Alya dan Randy telah bersahabat sejak kecil, namun perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka demi kepentingan bisnis membuat hubungan mereka menjadi rumit. Bagi Alya, Randy hanyalah sahabat, tidak lebih. Sedangkan Randy, yang telah lama menyimpan perasaan untuk Alya, memilih untuk mengalah dan meyakinkan orang tuanya membatalkan perjodohan itu demi kebahagiaan Alya.
Di tengah kebingungannya. Alya bertemu dengan seorang pria misterius di teras cafe. Dingin, keras, dan penuh teka-teki, justru menarik Alya ke dalam pesonanya. Meski tampak acuh, Alya tidak menyerah mendekatinya. Namun, dia tidak tahu bahwa laki-laki itu menyimpan masa lalu kelam yang bisa menghancurkannya.
Sementara itu, Randy yang kini menjadi CEO perusahaan keluarganya, mulai tertarik pada seorang wanita sederhana bernama Nadine, seorang cleaning service di kantornya. Nadine memiliki pesona lembut dan penuh rahasia.
Apakah mereka bisa melawan takdir, atau justru takdir yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sorekelabu [A], isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Mimpi Buruk yang Selalu Kembali
Bab 21 Mimpi Buruk yang Selalu Kembali
Malam kembali larut. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, dan kota telah tenggelam dalam sunyi yang menyayat. Di balik tirai tipis apartemen Alya, hanya cahaya redup dari lampu meja yang menyala, menemani tubuhnya yang lelah berbaring di atas ranjang. Namun meski matanya terpejam, pikirannya tidak benar-benar tenang. Seperti ada suara samar yang memanggil, menariknya kembali ke masa yang selama ini berusaha ia lupakan.
Dan saat itu terjadi—lagi. Mimpi itu datang tanpa aba-aba, menyusup perlahan seperti kabut dingin yang menusuk tulang.
Dalam mimpinya, Alya berdiri di sebuah tempat gelap. Tidak ada cahaya, tidak ada arah. Hanya kabut kelam dan suara langkah berat yang menggemakan lorong panjang. Ia mencoba berjalan, namun kakinya seperti terikat. Napasnya mulai sesak. Detak jantungnya bertalu-talu di dada, sementara suara langkah itu semakin dekat... dan dekat... dan dekat.
Lalu ia melihatnya—bayangan gelap seorang pria. Sosok tinggi besar, dengan mata kosong yang mengerikan, wajahnya samar, namun cukup familiar untuk membuat tubuh Alya gemetar. Sosok itu terus mendekat, menyeret langkah perlahan seolah menikmati ketakutannya.
Alya berlari, menembus kegelapan yang tak berujung. Tapi tak peduli secepat apa ia melangkah, bayangan itu selalu ada di belakangnya, membuntutinya, memburu. Ia menjerit, memanggil, berharap seseorang akan menyelamatkannya.
“Jangan dekati aku! Jangan sentuh aku!” teriaknya dalam mimpi, suaranya bergetar penuh ketakutan.
Namun pria itu semakin mendekat, tangannya yang dingin nyaris menyentuh pundaknya—
Dan seketika Alya terbangun. Dengan napas terengah-engah, ia terduduk di atas ranjang, keringat membasahi wajah dan lehernya. Tangannya bergetar hebat saat ia memeluk dirinya sendiri, tubuhnya seperti kehilangan kekuatan. Matanya menatap kosong ke arah dinding, masih terjebak di antara kenyataan dan mimpi buruk itu.
Lama ia duduk membisu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Tapi perasaan takut itu masih menggantung di dadanya. Luka yang selama ini ia pendam rapat, kembali menyiksa pikirannya.
Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Itu adalah potongan masa lalu yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Sosok pria dalam mimpinya bukanlah orang asing. Ia tahu siapa dia. Seseorang yang seharusnya melindunginya, tapi justru mencabik-cabik kepercayaan dan keamanan masa kecilnya.
Meski bertahun-tahun telah berlalu, bayangan itu tak pernah benar-benar hilang. Ia mungkin bisa tersenyum di depan orang lain, bisa tampil kuat dan mandiri, tapi di dalam dirinya, luka itu masih berdarah.
Alya menarik napas panjang dan menyandarkan punggung pada dinding. Ia meraih bantal dan memeluknya erat, seperti mencari sedikit rasa aman. Matanya kembali berair, tapi ia menahannya. Ia benci terlihat lemah, bahkan saat tak ada seorang pun yang melihat.
“Apa aku akan terus dihantui seperti ini?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Sesekali, ia berpikir untuk bercerita pada seseorang—pada Randy, mungkin. Atau bahkan pada Calvin, lelaki misterius yang entah bagaimana mulai mencuri perhatian hatinya. Tapi lidahnya selalu kelu. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan betapa sakitnya luka itu. Dan ia terlalu takut jika seseorang tahu... mereka akan menjauhinya.
Ia terlalu takut dianggap rusak. Terlalu takut dikasihani. Terlalu takut ditolak.
Sementara itu, di sisi lain kota, Calvin sedang duduk di balkon apartemennya. Rokok yang sejak tadi terbakar hanya tinggal abu di ujung jari. Ia menatap langit kosong, seperti memikirkan sesuatu yang berat.
Entah kenapa, pikirannya tertuju pada Alya malam ini. Ada sesuatu yang mengganggunya. Tatapan mata Alya akhir-akhir ini tak lagi seterang biasanya. Ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu. Sesuatu yang membuat Calvin merasa... risau.
Ia tahu betul bagaimana rasanya memendam luka dalam diam.
Ia tahu bagaimana rasanya tersenyum hanya untuk menutupi rasa sakit yang mengguncang dari dalam.
Dan entah mengapa, ia bisa melihat semua itu di mata Alya.
Namun ia tidak ingin menekan atau memaksa. Ia bukan pria yang pandai merangkul orang yang rapuh. Bahkan ia sendiri belum selesai berdamai dengan masa lalunya.
Tapi jika saja Alya mau berbagi sedikit luka itu… mungkin Calvin akan mencoba belajar menyembuhkan. Meski ia sendiri belum yakin apakah ia layak jadi tempat bersandar bagi siapa pun.
Sementara itu, di kamar yang sama, Alya masih belum bisa tidur. Ia duduk memandangi ponselnya. Jari-jarinya ragu untuk membuka kontak. Ia ingin menulis pesan pada seseorang—pada siapa saja. Tapi tak ada yang terasa tepat.
Ia butuh pelukan. Tapi dunia terlalu dingin.
Akhirnya ia mengetik satu pesan, namun tidak terkirim:
“Aku lelah. Aku hanya ingin seseorang berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.”
Lalu ia menghapusnya.
Tidak ada yang bisa benar-benar mengerti. Tidak ada yang bisa benar-benar melihat luka di balik senyuman Alya.
Dan mungkin, tidak akan pernah ada.
Tapi jauh di lubuk hatinya, ia berharap… setidaknya satu orang akan bertahan dan tetap tinggal, bahkan ketika seluruh dunia memilih pergi.