Cinta yang habis di orang lama itu, nyatanya bukan karna belum move on, tapi karna dia punya ruang tersendiri.
-anonim-
Kisah cinta pertama yang harus berakhir bukan karena tidak lagi saling mencintai.
"Aku terdiam menutup mataku, berpikir apa yang akan kukatakan. Akhhh Malika... kenapa ini begitu sulit? Tuhan tau betapa keras usahaku untuk melupakanmu, tapi sepertinya kini hanya dinding yang ada di hadapanku. Dulu ada satu titik, kita yakin pada kata selamanya, saat kamu meninggalkanku, rasanya aku menjadi seperti zombie. Aku yakin aku telah melewatinya tapi melihatmu kembali dihadapanku, kenapa aku jadi menggila seperti ini?."
Full of love,
From author 🤎
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom fien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
POV Carlo.
Tidak ada pesan balasan dari Malika, apa ia menghindariku? Apa aku akan kehilangannya lagi? Aku ini bicara apa, aku bahkan tidak memilikinya bagaimana aku bisa kehilangan sesuatu yang tidak aku miliki?
Aku masih suka mencarinya ke taman, tapi tidak pernah bertemu dengannya.
Seminggu kemudian, aku mengambil keputusan, 1 pesan lagi saja, lalu apapun hasilnya, aku akan melupakannya, tidak akan mencarinya lagi. Aku duduk diatas tempat tidurku sambil memainkan HP.
Ka, ini Carlo.... kemudian aku menghapus kata-kata itu.
Ka, apa kamu terima WA ku.... aku menghapusnya lagi.
Hai Ka apa kabar.... akhhh masa aku mengulang kata yang sama, aku menghapusnya lagi.
Aku terdiam menutup mataku, berpikir apa yang akan kukatakan. Akhhh Malika... kenapa ini begitu sulit? Tuhan tau betapa keras usahaku untuk melupakanmu, tapi sepertinya kini hanya dinding yang ada di hadapanku. Dulu ada satu titik, kita yakin pada kata selamanya, saat kamu meninggalkanku, rasanya aku menjadi seperti zombie. Aku yakin aku telah melewatinya tapi melihatmu kembali dihadapanku, kenapa aku jadi menggila seperti ini?.
"Hai Ka, apa aku mengganggumu? Apa kamu baik-baik saja?".
Akhirnya aku mengirimkan pesan itu. Apa dia baik-baik saja, dari dulu hingga saat ini, jika ada survei dalam percakapan kami maka kalimat inilah yang sering aku tanyakan kepadanya.
Aku menutup kepalaku dengan bantal, ayo tidur Carlo, jangan mengharapkan balasan, ucapku dalam hati.
Tapi aku menunggu HP ku berbunyi.
"Aku baik-baik saja Lo, terima kasih", balasnya.
Aku memandangi HP ku selama beberapa saat. Ia hanya menjawab seperti itu, tidak ada perkataannya yang menunjukkan ingin memulai percakapan denganku.
Carlo, dia bukan takdirmu, dia sudah bahagia bersama pria lain, bukankah kamu juga harus bahagia?, aku berkata pada diriku sendiri.
Oh Tuhan, tolong bantu aku, jauhkan dia, jika memang bukan aku takdirnya.
......................
POV Malika.
Semenjak kejadian terlukanya tanganku, kak Bima tidak pernah lagi marah karena alasan cemburu. Kebetulan saat ini memang tidak ada alasan untuk itu. Carlo berhenti menghubungiku sejak saat itu. Dan aku memang tidak memiliki kenalan dengan lawan jenis saat ini.
Aku memiliki aktivitas baru saat ini, akhirnya aku diterima bekerja di salah satu perusahaan tidak jauh dari apartemenku. Kantorku berjarak sekitar 30 menit jika aku menggunakan bus umum.
Papa dan mama menawarkanku untuk memiliki apartemen sendiri atau membawa mobil ke kantor, tapi aku menolaknya. Aku tidak mau tinggal sendiri, sudah cukup aku mengalaminya di masa lalu. Dan mengenai tawaran mobil, aku menolaknya dengan alasan membawa mobil hanya akan membuatku lebih lelah karena waktu yang diperlukan lebih lama daripada menggunakan kendaraan umum.
Kedamaian hubunganku dengan kak Bima kembali diuji beberapa bulan kemudian.
Menurut kak Bima, salah satu rekan kerjaku memberi perhatian lebih dari sewajarnya kepadaku, menurutnya ia menyukaiku. Bagiku sendiri pendapat kak Bima itu berlebihan.
Karena aku masih menyesuaikan diri dengan pekerjaanku, aku tidak sesabar seperti dulu menghadapi kak Bima, aku mulai merasa lelah dengan hubungan ini. Jika aku dulu mengerti karena orang itu adalah Carlo, tapi kini aku sudah tidak bisa membenarkan sikap cemburuannya itu.
