Tak kunjung memiliki keturunan, Amira terpaksa harus merelakan Suaminya menikah lagi dengan perempuan pilihan Ibu Mertuanya.
Pernikahan Amira dan Dirga yang pada awalnya berjalan harmonis dan bahagia, hancur setelah kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga mereka.
"Meski pun aku ingin mempertahankan rumah tangga kita, tapi tidak ada perempuan di Dunia ini yang rela berbagi Suami, karena pada kenyàtaan nya Surga yang aku miliki telah terenggut oleh perempuan lain"
Mohon dukungannya untuk karya receh saya, terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rini Antika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 ( Surga Yang Terenggut )
Dirga kembali ke Hotel dengan perasaan yang lebih lega setelah dia bertemu dengan Amira, apalagi Amira sudah mengijinkan dia menyentuh Regina. Namun, bukan berarti Dirga merasa senang, karena semua itu Dirga lakukan hanya untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang Suami saja.
Pada saat membuka pintu kamar, Dirga langsung disambut oleh Regina yang sudah berganti pakaian. Regina sengaja menggunakan lingerie yang seksi sehingga membuat jiwa laki-laki Dirga merasa tertantang, tapi ketika Dirga mengingat wajah teduh Amira, semua itu lenyap seketika.
"Assalamu'alaikum," ucap Dirga yang di sambut dengan senyuman serta uluran tangan oleh Regina.
"Wa'alaikumsalam," jawab Regina dengan tersenyum manis, lalu mencium punggung tangan Dirga.
"Bagaimana kondisi Mbak Amira, Mas? Apa dia baik-baik saja?" tanya Regina mencoba memecah keheningan saat Dirga dan dirinya duduk berdampingan di sisi ranjang.
Dirga menghela napas panjang saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Istri keduanya tersebut.
"Tidak akan ada perempuan yang baik-baik saja karena harus belajar menerima serta ikhlas berbagi Suami dengan perempuan lain," jawab Dirga.
"Maaf Mas, aku tidak bermaksud menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Mas Dirga dan Mbak Amira, tapi Mas tau sendiri kalau sudah dari dulu aku jatuh hati pada sosok Mas Dirga. Jadi saat Mama Meri menawarkan perjodohan, aku langsung bersedia," ucap Regina.
Dirga mengembuskan napas secara kasar. Dia tidak bisa menyalahkan Regina, apalagi Dirga juga dipaksa oleh Ibunya.
"Sudahlah Regina, kamu tidak perlu meminta maaf. Mungkin semua ini memang sudah takdir kita. Tapi aku harap kamu bisa bersahabat dengan Amira. Dia adalah perempuan baik dan luar biasa, jadi jangan pernah kamu memiliki pikiran untuk memusuhinya."
"Iya Mas, aku pasti akan berusaha menjadi Teman dan Adik untuk Mbak Amira," ucap Regina dengan tersenyum manis.
Semua yang terjadi rasanya masih seperti mimpi untuk Regina, apalagi dari dulu dia selalu mendambakan sosok Dirga Cakra dinata yang saat ini sudah resmi menjadi Suaminya.
Secara perlahan Regina memberanikan diri mendekatkan wajahnya dengan wajah Dirga. Dia selalu menganggumi wajah tampan Dirga, sampai akhirnya Regina mencium bibir lelaki yang saat ini sudah sah menjadi Suaminya.
Pada awalnya Dirga sama sekali tidak bersemangat, tapi ketika dia membayangankan jika perempuan yang berada di hadapannya adalah Amira, akhirnya dia bisa menyentuh tubuh Regina.
Lain hal nya dengan Dirga dan Regina yang tengah melewati malam pertama yang indah, di tempat lain Amira terduduk di atas lantai yang terasa lebih dingin dari biasanya.
Amira memeluk sebuah bingkai figura yang berisi foto pernikahan dirinya dengan Dirga.
"Selamat Ma, sekarang Mama Meri sudah berhasil membuat pernikahanku dengan Mas Dirga hancur. Kenapa Mama tega sekali melakukan semua ini?" gumam Amira dengan terisak.
Amira teringat dengan perkataan Ibu Mertuanya yang selalu terang-terangan mengatakan tidak menyukai dirinya, apalagi sekarang Bu Meri sudah mendapatkan Menantu idamannya.
"Sebentar lagi impian Mama memiliki Cucu akan segera terwujud, dan mungkin aku juga akan tersingkir dari kehidupan Mas Dirga," gumam Amira lagi dengan air mata yang tidak berhenti mengalir membasahi pipinya.
