NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Obat Penghilang Rasa Sakit Hati

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 dini hari ketika Dion memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Pasalnya ia merasa sudah hampir mabuk. Benar saja, tak lama setelah merebahkan tubuh, ia sudah tertidur lelap melupakan beban pikiran dan sakit di hati.

Namun, tidurnya tak berlangsung lama. Ia terbangun oleh rasa haus yang menggerogoti tenggorokannya, disertai sensasi panas yang menjalar di dada.

“Pasti kena panas dalam,” batinnya seraya bangkit menuju dapur.

Usai meneguk segelas air, matanya tertumbuk pada pintu depan rumah yang terbuka lebar. Dahinya berkerut. Ia berkeliling mencari Marini, tapi sang kakak tak ada di rumah.

“Ah, pasti Kak Marini lupa menutup pintu waktu antar Yenni ke sekolah,” pikirnya.

Saat hendak menutup pintu, ia terkejut. Di bangku panjang di depan rumah, sosok Melati duduk sendirian.

“Kok ada di sini, Kak?” tanyanya heran.

Melati menoleh sekilas. “Kakiku lelah, jadi duduk sebentar di sini. Kulihat pintu rumah terbuka, tapi tak ada orang. Pasti kau lagi tidur, kan?”

Dion mengangguk. “Sakit kepalanya bagaimana, Kak?” tanyanya, mengingat Melati sempat mengeluhkan pusing beberapa hari lalu.

“Sudah sembuh. Tapi sepertinya sekarang giliranmu yang sakit kepala karena alkohol,” balas Melati dengan nada datar.

“Aku minum sedikit tadi malam. Supaya bisa tertidur,” jelas Dion.

“Hmm!” gumam Melati. Ia menatap ke arah lain seolah tak menyukai keterangan Dion.

“Biarlah Kak. Aku anggap itu obat penahan rasa sakit hati.”

“Dion suka mabuk?” tanya Melati kemudian dengan tatapan mata tajam.

“Sebenarnya aku nggak suka kehilangan kesadaran, kehilangan kontrol. Semakin aku mencoba untuk tetap sadar dan berusaha tetap kontrol, rasa pusing dan sakit di kepala muncul. Nah rasa sakit itu yang aku inginkan.”

“Hmm!” Melati kembali bergumam tidak suka.

“Kakak pergi dulu yah. Kakiku sudah tidak lelah,” kata Melati lalu berjalan meninggalkan Dion tanpa menoleh. Dion pun kembali ke kamar karena merasa kantuk kembali menyerang.

Dion belum lama terlelap suara azan subuh membangunkannya. Dion membuka mata dan melihat jam dinding menunjukkan hampir jam 5. Dion hampir tak percaya ketika melihat di luar masih gelap.

“Aku pasti bermimpi lagi,” pikirnya lalu kembali merebahkan diri di kasur. Dia berharap bisa tertidur beberapa jam lagi sebelum pergi kuliah pagi itu.

Selama beberapa hari Dion terbantu sekali oleh alkohol. Tapi setelah seminggu—mungkin karena mulai terbiasa, sensasi pusing akibat minuman mulai berkurang.

“Mungkin harus tambah dosis atau beli minuman berkadar alkohol lebih tinggi,” pikir Dion yang sudah menghabiskan botol terakhir. Rasa pusing yang ia harapkan tak kunjung ia dapatkan. Akhirnya ia hanya merebahkan diri di kasurnya.

Seperti pada malam-malam sebelumnya, ia kembali bermimpi dan bertemu dengan Melati. Selalu pada tempat yang sama, yakni di bangku panjang di depan rumahnya. Tapi tak seperti malam-malam sebelumnya, kali itu Melati berbincang panjang dengan Dion.

“Dion, hari ini kau tidak mabuk?” tanya Melati sinis.

“Kategori mabuk itu bagaimana sih, Kak?” Dion balik bertanya karena merasa tidak pernah mabuk.

“Nggak tau. Menurut kamu bagaimana?”

“Harusnya kan orang mabuk itu mengalami penurunan kemampuan mental dan fisik. Berperilaku aneh dan bertindak di luar kendali. Apa aku begitu?”

“Tidak sih. Tapi Dion niatnya mabuk, kan?”

“Nggak. Aku cuma ingin bisa tidur nyenyak dan suka rasa pusing akibat alkohol itu. Terutama waktu pagi.”

“Apa enaknya pusing di pagi hari?”

“Setidaknya ada sesuatu untuk dihadapi, bukannya rasa kecewa, cemburu, sakit hati,” sahut Dion.

“Melo sekali kau Dion. Tampangmu saja yang seperti si Rambo.”

“Rambo juga punya hati, Kak! Sama seperti si Rinto.”

Kata-kata Dion membuat Melati tertawa. “Ada tuh alternatif selain alkohol. Dion coba aja lari pagi. Lari sampai benar-benar lelah dan kaki mu sakit. Kan malah bikin sehat.”

“Benar juga, ya. Nanti pagi aku coba deh.”

...***...

Pagi itu, Dion menuruti nasihat Melati di mimpinya.

Setelah terbangun, ia berlari menyusuri jalan di depan rumah yang sepi karena hari masih gelap.

