Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 21
Kejadian di kantin tadi membuat Pandu terus melamun, ia sempat bertanya apa maksud ucapan Alena, tapi Arjuna dan kedua gadis itu seolah menutupi sesuatu dari dirinya.
“Heh, kamu ngerasa nggak kalau Hyung, burung dan si indigo menutupi sesuatu dari kita?” bisik Haikal, mengabaikan seorang guru wanita yang sedang menjelaskan materi di depan kelas.
“Aku juga ngerasa gitu,” jawab Pandu melirik Arjuna yang duduk dua bangku di depannya, lelaki pintar yang tak memiliki saingan lagi itu fokus mendengarkan pelajaran.
“Kita harus cari tahu Bro, kalau dipikir-pikir juga waktu itu Hyung kemana ya kok nggak ikut kita jemput Nando, ya kan?”
PLETAK…
Sebuah kapur melayang menghantam pelipis Haikal, bu Anita menegurnya dan seisi kelas menertawakannya.
“Mau ngerumpi di luar Haikal, Pandu?” tanya guru wanita itu.
Pandu hanya diam, sementara Haikal mengusap pelipisnya dan berkata, “tidak Bu, maaf.”
Bu Anita geleng-geleng kepala menyaksikan anak didiknya ini, meski mereka berdua masuk dalam kategori anak berprestasi karena termasuk dari peringkat 10 besar, tapi mengabaikan guru tetap tidak dibenarkan. Adab dan sopan santun adalah yang utama, di atas ilmu itu sendiri.
Kedua siswa itu kembali fokus dengan pelajaran, masing-masing menyimpan banyak pertanyaan yang akan mereka bahas nanti sepulang sekolah.
Sepulang sekolah, mereka berdua sengaja menahan Arjuna di dalam kelas, rencana tak akan membiarkan lelaki itu pergi sebelum menceritakan segalanya pada mereka. “Katakan Hyung, jangan main rahasia-rahasiaan sama kita!”
“Benar yang dikatakan Haikal, Bro. Kalau nanti ada apa-apa denganmu kami bisa membantu, kalau kamu diem gini bagaimana kami bisa membantumu nanti,” pungkas Pandu.
Arjuna menghela nafas, sepertinya ia memang tak bisa menyembunyikan sesuatu dari dua sahabatnya itu. Lagi pula ia harus segera pergi ke markas untuk latihan bersama kelompok beladiri sekolah, jika tak segera pergi bisa-bisa kena omel pak Sandy, pelatihnya selama ini.
“Baiklah, dengarkan ceritaku,” katanya mulai menceritakan awal mula Fisa dan Nuria yang meminta tolong padanya untuk membantu masalah mendiang Hana kala itu, yang membuat Arjuna rela pergi ke rumah Alena untuk mengenyahkan bukti perbuatan buruk Hana dan Nando yang tak sengaja dimiliki Alena dan digunakan gadis itu untuk memeras Hana.
Haikal menutup mulut, gayanya mirip cewek yang terkejut mendengar gosip baru. Sementara Pandu hanya diam menyimak, ia tak menyangka hubungan Nando dan Hana sudah sejauh itu, pantas saja mereka berdua benar-benar tak terpisahkan, bahkan saat kematian Hana kala itu Nando menjadi gila, hampir menabrakkan dirinya di jalan raya.
“Jadi begitu,” ucap Arjuna menutup cerita.
“Jadi, Hyung, kamu ambil flashdisk itu? tolong jangan bilang iya, Hyung. Itu keputusan bodoh,” kata Haikal.
“Tentu saja tidak.”
Pandu melirik bangku Alena yang telah kosong, mengingat sifat gadis itu selama ini kecil kemungkinan putri donatur sekolah itu akan melepaskannya.
“Bro, situasimu berbahaya, Alena tak akan melepaskanmu. Tapi, yang buatku bingung kenapa dia bicara seolah kamu mengambil barangnya padahal nggak bawa flashdisk itu?”
Arjuna menunduk lesu, “aku menghapus semua file di flashdisknya, aku biarkan menjadi file kosong agar dia tak mencurigaiku, tapi sebenarnya itu hanya masalah waktu.”
“Astaga, jadi sekarang dia sudah sadar rupanya. Lagian kenapa dihapus semuanya sih?”
Arjuna menghembuskan satu nafas kuat, membasahi bibirnya yang kering, tatapan mata tak fokus sementara tangan menyugar rambutnya yang mulai panjang. “Di flashdisk itu banyak sekali file, sedangkan saat itu aku hanya punya waktu terbatas sebelum Alena memergokiku. Jadi, aku tak punya pilihan.”
Haikal yang dari tadi hanya diam mendekatkan wajahnya pada Arjuna, lelaki itu bertanya dengan suara tenangnya yang lirih, “Hyung, itu bukan sifatmu. File-file masih ada kan?” tebaknya.
Arjuna bergantian menatap kedua temannya itu, ia tahu memang tak bisa menyembunyikan apapun dari mereka, bahkan Fisa yang berteman dengannya sejak kecil saja bisa dengan mudah dikelabui, tapi dua temannya ini big no.
Sementara itu di tempat berbeda, Fisa dan Nuria sedang asyik memilih liptint baru di sebuah pusat perbelanjaan di kota. Sejak berani menatap cermin dan belajar merias wajah dengan Nuria, gadis itu seperti kecanduan membeli peralatan make up dan skincare baru, beruntung uang saku dari ayah dan ibunya selama ini cukup besar.
“Ini bagus nggak sih warnanya di aku?” tanya Fisa.
Nuria mengetuk-ngetuk ujung telunjuk di dagu, melihat dengan seksama penampilan Fisa dengan polesan lip tint yang baru dicobanya. “Kayaknya kurang cerah deh untuk kulitmu, Fis coba yang ini.” Menyerahkan merk lain.
Fisa menghapus warna di bibir, dan mulai memoles lip tint lain rekomendasi temannya itu. Menghadap cermin dan mengaplikasikan produk yang sedang viral di tangannya itu.
“Fis, kalau dilihat-lihat makin enjoy aja nih di depan cermin,” ledek Nuria, Fisa tersenyum malu. Ia tak menjawab ledekan itu karena ucapan Nuria memang benar adanya, ketakutannya selama ini pada cermin benar-benar tak mendasar. Faktanya tak selalunya Fisa melihat tanda kematian seseorang lewat cermin yang ditatapnya.
“Bagus gitu Fis, lagi pula nggak semua orang di sekelilingmu akan meninggal. Walaupun nggak sengaja lihat, ya sudahlah. Semua orang juga bakal mati kan? termasuk kita nanti.”
Fisa mengangguk, ucapan Nuria benar adanya. Ia mendadak merasa sangat beruntung dipertemukan dengan gadis sebaik Nuria dan Hana, meski satu temannya itu kini sudah tiada.
“Nuria, makasih banyak ya,” ucapnya tulus, memeluk tubuh kecil Nuria dan keduanya pun larut dalam perasaan haru bersama.
***
Meski Fisa telah berdamai dengan keadaan, ia tak serta merta memperlihatkannya di depan ibu dan ayahnya. Tidak ada alasan khusus sebenarnya, hanya saja Fisa merasa malu dan belum siap jika ibu dan ayah melihatnya dengan riasan di wajah.
Seperti pagi ini, seperti biasa sang ibu akan mengomel di meja makan, alasannya sudah jelas karena putrinya tak kunjung berubah padahal sudah remaja. Fisa memilih abai, meraih roti dan meminum segelas susu lantas berangkat sekolah. Ia mengabaikan ibunya yang terus mengomel dan mengadukannya pada sang ayah yang hanya diam seperti hari-hari yang lalu.
“Maaf Bu, Fisa hanya belum siap,” ucapnya lirih. Fisa melirik kanan kiri, sepertinya ia datang terlalu pagi, sekolah masih sangat sepi hanya ada satpam yang berjaga di pos. Satpam itu menyapanya dan Fisa mengangguk tersenyum, setelah itu ia memutuskan pergi ke mushola untuk merias wajah di sana.
Sepagi ini di mushola pasti tak ada orang, fisa bisa merias wajah di cermin besar yang tertempel di serambi. Fisa berlari-lari kecil, sebelum masuk mushola ia sempatkan ke toilet untuk mencuci muka. Di sana ia berjumpa hantu leher panjang yang hampir saja menakutinya, tapi setelah melihat siapa yang datang hantu itu berbalik badan dan lenyap di dinding.
Fisa mendengus karena hal ini, hantu leher panjang tak jera juga, masih hobi menakut-nakuti siswa yang kebetulan pergi ke toilet itu. Setelah sebelumnya pindah dari toilet lantai dua dimana hantu itu dihajar habis-habisan oleh Fisa.
Setelah mencuci muka, Fisa bergegas menuju mushola. Mengeringkan kulit wajah menggunakan tisu dan mulai mengoleskan moisturizer dan sunscreen di wajahnya, lantas memakai maskara lalu lip tint di bibir. Hanya itu yang dilakukannya saat ini, karena Fisa ingin tetap terlihat natural.
Untuk sentuhan terakhir Fisa merapikan rambut dan mengenakan parfum, saat itulah ia melihat seorang guru lelaki berjalan di belakangnya, pantulan gambar sang guru yang melangkah menuju toilet lelaki di sisi kanan mushola membuat Fisa terkejut. Pasalnya gadis itu menemukan tanda kematian di kaki guru itu, hanya saja ada yang aneh.
Cahaya di kaki guru lelaki itu berwarna ungu, Fisa baru pertama kali menyaksikan hal seperti ini, ia tak tahu arti dari cahaya itu. “Tapi, siapa sebenarnya itu?” ucap Fisa berlari-lari kecil mengikuti lelaki berseragam guru yang kini sudah masuk ke dalam toilet.
...
rekomendasi banget