampai akhirnya ...
"Dasar anak nggak tahu diuntung. Aku dan Hanna benar-benar sial telah mengambil bayi calon perek dari panti itu."
"BASTIAN!!"
Suara melengking terdengar dari arah pintu, ketiganya menoleh dan melihat Lidia berdiri dengan mata tajam yang menakutkan. Alana sendiri bergidik ngeri, karena baru kali ini melihat wanita itu marah besar.
Lidia berjalan mendekat. Tatapannya tak lepas dari wajah laki-laki sangar yang kini terdiam membisu.
"Untuk apa kau datang lagi, Bastian? Apa yang kau incar di sini? Harta? Atau kau akan mengambil sesuatu di rumah ini?"
Tangan Bastian mengepal, rahangnya mengeras dengan napas yang memburu.
"Diam kau, Lidia! Kau tak ada hak untuk ikut campur rumah tanggaku!"
Lidia tertawa renyah sambil bertepuk tangan, matanya masih tertuju pada laki-laki tak tahu diri itu.
"Rumah tangga? Nggak salah denger? Kau bukan lagi suami Kakakku ... dan lagi, rumah ini beserta isinya, termasuk Alana, bukan lagi milikmu. Jadi, jangan asal selonong masuk ke rumah orang tanpa permisi ... silakan angkat kaki, SEKARANG JUGA!"
Bastian melayangkan kepalannya ke arah Lidia, namun dengan cepat Gala menangkis dan mengunci lengan Bastian ke belakang.
*