Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20 teman
Saat Eleanor kembali ke kediaman Duke, ia mendapati Cedric sudah pulang. Pria itu langsung menghampirinya dengan ekspresi serius.
"Kau dari mana?" tanyanya sambil memperhatikan Eleanor dari ujung kepala hingga kaki, seolah memastikan keadaannya baik-baik saja.
Eleanor melepas sarung tangannya dengan tenang sebelum menjawab, "Aku pergi berkuda."
Cedric mengerutkan keningnya. "Dengan siapa?"
"Sendiri."
Tatapan Cedric semakin tajam. "Kenapa kau pergi berkuda sendirian ke hutan? Kenapa tidak meminta seseorang menemanimu?"
Eleanor mendesah pelan, lalu menatap Cedric dengan tenang. "Aku bisa mengurus diriku sendiri, Cedric. Aku bukan anak kecil."
Cedric menatapnya beberapa saat sebelum menghela napas. "Aku tahu kau bukan anak kecil, Eleanor. Tapi tetap saja, berkuda sendirian di hutan itu berbahaya."
Nada suaranya terdengar khawatir, bukan sekadar menegur. Eleanor terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis.
"Aku akan berhati-hati," ucapnya akhirnya.
Cedric menatapnya seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi ia memilih untuk tidak melanjutkan. Namun, dari ekspresinya, jelas bahwa ia masih tidak menyukai ide Eleanor pergi sendirian ke hutan.
Cedric masih menatap Eleanor dengan ekspresi tak puas, tetapi ia tidak memaksakan perdebatan lebih lanjut. Ia hanya menghela napas pelan sebelum berkata, “Lain kali, setidaknya bawa seseorang bersamamu. Aku tidak melarangmu berkuda, Eleanor, tapi aku ingin kau aman.”
Eleanor menahan keinginan untuk membalas dengan sarkasme. Ia tahu Cedric tidak bermaksud mengatur, tetapi tetap saja, perhatian seperti ini terasa asing baginya.
"Baiklah," jawabnya singkat, memilih untuk tidak memperpanjang diskusi.
Cedric masih berdiri di tempatnya saat Eleanor melewatinya, berjalan menuju kamarnya. Namun, baru beberapa langkah, Cedric kembali berbicara.
“Tunggu.”
Eleanor menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Apa?" tanyanya.
Cedric memperhatikannya dengan saksama, lalu mengulurkan tangannya. "Tanganmu."
Eleanor mengerutkan keningnya sebelum menunduk dan menyadari ada goresan kecil di telapak tangannya, mungkin karena gesekan dengan tali busur atau ranting di hutan. Ia sebenarnya tidak merasa sakit, tetapi Cedric tampak tidak menyukai pemandangan itu.
“Hanya luka kecil,” ujar Eleanor ringan. “Tidak perlu dibesar-besarkan.”
Cedric tidak menjawab, tetapi ia meraih tangannya tanpa izin, menyentuhnya dengan hati-hati. Jemarinya terasa sedikit kasar, tetapi hangat. Eleanor terdiam saat pria itu mengamati lukanya, kemudian berkata, "Tetap saja, biarkan aku mengobatinya."
Sebelum Eleanor bisa menolak, Cedric sudah menariknya kembali ke dalam kediaman mereka, membawanya ke ruang duduk di mana seorang pelayan segera datang dengan kotak obat.
Eleanor menghela napas, tetapi ia membiarkan Cedric membersihkan lukanya. Saat pria itu dengan serius mengoleskan obat pada goresan di tangannya, Eleanor diam-diam memperhatikan wajahnya.
Ia pernah melihat ekspresi ini sebelumnya—tenang, fokus, dan sedikit... lembut.
Perasaan aneh menggelitik dadanya.
Namun, ia segera menepisnya. Ini hanyalah perhatian biasa, tidak lebih.
"Sudah," kata Cedric akhirnya, melepas pegangan tangannya setelah selesai membalut luka kecil itu.
Eleanor menarik tangannya kembali. “Terima kasih.”
Cedric mengangguk, tetapi sebelum Eleanor bisa pergi, pria itu kembali berkata, "Jika ada yang mengganggumu di luar sana, Eleanor, aku ingin kau memberitahuku."
Eleanor terdiam sesaat sebelum tersenyum tipis. “Kenapa? Kau akan melindungiku?”
Cedric menatapnya, dan untuk beberapa detik, keheningan menyelimuti mereka.
“Tentu saja.”
Saat Cedric selesai membalut tangan Eleanor, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu.
"Cedric! Aku datang mencarimu, dan ternyata kau di sini! Apa kau sengaja menghindar dariku, hah?"
Suara riang seorang pria bergema di ruangan, membuat Eleanor menoleh. Seorang pria bertubuh tegap dengan rambut cokelat gelap yang sedikit berantakan berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar di wajahnya. Ia melangkah masuk tanpa ragu, seolah tempat ini adalah rumahnya sendiri.
Cedric menghela napas panjang, tampak sama sekali tidak terkejut dengan kedatangannya. “Luthair...” gumamnya dengan nada pasrah.
Pria bernama Luthair itu berjalan dengan langkah santai, lalu berhenti begitu menyadari keberadaan Eleanor. Matanya membelalak seketika.
