NovelToon NovelToon
JATUH CINTA PADA PENCULIKKU

JATUH CINTA PADA PENCULIKKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Gangster / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: julius caezar

Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.

Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 17

Keriut keriut kulit pelana kuda menyentak Jeane dari keadaan setengah kelengarnya. Memaksa diri mengangkat kepala, Jeane memandang pada sepasang mata hitam yang menatapnya dari atas kuda.

    Waktu beristirahat telah berakhir. Anggota rombongan itu naik ke atas kuda dan siap untuk bergerak. Jeane memandang pada wajah penunggang kuda bermata kelam, iblis penguasanya yang baru....

    Dengan sisa sisa tenaganya, Jeane berdiri dan terhuyung huyung sejenak. Tali pada pinggangnya telah mengendor dan Jeane menunggu tali itu akan mengencang saat kuda berjalan, menarik dirinya.

    Tapi bukan itu yang terjadi. Tangan bersarung itu memungut ujung tali yang terletak di atas kaki Jeane. dengan suatu gerak tangan yang ahli, lingkaran tali yang melilit pada pinggang Jeane terlepas dan jatuh ke tanah. Kuda itu bukannya berjalan menjauh tapi justru mendekat ke arah Jeane. Dalam keadaan belum sadar sepenuhnya, Jeane berusaha menangkap apa yang sedang terjadi.

    Dengan mencondongkan dirinya dan membungkuk di atas pelana, pria itu mengangkat Jeane seolah olah bobot tubuhnya cuma seberat anak kecil. Ketika pria itu memutar tubuh untuk mendudukkan Jeane di atas pangkuannya, Jeane teringat pada perlakuan menjijikkan orang Spanyol bernama Jerome, pembunuh Edgar. Ia tidak sanggup menghalau serangan seperti itu sekali lagi.

    Tetapi Jeane tetap berusaha. "Jangan, jangan!" kata kata itu keluar dari mulutnya yang terasa kering, sambil ia menggeliat melawan lengan pria penguasanya. tetapi perlawanannya cuma berlangsung sejenak karena sesaat kemudian Jeane lemas kembali dan menyerah dalam kurungan lengan pria itu. "Jangan," dengan tidak berdaya Jeane memohon dengan suara lirih. "Jangan! Jangan lagi."

    Dengan hanya menopangnya dengan lengannya, pria itu tidak menghiraukan permohonan Jeane dan menggulung tali lasso yang telah menyeret Jeane beberapa kilometer terakhir tadi. Setelah mengaitkan lasso itu pada pelananya, pria itu memapankan posisi Jeane sehingga bahu Jeane berada pada lekukan di bawah lengan kiri dan kepalanya bersandar pada bahu kiri yang kekar itu.

    Tangan kiri pria itu mengangkat tali kekang yang dikaitkan pada pelana, kemudian hinggap ringan pada pinggul Jeane ketika ia memerintahkan kuda itu mulai berjalan. Para penunggang kuda yang lain mengikuti dari belakang, membentuk suatu kelompok longgar. Jeane tidak perlu mengerahkan tenaga sedikitpun. Lengan dan dada pria itu melindunginya dengan rasa nyaman.

    Dengan mata yang letih, Jeane mencoba mengintip wajah pria itu. Suatu wajah yang kuat, agresif, penuh kejantanan dan seolah dicungkil dari batu karang. Kehadirannya akan mendominasi suatu kelompok orang, sekalipun ia tidak mengucapkan sepatah katapun.

    Benar benar seorang pria yang patut ditakuti. Walaupun demikian, Jeane kini dapat bersandar dengan santai pada pria itu. Bau tubuh pria itu mempengaruhi Jeane, seakan akan membius otaknya yang letih dan menurunkan dinding dinding pertahanannya. Kelopak kelopak mata Jeane turun dan mulai tertutup........

    Jeane tersadar ketika sesuatu menyentuh pipinya, Sebuah suara rendah dan serak, membisikkan kata kata yang tidak jelas dengan nada memerintah. Perlahan lahan Jeane membuka matanya, melawan kabut kabut kantuk yang menutupi penglihatannya.

    Perlahan lahan, Jeane dapat melihat jari jari tangan dalam sarung itu bergerak meninggalkan pipinya. Kesadarannya hadir sepenuhnya akan tempat dimana mereka berada. Dan bersamaan dengan itu, pria itu menarik tali kekang. Dengan otot otot yang kaku, Jeane berusaha mempertahankan keseimbangannya ketika pria itu turun dari atas kudanya dan mengulurkan tangan untuk menurunkan Jeane.

    Lutut Jeane menekuk, tetapi ke dua lengan di atas pinggangnya menahannya sehingga ke dua kakinya dapat menopang dirinya sendiri. Kemudian, pria itu melepaskannya dan beralih untuk melepaskan pelana dari atas punggung kudanya. Namun karena kepercayaan diri untuk berjalan belum pulih, Jeane berdiri saja , mematung di tempatnya sambil memandang sekelilingnya.

    Matahari senja masih menyisakan sinarnya yang keemas emasan. Rasa dingin mulai terasa mengigilkan tulang tulang. Rombongan itu agaknya siap berkemah untuk melewatkan malam. Jeane memandang area di sekelilingnya, melihat lekuk alami dinding dinding pegunungan Pyrenees bagi tempat berkemah. Rumput rumput yang tinggi tumbuh subur dan lebat di dekat sebuah sungai kecil. Seekor kuda mulai mencabuti rumput yang segar itu.

    Suara gemericik air mengalir menarik Jeane bagaikan sebuah magnet. Rasa haus terasa membakar lidah dan kerongkongannya. Dia berpaling ke arah datangnya suara air itu, sementara kakinya seolah tertanam pada tempatnya berdiri.

    Sebuah tempat air disodorkan ke bawah hidungnya. Ke dua tangannya yang terikat itu dengan serakah diulurkan pada kirbat itu hingga matanya mengenali tangan bersarung yang memegang kirbat itu.

    Tubuhnya yang kekeringan bergetar menginginkan air itu, tapi Jeane tidak mau minum dari kirbat pria itu. Sambil menurunkan kembali ke dua tangannya yang terulur, dengan sikap menantang Jeane membalas tatapan mata penuh misteri itu. Sekalipun ia menyadari bahwa ia yang akan menderita karena pembangkangan itu. Tapi kali ini dia tidak perduli.

    Alis pria itu terangkat, seolah memberi kesempatan pada Jeane untuk berpikir ulang sebelum kirbat itu ditarik kembali. Merasa haus setengah mati, Jeane memutar tubuh dan matanya beradu dengan sepasang mata biru milik pria Amerika itu. Ia melangkah ke samping, meninggalkan orang orang itu, tapi langkahnya segera dihentikan oleh suara perintah dalam bahasa Spanyol, suara yang sudah mulai dikenalnya.

    "Aku sudah terlalu letih untuk melarikan diri, Aku cuma mau duduk," Jeane menjawab dengan suara serak, hampir hampir tidak dikenalinya sendiri. "Apakah kau tidak bisa mengerti?"

    Rupanya kalimat itu dimengerti, entah karena melihat langkahnya yang gontai atau karena lemahnya suara Jeane. Tidak seorangpun mencegahnya ketika Jeane berjalan lagi.

    Rumput hijau dan tebal membentang bagikan karpet, merupakan bantalan bagi Jeane. Ia merebahkan diri di atas rumput itu, tidak mau bergerak atau berpikir lagi. Namun ia harus memusatkan pikiran pada sesuatu yang lain, tidak boleh berfokus pada kehausan. Dicobanya memandang langit dan menemukan pendaran bintang bintang. tetapi matanya menemukan sosok pria yang berjongkok di sebelahnya dan memegang sebuah kirbat tempat minum di tangannya. Jeane tersentak menahan napas melihat benda yang menyiksa itu, matanya memandang penuh gugatan dan dakwaan pada sepasang mata biru itu.

    "Buat apa kau ke sini? Pergilah!" Jeane berkata dengan suara serak.

    "Kusangka kau adalah seorang yang bertahan hidup, nyonya Jeane Beaufort," kata pria Amerika itu berolok olok. "Tapi ternyata kau malah berusaha untuk mati dengan kehausan."

    "Bukan urusanmu!" kata Jeane ketus lalu memejamkan mata tidak mau melihat tempat minum itu.

    "Tetapi sekarang menjadi urusanku. Urusan setiap orang yang ada di sini," kata pria itu. "Kau bilang bahwa ayahmu kaya raya, yang akan membayar banyak sekali untuk mendapatkan dirimu kembali. Dan kini kau mencoba bunuh diri sebelum kami dapat menagih bayaran itu, tebusan dirimu."

    Jeane mencoba tertawa. "Uang," katanya, tapi suaranya seperti tercekik.

    "Tadi sebelum perjalanan kemari, banyak hal kau katakan mengapa kami harus menjaga kau tetap hidup. Saat itu kau tidak panik dan tidak pernah kehilangan akal. Tapi mengapa sekarang kau tidak menggunakan akal sehatmu dan minum saja?" Pria itu melepaskan tutup kirbat dan Jeane bergetar mendengar suara itu. "Kau tidak benar benar mau mati kan. nyonya Beaufort?"

    Tangan pria itu memegang leher Jeane dan mengangkat kepalanya. Dia mendekatkan mulut kirbat itu ke bibir Jeane. Bau manis air itu memenuhi penciumannya.

    "Ayo, minumlah," pria itu memiringkan kirbat sehingga air menets ke dalam mulut Jeane. Jeane mengangkat ke dua tangannya agar kirbat itu lebih miring dan agar mendapatkan lebih banyak air yang menyegarkan itu. tetapi ia tidak dapat menelan lebih cepat dan menjadi sulit bernapas. "Sabar," pria Amerika itu memperingatkan dan menahan kirbat itu. "Minumlah perlahan lahan dan sedikit demi sedikit."

    Jeane memaksa diri mengikuti pentunjuk pria itu. Masih ada air yang tersisa dalam kirbat itu ketika pria itu menjauhkannya dari mulut Jeane.

    "Nanti," kata pria itu sambil merebahkan kepala Jeane di atas rumput.

    Kepala Jeane bergerak di atas bantalan rumput dan matanya memandang pria itu. Semenit lamanya dia memandang pria itu. "Siapakah namamu?" tanya Jeane pada akhirnya.

    Pria itu tampak ragu ragu. Sejenak lamanya ia diam saja, tidak menjawab, berpura pura sibuk dengan tutup kirbat. Kemudian ia berpaling dan melempar pandangan sekilas kepada anggota rombongan itu. Ketika ia menatap kembali pada Jeane, tampak kesabaran dalam matanya.

    "Mereka memanggilku Antonio," kata pria itu. Jeane menanti hingga pria itu mau menyebutkan nama lengkapnya.

"Dan itu sama saja bagiku. Nama bukanlah persoalan," lanjutnya.

    "Apakah kau berasal dari San Antonio?" tanya Jeane.

    "Bukan begitu," pria itu menyangkal.

    "Tetapi kau memang orang Amerika kan?" Jeane bersikeras.

    "Aku dilahirkan di sana," jawab pria itu. Dari nada suaranya seolah oleh mau mengatakan bahwa ia tidak akan kembali atau tidak bisa kembali ke sana.

    "Siapa..... siapakah mereka itu?" tanya Jeane. Bayangan bayangan manusia tampak memanjang di area perkemahan itu.

    "Nama nama mereka? Pekerjaan pekerjaan mereka? Barangkali mereka telah melupakannya. Tapi memang lebih baik begitu" kata pria yang menyebut dirinya Antonio itu. "Membuat segala sesuatunya lebih mudah."

    Api unggun telah dinyalakan, Cahaya api yang bergoyang goyang itu menyentuh wajah pria Spanyol bernama Jerome itu. Pria itu memandang tanpa berkedip ke arah Jeane. Dan Jeane mengingat dengan jelas, tangan tangan kotor yang meraba dirinya dan bau busuk yang keluar dari mulut pria itu.

    "Ya lebih mudah bagimu dan gerombolanmu untuk mencuri, membunuh dan memperkosa," Jeane menantang dengan kebencian yang amat sangat.

    Antonio mengikuti arah pandangan mata Jeane. Air mukanya tidak memperlihatkan apa apa ketika memandang kembali pada Jeane, lalu melemparkan kirbat itu di atas tanah di samping Jeane.

    "Kutinggalkan itu padamu," katanya. "Tetapi sebaiknya kau tunggu dulu beberapa saat sebelum  minum lagi." Dengan kalimat tersebut, Antonio berjalan pergi dan meninggalkan Jeane.

    "Antonio," Jeane memanggil kembali pria itu sambil mengangkat badannya ke atas siku kirinya, Ke dua pergelangan tangannya masih terikat. Pria itu berbalik dan menunggu Jeane melanjutkan perkataannya. Sikap pria itu cukup sopan namun dingin. "Apakah aku........" Jeane merasa kesulitan, tapi ia melanjutkannya juga. "Apakah aku akan kalian pakai sebagai hiburan malam?"

    "Katamu ayahmu tidak akan membayar sepeserpun jika dirimu diganggu." Jawaban pria itu tidak merupakan sangkalan dan juga penegasan akan hal yang amat ditakuti Jeane.

    "Memang demikianlah yang telah aku tegaskan," tukas Jeane. "Tetapi kata katamu itu tidak menjawab pertanyaanku."

    Dengan mengangkat bahu, Antonio memutar tubuhnya dan berjalan ke arah api unggun, membiarkan Jeane sendirian dengan pikiran pikiran mengerikan itu.

1
Atikah'na Anggit
kok keane...
julius: Barusan sudah diperbaiki kak. thx
julius: waduh... salah ketik. Mohon maaf ya kak? Terima kasih koreksinya, nanti segera diperbaiki 👌
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!