sinopsis:
Nama Kania Abygail tiba tiba saja terdaftar sebagai peserta Olimpiade Sains Nasional.
Awalnya Kania mensyukuri itu karna Liam Sangkara, mentari paginya itu juga tergabung dalam Olimpiade itu. Setidaknya, kini Kania bisa menikmati senyuman Liam dari dekat.
Namun saat setiap kejanggalan Olimpiade ini mulai terkuak, Kania sadar, fisika bukan satu - satunya pelajaran yang ia dapatkan di ruang belajarnya. Akan kah Kania mampu melewati masa karantina pra - OSN fisikanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zuy Shimizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#Chapter 12: Nuraga Yang Berkawan Acuh
"Pada akhirnya, penyesalan paling baik bukanlah berkata 'seandainya saja', tapi terus melangkah dan memperbaiki diri."
###
MALAM yang belum terlalu larut ini dijadikan kesempatan untuk mengerjakan PR oleh Kania dan Renatta. Kedua gadis yang tergabung dalam tim fisika itu membagi soal menjadi dua dan mengerjakan masing-masing bagian.
"Kak, ini implus relatif yang nomor empat gimana?" tanya Kania.
"Inget dulu, implus di titik A harus nol." jawab Renatta sembari menjelaskan di atas buku catatan Kania. "Terus baru cari implus relatif titik C dengan A, terus subtitus-"
Ceklek
"Gaes,"
Kedua gadis itu menoleh ke arah pintu. Keduanya mendapati Levia yang langsung masuk dengan tatapan begitu campur aduk. Gadis itu pun langsung duduk di atas ranjang, dan membuat Kania serta Renattta harus memutar kursi mereka.
"Kenapa, Via?" tanya Kania.
"Evan.... satu kelompok sama kalian, kan? Ada apa dia?" tanya Levia khawatir.
"Kenapa emang?" sahut Renatta menyambar.
"Gak tau ya, abis aku ngembaliin payung, aku kan lewat ruang tengah. Dan dia keliatan kayak down banget gitu. Bahkan sampe mentor kalian tadi dateng dan ngobrol sempat ngobrol serius gitu sama dia."
Glup
Kania meneguk ludah beriringan dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Tidak, ia harap ucapannya tidak menyakiti pemuda itu. Evan memang terlihat tegar, tapi hati manusia tidak pernah ada yang tahu.
Kania berharap bukan ia. Bukan ia alasannya. Meski terdengar jahat, namun ia harap ada masalah lain yang membuat Evan jadi seperti itu.
"Oh, mungkin gara-gara headline berita hari ini kali." sahut Renatta santai.
"Headline? Ada apa emang?"
Renatta mengangkat dua bahunya. Namun sejurus kemudian ia mengambil ponselnya dan membuka sebuah aplikasi. Gadis itu pun menyerahkan benda pipih itu pada kedua temannya. "Liat trending X hari ini."
Levia menerima ponsel Renatta dan segera mengarahkan jarinya sesuai instruksi Renatta. Dan sedetik kemudian, Levia langsung membulatkan matanya. Sedangkan Kania reflek menutup mulutnya yang menganga lebar seolah tak percaya.
"Pusaran korupsi... Oliver Hayes?" Levia mengerutkan dahinya lalu menatap Renatta yang telah memunggunginya. "S-siapa, Kak? Nama belakang Evan juga Hayes, kan?"
"Ya bokapnya. Siapa lagi emang?" jawab Renatta santai. "Evan nggak bakal se-down itu kalo misal itu pamannya atau anggota keluarganya yang lain. Ya bisa dibayangin sendiri lah, kalo lo ada di posisinya Evan, kalo itu bokap lo, gimana?"
Baik Kania maupun Levia terbungkam. Tak perlu dijelaskan lebih lanjut, setiap anak pasti bisa merasakan tekanan batin yang berat bila ada diposisi Evan kini.
Dan sekarang Kania un makin dibuat bersalah olehnya. Mungkin bila ia tidak sediskriminatif saat itu, Evan masih bisa menumpahkan segala kesedihannya. Tak perlu ada yang ditutupi, semua dipikul bersama. Mereka ini rekan tim.
"Ini yang bikin Evan makin nggak suka dunia politik. Dari awal dia udah tau gimana caranya bokapnya itu bisa masuk dunia politik, jadi dia nggak mau. Dan sekarang juga bokapnya maksa dia nerusin dan jadi politikus kek bokapnya itu." tutur Renatta sendu.
Kania terdiam saat itu juga. Inikah arti tatapan sendu Evan? Sebagai anak, bukan tidak mungkin Evan sudah mengetahui kelakuan ayahnya itu jauh sebelum media mempublikasikan.
"Kakak... masih peduli sama dia?" tanya Kania lirih.
Renatta terdiam cukup lama. Diam-diam, dibalik punggung yang nampak tenang, setetes air mata jatuh dan menembus kertas tipis buku tulisnya. Namun Renatta langsung mengusapnya dengan sigap. Lalu menghela nafasnya panjang.
"Kalo lo ngeliat sisi iblisnya Evan, berarti dia bukan Evan. Dia boneka keluarganya. Gue kenal Evan, gue percaya, di luar semua dosa yang dilakuin bokapnya, Evan tetap anak baik. Dan gue, gue tetap peduli sama dia."
--- Olimpiaders ---
Bila seseorang membuat susunan siswa paling overthinking dalam segala hal dari SMAN 1 Isekai, maka Kania mungkin menempati urutan 3 besar.
Seperti sekarang ini, gadis itu tidak bisa tidur. Malam kian larut, PRnya sudah usai, namun ada rasa tidak tenang. Baginya, Evan adalah kawan tim yang sudah termasuk orang terdekatnya. Karena itu mustahil bila Kania tidak khawatir.
Baru seminggu satu kamar dengan Kania, Renatta sepertinya sudah hapal gadis itu. Dari gerakan yang dibuat Kania terus menerus, Renatta memutuskan untuk menghampiri Kania dan merebahkan diri di sampingnya secara perlahan agar tidak menganggu yang lain.
"Nggak bisa tidur?" tanya Renatta pelan.
Kania mengangguk.
Renatta pun mengehela nafas panjang sembari mengusap lengan Kania seperti seorang kakak yang sedang menenangkan adiknya. "You're too overthinking, dear." ujar Renatta. "Mau cari angin sebentar di balkon?"
Kania terdiam cukup lama, sebelum akhirnya mengangguk dan bangkit.
"Aku teme"
"Nggak usah, Kak." potong Kania. "Aku cuma kebawah bentar. Nanti cuci muka atau cuci tangan, terus balik lagi, kok."
Renatta terdiam sejenak. "Yakin?" tanyanya khawatir. "Nggak kejauhan?"
Kania menggeleng. "Bentar doang, kok."
Renatta tersenyum tipis. "Ya udah, hati-hati. Buruan balik, kamu masih harus istirahat."
Kania mengangguk. "Iya, Kak."
✩₊̣̇. To Be Continue