Saat kami berkelahi ia tidak bisa mengendalikan emosinya. Kadang ia terlalu kencang menarikku, atau tidak sengaja membuatku terbentur sesuatu, bahkan ia pernah memaksaku berciuman dengannya. Aku selalu menutupi semua perkelahianku dengan kak Bima dari kak Aryo. Kak Aryo pernah mencurigaiku dan bertanya tanya tentang hubunganku dengan kak Bima, tapi aku hanya meyakinkannya kalau aku hanya sedang kelelahan saja.
Aku pernah mengucapkan kata putus dengan kak Bima, namun ia memohon kepadaku dan mengutarakan sejumlah alasan juga janji, hingga akhirnya aku luluh dan memaafkannya lagi. Disaat seperti itu aku kembali mengingat saat mama bersama papa kandungku dulu. Aku sedikit mengerti kenapa mama bertahan sekian lama menerima kekerasan dari papa. Sedangkan aku, apa yang membuatku berulangkali memaafkannya? Cinta? Iba? Karena terbiasa? Aku tidak tau jawabannya. Namun karena itu jugalah yang menyadarkanku. Aku sudah tidak bisa menjawab kenapa aku memaafkannya. Aku mulai menyadari, saat ini, aku sendiri meragukan cintaku padanya. Aku masih menyayanginya, tapi aku tidak bisa mentolerir emosinya yang berlebihan, aku tidak ingin masa depanku sama seperti mama. Iba, mungkin itu jawaban terdekatku saat ini. Aku ingin putus baik-baik, aku ingin ia bahagia. Tapi kini aku tau aku tidak akan bisa memberikannya kebahagiaan sesuai keinginannya. 'You can't know heaven until you know hell', lirik lagu itu seakan meyakinkanku bahwa kali ini aku harus melepaskannya.
Sabtu sore aku mengajak kak Bima untuk berbicara di area taman apartemenku. Taman ini memiliki gerbang pembatas dengan taman umum yang sering aku datangi. Karena area ini hanya untuk penghuni apartemen jadi relatif sepi, ini tempat yang cocok untukku berbicara dengan kak Bima.
"Kak, aku lelah kita terus menerus berkelahi, mungkin aku bukan orang tepat untuk kakak".
"Ini sangat mudah Malika, kamu hanya perlu tidak dekat dengan teman kantormu itu, dia itu menyukaimu Ka".
"Kalaupun ia menyukaiku, aku kan tidak pernah memberinya kesempatan lebih dari teman. Kak Bima aja yang ga bisa percaya sama aku".
"Bukan tidak percaya, cuma kamu aja yang susah dikasih tau. Aku mengerti cowok seperti apa dia itu".
"Kak kita putus aja kak".
"Apa kamu udah ga sayang sama aku Kak? Kamu lupain janji kita untuk selalu bersama? Kamu dulu bahkan dengan sukarela mengikutiku kembali ke Jakarta. Apa semua perasaan itu bisa dengan mudah kamu lupain begitu aja hanya karena cowok yang katanya teman itu?".
Aku sudah lelah menerangkan berulang kali bahwa tidak ada orang lain di dalam hubungan kami.
"Kak aku sungguh masih menyayangi kakak. Aku ingin kita putus baik-baik, masih bisa berteman, kakak masih menjadi kakakku. Tolong jangan buat ini menjadi sulit kak".
Kak Bima memelukku erat, sambil memelukku ia memberikan banyak alasan kenapa ia tidak mau putus, aku hanya diam membiarkannya meluapkan semua isi hatinya.
"Ka katakan sesuatu, aku sangat mencintaimu, aku tidak bisa kehilanganmu".
Terlihat jelas di wajahnya ia jujur dengan perkataannya, ia tulus mencintaiku. Mata kami saling bertatapan, aku mulai menangis, sejujurnya aku tidak ingin melihat wajahnya yang panik dan sedih seperti saat ini. Ia menghapus airmataku dengan tangannya, kemudian ia memegang wajahku dengan kedua tangannya, lalu memberiku kecupan di bibirku, aku menutup mataku saat ia melakukannya. Mata kami saling bertatapan lagi, kali ini ia menciumku, tetapi aku tidak membalasnya, ia berusaha membuka mulutku, menggigit bibirku lembut, namun aku tidak bergeming, dan hanya menangis dalam diam.
"Ka jangan lakukan ini padaku Ka, apa kenangan kita tidak ada artinya lagi?".
"Berarti kak, karena kakak berarti bagiku, aku tidak ingin membenci kakak, jadi lepaskan aku. Setelah semua ini mereda, aku akan kembali menjadi teman dan adik kakak".
"Tidak, aku tidak mau putus, apapun alasannya".
"Jangan membuatku membenci kakak".
"Kamu membenciku Ka?".
"Tidak, setidaknya tidak saat ini".
Kami sama-sama terdiam, lalu aku berkata,
"Sepertinya sudah cukup kak. Aku naik ke atas dulu, maafkan aku kak".
Kali ini ia melepaskan tanganku, akupun bangkit berdiri dan berjalan menjauh menuju apartemen.