“Oh? Siapa ini?” Ia menyipitkan mata, lalu menoleh ke arah Cedric dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
Eleanor tidak mengatakan apa pun, hanya memandang pria itu dengan waspada. Luthair kemudian menatap Cedric dengan ekspresi geli sebelum tiba-tiba menepuk pundaknya dengan keras.
“Tunggu, jangan bilang... dia istrimu?” Luthair terkekeh, matanya berkilat penuh godaan. “Aku tidak menyangka ternyata kau suka perempuan, sobat. Kukira kau akan menghabiskan hidupmu hanya dengan pedang dan dokumen kerajaan.”
Eleanor mengangkat alis, sedikit bingung dengan nada bercanda pria itu, sementara Cedric hanya menghela napas panjang, jelas terbiasa dengan tingkah temannya yang satu ini.
“Luthair, jangan buat keributan.” Cedric menatapnya tajam, tetapi pria itu hanya terkekeh tanpa rasa bersalah.
Eleanor akhirnya berbicara, “Kau teman Cedric?”
Luthair menoleh ke arahnya dengan ekspresi berbinar. “Oh? Kau tertarik padaku, Nona? Aku mengerti, aku memang cukup menarik.”
Eleanor melipat tangannya di depan dada, menatap pria itu dengan tatapan datar. "Aku hanya ingin tahu siapa orang yang berani mengusik ketenangan suamiku."
Cedric memijat pelipisnya, sementara Luthair tertawa keras. “Istrimu punya nyali juga, Cedric! Aku menyukainya.”
Eleanor mengerutkan kening, tetapi Luthair langsung menjelaskan, "Ya, aku teman lamanya. Aku datang untuk menemuinya, tetapi tidak kusangka aku juga akan bertemu dengan istrinya.” Ia tersenyum lebar. “Eleanor, kan?”
Eleanor mengangguk tanpa ekspresi.
Luthair menatap Cedric lagi, kali ini dengan seringai jahil. “Kenapa kau tidak pernah memberitahuku kalau kau punya istri secantik ini? Apa kau takut aku akan merebutnya?”
Cedric menatapnya tanpa emosi. “Kau terlalu banyak bicara, Luthair.”
Luthair hanya tertawa lagi, sementara Eleanor menghela napas, menyadari bahwa pria ini akan membawa banyak energi baru ke dalam kehidupannya yang sudah cukup rumit.
Luthair tiba-tiba menunjuk lengannya yang masih diperban dengan ekspresi dramatis. "Oh ya, istrimu juga melukaiku, Cedric! Dia memanahku!"
Eleanor mendesah pelan, melipat tangannya di depan dada. "Itu tidak sengaja. Dan bukankah aku sudah meminta maaf kepadamu?"
Cedric yang sejak tadi diam, akhirnya menatap mereka berdua dengan alis berkerut. "Kenapa kau tidak memberitahuku, Eleanor?"
Eleanor mengangkat bahu. "Itu hanya goresan kecil. Aku juga sudah mengobatinya, tidak perlu dibesar-besarkan."
Namun, Luthair justru tertawa sambil menepuk dadanya dengan berlebihan. "Tetap saja! Sebagai seorang suami, kau harus bertanggung jawab atas luka yang disebabkan istrimu, Cedric."
Cedric menatapnya datar, lalu mengalihkan pandangannya pada Eleanor yang tampak enggan menanggapi gurauan Luthair. "Kau benar-benar memanahnya?"
Eleanor mendesah. "Aku sedang berlatih memanah. Dia kebetulan lewat saat aku melepaskan anak panah terakhir."
Luthair mengangkat tangan dengan ekspresi puas. "Lihat? Bahkan dia mengakuinya! Aku korban di sini!"
Cedric menghela napas panjang, menyadari betapa merepotkannya dua orang ini.
Cedric mengusap pelipisnya, merasa sedikit pusing dengan tingkah Luthair yang seperti anak kecil. Sementara itu, Eleanor hanya menatap pria itu dengan ekspresi malas.
"Kalau kau masih bisa bercanda seperti ini, sepertinya lukamu memang tidak serius," kata Cedric sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Luthair tersenyum lebar. "Tentu saja! Aku ini kuat! Tapi tetap saja, Eleanor, kau harus bertanggung jawab."
Eleanor mendesah panjang. "Apa yang kau inginkan? Aku sudah meminta maaf."
Luthair menatapnya penuh pertimbangan, lalu tiba-tiba menjentikkan jarinya. "Bagaimana kalau kau mentraktirku makan malam? Aku ingin mencoba masakan koki di rumah Duke."
Cedric menatapnya tajam. "Jangan manfaatkan situasi, Luthair."
Luthair hanya tertawa santai. "Ayolah, Cedric, aku tamu kehormatanmu, kan?"
Eleanor menggeleng pelan, lalu bangkit dari duduknya. "Baiklah, kau boleh makan di sini. Tapi jangan terlalu banyak bicara saat makan."
Luthair menaruh tangan di dadanya, berpura-pura tersinggung. "Oh nona Eleanor, kau benar-benar tega. Aku ini korban!"
Cedric hanya bisa menghela napas, sementara Eleanor sudah berjalan pergi tanpa memedulikan Luthair yang masih bersikap dramatis.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor