Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Musim gugur datang tanpa aba-aba. Daun-daun di halaman kampus berubah warna, kuning kecokelatan, berjatuhan setiap kali angin lewat. Yun Qi sering memperlambat langkahnya saat berjalan melewati jalur itu bukan karena ingin romantis, tapi karena ia masih belajar menikmati hal-hal kecil yang dulu tak pernah sempat ia perhatikan.
Hari itu, ia duduk di bangku panjang dekat gedung fakultas, buku terbuka di pangkuan, tapi matanya tidak benar-benar membaca. “Qi.”
Suara itu terdengar familiar sekarang. Tidak mengejutkan lagi. Yun Qi mendongak. Seorang pria berdiri di depannya, ransel disampirkan di satu bahu, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Senyumnya tidak berlebihan hangat, tapi tidak memaksa. “Zhou Ming,” Yun Qi menyebut namanya pelan.
“Lagi nunggu kelas?” tanya Zhou Ming sambil duduk di ujung bangku, menjaga jarak yang sopan. “Iya. Kamu?”
“Perpustakaan. Tapi isinya penuh.” Ia mengangkat bahu. “Boleh duduk?” Yun Qi mengangguk. Mereka sudah sering bertemu sejak semester dimulai. Satu kelas pilihan yang sama, beberapa diskusi kelompok, obrolan singkat yang berulang-ulang. Zhou Ming tidak pernah memaksa percakapan panjang. Ia tahu kapan berhenti, tahu kapan menunggu. “Besok kamu sibuk?” tanya Zhou Ming tiba-tiba, tapi nadanya hati-hati, seolah sudah menimbang pertanyaan itu sejak lama. Yun Qi menutup bukunya. “Kenapa?”
“Ada pameran foto. Gratis. Kalau… kamu mau.” Kalimat itu tidak terdengar seperti ajakan besar. Lebih seperti menawarkan payung saat hujan. Yun Qi terdiam sejenak. Ia tidak terbiasa dengan undangan semacam ini. Dulu, hidupnya hanya berputar antara sekolah dan apartemen. Tidak ada “besok kamu sibuk?”
“Aku… bisa,” jawabnya akhirnya. Zhou Ming tersenyum. Bukan senyum lebar. Senyum lega. “Jam dua. Aku jemput di depan asrama?”
“Iya.” Percakapan itu berakhir tanpa drama. Zhou Ming berdiri, melambaikan tangan kecil, lalu pergi. Yun Qi duduk kembali, menatap punggungnya menjauh. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya bukan deg-degan yang meledak-ledak, tapi rasa hangat yang pelan. Malamnya, An Na langsung tahu.
“Kamu senyum-senyum sendiri,” kata An Na sambil berbaring tengkurap di ranjang atas. “Jangan bohong.” Yun Qi mengangkat wajah dari buku. “Apa?”
“Dari tadi. Tipis, tapi ada.” An Na menyeringai. “Ceritain.” Xiao Lan yang sedang menyisir rambut di depan cermin ikut menoleh. “Teman sekelas ngajak ke pameran foto,” kata Yun Qi jujur.
“Ohhh.” An Na memanjangkan suara. “Teman. Se—kelas.”
“Namanya Zhou Ming,” tambah Yun Qi, entah kenapa merasa perlu menjelaskan. Xiao Lan tersenyum kecil. “Yang sering nungguin kamu di lorong itu?” Yun Qi terkejut. “Kamu lihat?”
“Beberapa kali.” Xiao Lan mengikat rambutnya. “Dia kelihatan… baik.” Tidak ada nada menggoda. Hanya observasi. Yun Qi menatap sprei, jari-jarinya meremas ujung kain. “Aku nggak pernah pacaran.” An Na langsung duduk. “Serius?”
“Iya.”
“Wah.” An Na tampak berpikir keras. “Berarti ini momen bersejarah.” Xiao Lan menoleh, matanya lembut. “Kalau kamu nggak nyaman, nggak usah dipaksa.” Yun Qi mengangguk. Ia tahu itu. Tapi ada bagian kecil dalam dirinya yang ingin mencoba. Ingin tahu bagaimana rasanya berjalan berdampingan tanpa rasa takut.