Baru berlari lima menit, napasnya sudah kehabisan. Paru-parunya seakan ditarik keluar dari mulut setiap ia bernapas.

Dion menundukkan badan memegangi kedua paha dan coba menarik napas panjang. Tapi akibatnya ia malah terbatuk-batuk hingga mata berair.

“Wina, apa yang telah kau lakukan padaku?”

Dion bergumam pada diri sendiri tanpa sadar. Tapi mendengar keluhannya sendiri, ia kembali merasakan sakit di hati.

Segera ia berdiri tegak dan kembali berlari. Ia ingin menyingkirkan sakit hatinya dengan memberinya rasa sakit yang lain.

Entah berapa jauh Dion berlari. Ia berhenti ketika dadanya serasa akan meledak dan kepalanya pusing.

Dion kembali menunduk untuk menarik napas panjang. Tapi ketika mencoba berdiri tegak, Dion mendadak pusing dan kehilangan keseimbangan lalu tersungkur jatuh.

Ia membiarkan dirinya terbaring di trotoar itu untuk beberapa saat. Untung saja ketika itu hari masih sangat gelap, kebanyakan orang belum beraktivitas di luar rumah.

Dion tersenyum. Membiarkan setengah wajahnya menempel di atas permukaan trotar seolah tempat itu adalah kasur empuk. Rasa sakit hatinya berkurang jauh, diganti oleh sakit di sekujur tubuhnya.

Setelah beberapa saat, ia pun bangkit perlahan dan berjalan untuk pulang. Tapi baru beberapa langkah, ia sudah kembali berlari menuju rumah.

...***...

Marini kaget melihat Dion yang tiba di rumah dengan cucuran keringat di seluruh tubuh. “Habis olahraga, Dion?” tanyanya.

“Iya Kak. Tapi aku jadi puyeng begini, ya?” sahut Dion yang berdiri limbung.

“Ya iyalah. Kamu tidurnya sudah tengah malam. Bangun sebelum subuh langsung lari-lari. Untung saja nggak pingsan tadi,” sahut Marini.

“Duduklah! Kakak akan buatkan teh manis, mungkin bisa membantu,” tambahnya yang segera dituruti Dion dan duduk di kursi meja makan.

“Dion sudah dengar belum? Kampung ini sedang diteror arwah penasaran,” Marini memulai obrolan sambil membuatkan teh.

Dion menoleh, mengernyit. “Ha? Arwah penasaran gimana, Kak?”

Marini mendekat sambil menuangkan teh ke dalam gelas dan menyodorkannya ke hadapan Dion. “Beberapa orang mengaku didatangi arwah wanita. Di gang sebelah, sudah ada dua orang yang mengaku melihat sosok yang sama.”

Dion masih menatapnya tanpa minat, tapi Marini tetap melanjutkan. “Katanya, arwah itu tinggi, pakai kemeja putih dan rok hitam.”

Dion tersentak. Pakaian itu, seperti yang dikenakan Melati dalam mimpinya.

"Mukanya pucat mengerikan, separuh wajah tertutup darah yang mengalir dari ubun-ubun, dan mulutnya juga meneteskan darah terus-menerus.” Marini bergidik sendiri melanjutkan ceritanya.

Dion mencoba menenangkan pikirannya. “Ah, Melati kan nggak punya wajah begitu,” batinnya.

“Banyak yang didatangi, Kak?” tanya Dion berbasa-basi sambil menyeruput teh manis di hadapannya.

Marini mengangguk. “Iya. Dari ibu-ibu, anak-anak, sampai pemuda. Anehnya lagi, setiap kali muncul, arwah itu meninggalkan aroma bunga yang kuat.”

“Ah, mungkin ini kerjaan pemuda-pemuda pengangguran yang iseng nakut-nakutin warga. Di Gang Mangga kan mereka sering bikin ritual minta nomor togel di kebun,” Dion coba bercanda.

“Serius, Dion. Ini bukan main-main,” delik Marini.

Dion hanya mengangkat bahu, lalu kembali menyeruput teh yang sambil mendengarkan cerita Marini.

Setelah beberapa saat, teh di hadapan Dion pun mulai dingin. “Aku mau mandi, Kak,” ujar Dion undur diri lalu menghabiskan tehnya.

Namun, begitu masuk ke kamarnya, tubuhnya malah terasa semakin berat. Mulanya ia hanya berniat rebahan sejenak, malah tertidur pulas.

...***...

Keesokan harinya, Dion kembali mengulangi kegiatan lari pagi. Lebih tepatnya kegiatan menyiksa diri.

Ia sangat menikmati ketika dadanya serasa akan meledak dan menjerit meminta tambahan oksigen. Ia menikmati ketika seluruh badannya terasa sakit dan pegal.

Dion menikmati rasa sakit itu karena kelelahan fisik membuatnya sejenak melupakan kekecewaan hati.

Setelah dua minggu, tubuhnya mulai memiliki toleransi yang lebih baik terhadap rasa lelah.

Akibatnya, Dion harus berlari lebih lama dari sebelumnya agar mencapai sensasi yang ia inginkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!