Air mata Amira sudah seperti air bah yang tidak terbendung. Hanya rasa sakit dan sesak yang saat ini tengah dia rasakan.
Saat ini Amira sedang menangis terluka, sedangkan di tempat lain Suaminya sedang memadu kasih dengan Istri keduanya.
Jadi seperti ini rasanya berbagi Suami? Tuhan berikanlah hamba kekuatan menjalani semua ujian hidup ini. Hamba selalu yakin jika Engkau tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba, ucap Amira dalam hati yang akhirnya hanya bisa pasrah menerima takdir hidupnya.
......................
Malam kini telah berganti pagi. Tubuh Amira terasa remuk karena hampir semalaman dia tidak dapat tidur.
"Tidak seharusnya aku memikirkan sesuatu di luar kendaliku, tapi bagaimanapun juga aku hanyalah manusia biasa," gumam Amira dengan mengembuskan napas secara kasar.
Semalam Amira terus membayangkan tentang Suaminya yang tengah memadu kasih dengan Istri keduanya. Meski pun Amira terus berusaha ikhlas, tapi yang namanya seorang Istri, mana mau dimadu dan berbagi Suami, apalagi dari awal Amira melakukan semua itu karena terpaksa.
Amira kembali menghela napas panjang untuk melonggarkan sesak yang masih menghimpit dadanya. Meski pun dia merasa tidak bersemangat untuk melakukan aktifitas apa pun, tapi pada akhirnya Amira tetap melangkahkan kaki menuju dapur untuk menyiapkan sarapan, apalagi Bu Meri pasti akan berkoar-koar apabila dia tidak memasak.
"Amira, kenapa jam segini kamu baru ke luar dari dalam kamar? Apa kamu sengaja ingin melihat kami mati kelaparan?" teriak Bu Meri yang sudah duduk di meja makan bersama kedua putrinya.
"Maaf Ma, Amira tidak enak badan."
"Halah, kamu itu banyak alasan saja. Cepat masak, jangan sampai kami mati kelaparan karena ulah kamu," ujar Bu Meri.
Meski pun di kediaman Cakra dinata memiliki lima Asisten rumah tangga, tapi Bu Meri beserta yang lainnya lebih suka memakan masakan Amira, apalagi tidak dapat dipungkiri jika apa pun yang Amira masak selalu terasa enak.
"Kak, Vania bantu ya," ucap Vania yang dijawab dengan senyuman serta anggukan kepala oleh Amira.
Vania dan Amira saat ini sudah berjibaku dengan bahan-bahan masakan, tapi Amira terlihat banyak melamun sehingga membuat Adik iparnya merasa iba.
"Kakak baik-baik saja kan? Kalau Kak Amira tidak enak badan, sebaiknya sekarang Kakak istirahat lagi saja, biar nanti Vania suruh Bibi saja yang masak."
"Kakak tidak apa-apa Vania. Mungkin Kakak hanya belum terbiasa berbagi Suami dengan perempuan lain, tapi cepat atau lambat Kakak harus belajar berbagi dan ikhlas menjalani takdir yang Tuhan gariskan," ucap Amira dengan memaksakan diri untuk tersenyum.
"Maaf ya Kak, Vania tidak bisa membantu apa-apa. Tapi Vania pasti akan selalu berdo'a semoga Kak Amira dibesarkan hatinya serta dilapangkan dadanya supaya kuat menjalani hidup yang kejam ini," ucap Vania dengan terisak, bahkan air matanya sudah terlihat menetes membasahi pipi.
"Terimakasih banyak atas do'a baiknya ya. Kakak tidak apa-apa kok," ucap Amira dengan bersikap setenang mungkin. Namun, air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata tidak dapat membohongi kondisi Amira saat ini.
Vania memeluk tubuh Amira untuk memberi dukungan serta kekuatan kepada Kakak iparnya tersebut.
"Kak, kalau Kak Amira ingin menangis, Kakak tidak perlu menahannya," ucap Vania dengan mengelus lembut punggung Kamila.
Pada akhirnya Amira menumpahkan tangisannya dalam pelukan Vania.
"Kok Kakak jadi cengeng gini ya?" ucap Amira dengan mengelap air mata yang sudah terlanjur jatuh.
"Tidak apa-apa Kak. Menangis baik untuk kesehatan mental Kakak. Siapa tau setelah menangis perasaan Kak Amira akan menjadi lebih baik," ucap Vania dengan terus mengelus lembut punggung Amira.
*
*
Bersambung