Di sebuah kota di negara maju, hiduplah seorang play boy stadium akhir yang menikahi empat wanita dalam kurun waktu satu tahun. Dalam hidupnya hanya ada slogan hidup empat sehat lima sempurna dan wanita.
Kebiasaan buruk ini justru mendapatkan dukungan penuh dari kedua orang tuanya dan keluar besarnya, hingga suatu saat ia berencana untuk menikahi seorang gadis barbar dari kota tetangga, kebiasaan buruknya itu pun mendapatkan banyak cekaman dari gadis tersebut.
Akankah gadis itu berhasil dinikahi oleh play boy tingkat dewa ini? Ayo.... baca kelanjutan ceritanya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askararia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Nadia menatap wanita yang duduk didepan Harry dalam beberapa waktu, meski wanita itu memakai masker dan topi, namun ia masih dapat mengenalinya sebab ia sering menonton acara TV yang dimana wanita itu sering menjadi tokoh utamanya. Nadia memilih untuk duduk tepat di kursi yang berada tepat dibelakang Harry, dengan meletakkan ponsel yang kameranya menyala itu, Nadia dapat melihat Harry dan wanita itu dari sana.
"Jadi selama ini kamu tinggal di kostan kumuh itu?" Wanita itu mulai berbicara setelah seorang pelayan datang mengantarkan dia cangkir kopi panas ke meja mereka.
"Kumuh? Cihhhh!" Harry membalas perkataan wanita itu sambil menyeringai.
"Mau pesan apa, Kak?" Tanya seorang pelayan kafe tersebut saat melihat Nadia yang duduk seorang diri, Nadia menunjuk menu diatas daftar menu dihadapannya, tanpa suara menyuruh pelayan wanita itu pergi.
Kini wanita di hadapan Harry membuka maskernya, mereka yang duduk dipojok kafe yang belum begitu ramai itu tampak sangat berhati-hati, terlihat saat ia menurunkan topinya untuk menutupi wajahnya.
"Mau sampai kapan Mama menyembunyikan identitas Mama yang sudah menikah dan memiliki anak sebelumnya? Apa karir Mama lebih penting daripada anak Mama sendiri?" Tanya Harry kemudian, dengan tangan dilipat diatas meja, Nadia menutup mulutnya setelah mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Harry.
"Mama? Artis itu Mamanya Harry? Apa aku nggak salah dengar? Atau jangan-jangan selama ini Harry berbohong atas kemauan Mamanya? Tapi untuk apa?" Batin Nadia membungkukkan setengah tubuhnya pada meja, bersamaan dengan itu seorang pelayan datang membawa pesanannya, Nadia hanya tersenyum, tak sekalipun ia mengeluarkan suaranya agar Harry tak menyadari keberadaannya.
"Bukan begitu, Harry. Saya hanya tidak ingin keberadaan mu membuat karir saya redup, saya tidak ingin hidup miskin seperti saat saya masih hidup bersama Papamu. Lagipula saya sudah punya keluarga sendiri sekarang, begitu juga dengan Papamu, jadi jangan keras kepala, pulang saja kerumah Papamu atau tinggal di apartemen yang saya belikan!"
"Keluarga sendiri? Mama pernah nggak mikirin perasaan aku? Setiap hari-hari besar atau bahkan dihari ulang tahunku, aku selalu saja sendirian. Aku juga anak Mama, sama seperti anak-anak yang Mama lahirkan dan Mama besarkan sekarang, aku juga ingin Mama menyayangi ku sama seperti Mama menyayangi mereka!"
"Saya sayang sama kamu, saya peduli sama kamu. Itu sebabnya saya memberikan uang, tempat tinggal dan menyekolahkan kamu, Harry. Lihat Papamu, apa pernah dia memberikan sepeserpun uang untukmu? Saya menyembunyikan mu bukan untuk bersenang-senang, Harry, saya melakukannya agar saya dan kamu bisa hidup bahagia!" Ucap wanita itu tanpa rasa bersalah.
Harry mulai terdiam menunduk, tak terasa air matanya mulai mengalir lalu menetes keatas meja, sementara Nadia yang duduk dibelakang Harry ikut terdiam, bahkan ia mengepal kuat kedua tangannya, ia seakan ikut terseret kedalam pembicaraan memilukan itu.
