Aku Kembali Sayang??

Saat Laston kembali ke bangsal perawatan, Putri langsung berlari kearahnya. Gadis itu terus merengek meminta pulang meskipun kondisi belum membaik.

"Aku mau pulang Om, ibuku sakit, jika aku tidak pulang siapa yang akan merawatnya??"

"Tapi putri kondisi mu belum membaik," sahut Laston

Putri pun berusaha meyakinkan Laston jika ia sudah baik-baik saja. Melihat bagaimana gadis itu memaksa pulang membuat Laston pun tak tega. Ia pun akhirnya setuju untuk mengantar Putri pulang.

Dalam perjalanan menuju ke mobil Putri merasakan tubuhnya begitu lemas, keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Ia sempat berhenti saat ia merasakan pandangannya mulai kabur.

Sebenarnya ia masih harus di rawat namun saat mengingat sang ibu yang tengah sakit ia pun berusaha untuk kuat agar bisa merawat sang ibu.

Melihat wajah Putri yang memucat Laston pun mengurungkan niatnya dan mengajaknya untuk kembali ke ruang perawatannya.

Meski Putri terus menggeleng lemah dan mencoba menolak, wajah pucat dan napasnya yang tersengal membuat Laston tak bisa tinggal diam. Ia mengangkat tubuh gadis itu kembali ke ruang perawatan dengan penuh kehati-hatian, seolah ia membawa sesuatu yang sangat rapuh.

Di perjalanan menuju ke bangsal perawatan tangan Laston terus menggenggam tangan Putri yang dingin. Matanya sesekali menatap wajah putri. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.

Setibanya di ruang perawatan, ia segera memanggil petugas medis untuk memeriksa kondisinya. Laston menunggu di luar ruangan dengan cemas. Beberapa menit kemudian, seorang perawat keluar dan berkata dengan nada tergesa,

“Pasien butuh transfusi segera. Kami perlu tahu golongan darahnya.”

Tak lama setelah itu, hasil tes darah keluar. Perawat yang memegang berkas terlihat kebingungan.

“Golongan darahnya sangat langka. AB rhesus negatif,” ujarnya. “Kebetulan, kami punya stok karena baru ada pendonor beberapa hari lalu. Tapi ini jarang sekali ditemukan di sini.”

Mendengar itu, Laston tertegun. “AB rhesus negatif?” gumamnya pelan. “Itu… sama seperti Mala.”

Matanya membelalak. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke sosok adik perempuannya, Mala, yang juga memiliki golongan darah langka. Sebuah perasaan aneh muncul di dadanya.

Mungkinkah ini bukan sekadar kebetulan…?

Di tempat lain, Shela duduk bersama Haris di sebuah kafe yang sepi.

Ia tampak gelisah, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin sejak lama. Haris menatapnya dengan penuh tanya.

“Shela, ada apa? Kenapa mendadak ajak aku ketemu?”

Shela menarik napas panjang. “Aku nggak bisa diam lagi, Mas. Aku harus bilang sesuatu. Ini soal Anak kandung Mala.”

Haris mengernyit. “Kenapa, apa kamu sudah mendapatkan informasi tentang dia?”

Shela mengangguk pelan. Ia menunduk, suara lirih keluar dari bibirnya.

“Putri… anak yang sering di bully oleh Vanesa, kemungkinan Dia… anak kandung Mala.”

Sejenak, waktu terasa berhenti bagi Haris. Ia menatap Shela dengan sorot mata tak percaya.

“Apa…? Kamu serius?”

“Ya,” jawab Shela. “Kemarin aku datang ke TPS tempat aku membuang putri kandung Mala, dan aku menemukan seorang penjaga tempat itu merawat bayi yang aku buang 17 tahun lalu, anak itu adalah Putri,”

"Tapi itu belum tentu benar Shela, untuk memastikannya kita harus melakukan tes DNA," sahut Haris

Shela hanya mengangguk membenarkan ucapnya.

Tanpa mereka sadari, Vanesa berdiri di balik rak buku di pojok ruangan.

Ia awalnya hanya lewat dan kebetulan mendengar nama ‘Putri’ disebut. Tapi saat ia mendengar kata-kata "anak kandung Mala", langkahnya terhenti.

Vanesa menajamkan pendengarannya, hatinya berdebar hebat. Ia menutup mulut dengan tangan, menahan napas.

Setelah pembicaraan selesai, Vanesa melangkah mundur perlahan dan keluar dari kafe. Wajahnya pucat.

Putri… ternyata anak kandung Mala. Kenapa harus dia??

Langkah Vanesa tergesa saat keluar dari kafe. Sepatu haknya menghentak trotoar dengan ritme cepat. Nafasnya terengah, bukan karena lelah, tapi karena pikiran yang kacau.

Putri adalah anak kandung Mala?

Ia mengulang kata-kata itu di kepalanya berkali-kali. Rasanya seperti tertampar. Semua waktu yang ia habiskan bersama Putri, semua rasa cemburu yang ia simpan selama ini—semua berubah makna.

Seketika, amarah, sakit hati, dan rasa dikhianati bercampur jadi satu. Vanesa mengepalkan tangan.

“Kalau begitu… aku harus pastikan. Aku harus cari tahu semuanya sendiri,” bisiknya dengan mata penuh tekad.