Pameran foto itu sederhana. Gedung kecil di dekat taman kota. Zhou Ming datang tepat waktu, mengenakan kemeja biru muda dan celana hitam. Terlalu rapi untuk mahasiswa, tapi Yun Qi tidak merasa aneh.
Mereka berjalan berdampingan, membaca keterangan foto, berdiskusi pelan. Zhou Ming tidak menyentuhnya, tidak berdiri terlalu dekat. Ia membiarkan Yun Qi mengatur jarak. “Kamu suka foto hitam-putih?” tanya Zhou Ming. “Iya.” Yun Qi berhenti di depan satu fot —seorang perempuan tua duduk di kursi, menatap jendela. “Kelihatannya sepi.”
“Menurutmu dia sedih?”
“Tidak.” Yun Qi menggeleng. “Dia seperti… sudah menerima.” Zhou Ming menatap Yun Qi lebih lama dari foto itu. “Cara kamu melihat sesuatu unik,” katanya. Yun Qi tersenyum kecil, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Setelah itu, mereka minum kopi di kafe kecil. Duduk berhadapan, berbagi cerita ringan. Tentang keluarga Zhou Ming yang biasa saja. Tentang Yun Qi yang menjawab singkat saat topik keluarga muncul.
Zhou Ming tidak mendesak. Saat matahari mulai turun, Zhou Ming mengantarnya sampai depan asrama. “Qi,” katanya pelan. “Aku suka kamu.” Tidak ada musik dramatis. Tidak ada hujan. Hanya suara daun kering terinjak. Yun Qi menatapnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi tidak panik. “Aku… belum tahu perasaanku,” katanya jujur.
Zhou Ming mengangguk. “Aku bisa nunggu.” Kalimat itu sederhana. Tapi berat. “Apa kamu mau coba… jalan bareng dulu?” tanya Zhou Ming. “Pelan.” Yun Qi menarik napas. Lalu mengangguk. “Iya.” Zhou Ming tersenyum. Kali ini lebih lebar.
Hubungan itu tumbuh tanpa pengumuman besar. Mereka mulai makan siang bersama, belajar di perpustakaan, berjalan pulang saat sore. Zhou Ming memanggilnya “Qi” tanpa embel-embel. Yun Qi memanggilnya “Ming.”
Tidak ada pegangan tangan di depan umum. Tidak ada foto bersama. Tapi Yun Qi mulai terbiasa dengan kehadiran seseorang di sampingnya. Dan di suatu tempat yang jauh, Wang Hao Yu tahu. Laporan datang rapi, seperti biasa. Nama Zhou Ming tertulis di sana, dengan catatan singkat: mahasiswa, latar belakang bersih.
Hao Yu membaca laporan itu tanpa ekspresi. Ruangan kantornya sunyi, lampu kota berkilau di balik jendela. “Teruskan pemantauan,” katanya pada ponsel. “ tapi jangan ganggu.” Ia menutup telepon, menatap layar beberapa detik lebih lama dari yang perlu.
Kembali ke asrama, Yun Qi duduk di tepi ranjang, memegang ponsel. Ada pesan dari Hao Yu.
Hao Yu: Cuaca dingin. Jangan lupa pakai jaket.
Yun Qi mengetik balasan.
Yun Qi: Iya, Ge.
Ia berhenti, lalu menambahkan.
Yun Qi: Aku baik-baik saja.
Pesan itu dibaca, tapi tidak langsung dibalas.
Yun Qi meletakkan ponsel, memandang keluar jendela. Di halaman, Zhou Ming berdiri sebentar, melambaikan tangan sebelum pergi. Yun Qi membalas lambaian itu, jantungnya terasa hangat. Ia tidak tahu bahwa di balik ketenangan itu, dua dunia perlahan mulai bersinggungan. Dan untuk pertama kalinya, Yun Qi tidak hanya menjadi seseorang yang dilindungi, ia menjadi seseorang yang memilih.