"Harry, jangan keras kepala, pindah lah ke apartemen, saya tidak ingin kamu tinggal di kostan kumuh itu lagi!" Wanita itu kembali berbicara.
"Saya lebih nyaman berada disana!" Balas Harry menyeka air matanya, perlahan ia mengangkat kembali kepalanya lalu tangannya meraih gagang gelas keramik berwarna putih itu.
Wanita dihadapannya tersebut tampak menghela nafas panjang, ia mengeluarkan sebuah kartu ATM dari dalam tasnya, mendorong benda tipis itu kehadapan Harry dengan senyuman.
"Bagaimana mungkin kostan yang harganya hanya lima ratus ribu sebulan lebih nyaman daripada apartemen seharga duabelas juga sebulan?" Tanyanya.
"Bagaimana mungkin anak yatim piatu sepertiku bisa tinggal di apartemen yang harganya duabelas juta sebulan?" Harry balik bertanya, ia menyeringai sembari mendorong kembali benda tipis itu kehadapan wanita itu.
"Setidaknya saya memberikan kamu kehidupan yang layak, Harry, tolong jangan membebani pikiran saya dengan membuat saya terlihat buruk!"
"Tapi Mama memang Ibu yang buruk kan? Setidaknya jika Mama memang ingin menyembunyikan aku dari semua orang, Mama nggak perlu menyembunyikan peran Mama didepan, Mama selalu bicara SAYA, saya, saya dan saya....." Ujar Harry sedikit menaikkan nada suaranya.
"Harry... "
"Pergilah, ambil uangmu dan teruslah bersembunyi, mulai hari ini aku bukan lagi anakmu dan kau bukan lagi Ibuku, aku anak yatim-piatu, aku anak tanpa Ayah dan Ibu. Pergilah, teruslah menyembunyikan ku sampai kau benar-benar lupa kalau kau pernah memiliki anak laki-laki sebelumnya!" Ucap Harry dengan nada suara, kemudian ia meraih tas ransel miliknya dari atas kursi, meninggalkan wanita yang merupakan ibu kandungnya tersebut didalam kafe, juga Nadia yang masih mematung di kursinya menatap belakang punggung Harry hingga berlalu melewati pintu.
Harry semakin menjauh, berdiri dipinggir jalan dan memberhentikan sebuah taxi yang kebetulan melintas, Nadia segera berdiri dari kursinya dan meninggalkan selembar uang untuk membayar kopinya juga kopi milik Harry pada salah satu pelayan restoran itu.
"Ini untuk kopi saya dan lelaki yang duduk dibelakang saya, ambil saja kembaliannya, saya sedang buru-buru!" Ucapnya dijawab anggukan oleh pelayan tersebut.
Sebelum Nadia benar-benar pergi, ia menghampiri wanita dimeja belakangnya dengan raut wajah datar, namun matanya tajam menatap wanita yang baru saja memasang kembali masker yang menutupi wajahnya tersebut.
"Kau menyebut dirimu sebagai seorang Ibu? Atau wanita? Saya rasa kau hanya seonggok sampah berupa daging!" Ucapnya tegas lalu berbalik mengejar Harry yang telah pergi lebih dulu, sementara wanita bernama Mayasari itu membulatkan kedua matanya sebelum ia benar-benar tersadar kalau seseorang baru saja mendengar semua pembicaraannya dengan Harry.
"Kurang ajar, sejak kapan dia menguping pembicaraanku dengan Harry? Ini tidak bisa dibiarkan!" Batinnya, ia menarik kartu ATM yang ditinggalkan Harry lalu membayar minumannya.
"Dua, dengan lelaki yang duduk bersama saya tadi!"
"Owhh untuk minuman itu sudah ada yang bayar!" Ujar pelayan tersebut.
"Sudah dibayar?" Tanya Mayasari dengan kening terlipat.
"Benar, seseorang baru saja membayarnya, ini masih ada kembaliannya!"
Maya terdiam sejenak.
"Potong untuk minuman saya juga!" Ucapnya, pelayan itu dan beberapa temannya saling bertukar pandang.
"Baiklah, ini sisa kembaliannya!"
"Ambil saja!" Ucap Maya lalu pergi begitu saja, ia tak menghiraukan para pelayan itu berbisik tentangnya sampai ia masuk kedalam mobil mewah miliknya, berteriak sekuat tenaganya sambil memukul setirnya beberapa kali.
***
Sepulang dari kampus Austin segera menghubungi Nadia, mulai dari mengiriminya pesan teks, panggilan telepon hingga panggilan vidio, namun tak kunjung mendapatkan jawaban dari sana, tentu saja karena saat ini Nadia sedang mengejar taxi yang ditumpangi Harry.
"Aduhhh, apa Nadia benar-benar marah? Terus.... kalau Harry? Kenapa dia tidak masuk kuliah hari ini? Astaga.... apa jangan-jangan Nadia melampiaskan kemarahannya pada Harry?" Ucap Austin yang berdialog dengan dirinya sendiri.
Tak ingin berlama-lama di kampus, Austin bergegas pergi menuju rumah Nadia, Laura yang melihat hal tersebut tentu kesal, karena bagaimana pun juga saat ini ia dan Austin telah resmi berpacaran.
"Tidak bisa, aku harus membuat Austin dan Nadia berpisah. Lagian kenapa juga Nadia harus memiliki pacar tampan dan kaya seperti Austin, hidupnya sudah sempurna, punya keluarga yang menyayanginya, jangan sampai tambah sempurna dengan memiliki pacar kaya dan tampan. Tidak bisa..... " batin Laura meremas kasar ujung bajunya.
Kembali pada Austin yang baru saja berhenti didepan rumah Nadia, ia tak sampai kemalaman sebab ia takut kedatangannya yang tiba-tiba membuat semua orang didalam rumah merasa terkejut. Ia menghubungi Nadia kembali, namun tak kunjung mendapatkan jawaban, jadi dengan terpaksa Austin meninggalkan motornya dipinggir jalan sementara ia melangkah masuk ke halaman rumah dihadapannya kini.
"Permisi!" Ucapnya.
"Siapa? Tanya Mario saat ia mendengar seseorang baru saja mengucapkan permisi dari luar.
"Iya, mencari siapa?" Tanya Mario.
"Halo, Om. Selamat siang, saya Austin, temannya Nadia, Nadia nya ada Om?" Tanya Austin tersenyum gugup.
Belum sempat menjawab pertanyaan anak lelaki itu, tiba-tiba istrinya datang dengan wajah datar.
"Teman apa teman?" Tanyanya membuat Austin tambah gugup.
"Eummm tema... "
"Nadia tidak ada, lagi kerja dia, kalau ada apa-apa bilang ke saya saja!"
"Eumm nggak usah Tante, nanti saya datang lagi... "
"Kami tidak menerima tamu laki-laki!"
Austin mendadak diam, belum selesai bicara namun wanita paruh baya dihadapannya kini sudah memotong ucapannya sebanyak dua kali, Austin mengangguk pelan sambil mengucapkan kata "Maaf, saya permisi dulu, Om, Tante!".
"MMMM"
Saat Austin kembali ke motornya, Mario dengan lembut menarik istrinya kedalam rumah sambil memperhatikan Austin yang mulai menyalakan kembali mesin motornya.
"Mama kenapa galak begitu sih? Kalau ternyata dia pacarnya Nadia, gimana?" Tanyanya pelan.
"Justru karena dia pacarnya Nadia, Pak. Anak-anak harus kita awasi dengan ketat, jangan sampai terjerumus kedalam pergaulan bebas, lagian apa pantas Nadia berpacaran dengan orang seperti itu? Mama nggak ngerti kenapa anak muda sekarang suka sekali memakai celana kulit yang ketat begitu, tidak mengerti fashion!" Kesal istrinya mengomel sambil membersihkan sayur tauge yang baru ia beli dari pasar pagi ini, sementara Mario hanya dapat menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Sekarang aku tahu darimana sifat pemarah Nadia berasal!" Ucapnya pelan namun masih bisa terdengar oleh istrinya.
"Ehh Papa lupa, Papa harus membantu Arda membersihkan taman!"