dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dingin mu adalah candu bagiku
Di Kantor Polisi
Alya melangkah cepat memasuki kantor polisi, tatapan matanya tajam, meskipun ada ketenangan yang dipaksakan dalam gerakannya. Ia langsung menuju meja petugas dan menyapa dengan sopan.
"Assalamu'alaikum, maaf mau tanya. Bapak-bapak yang baru saja ditangkap atas kasus pencopetan di festival karnaval tadi, bisa saya temui? Saya hanya butuh waktu sebentar," ujarnya dengan nada tegas namun sopan.
Petugas yang mendengar langsung menegakkan badan. "Waalaikumsalam, Mbak. Maaf, kami tidak bisa memberikan izin. Ini sudah menjadi aturan di sini."
Alya menahan napas sejenak, mencoba mengendalikan emosi.
"Pak, saya mohon. Saya hanya ingin tahu di mana anak-anaknya sekarang. Anak-anak itu tidak bersalah, dan keluarga punya hak tahu kondisinya. Lagipula, saya ini korban dari pencopetan tersebut," ujarnya, mencoba menjelaskan dengan nada lebih persuasif.
Namun, petugas tetap bergeming. "Maaf, Mbak. Selain untuk urusan pembebasan atau penjaminan, kami tidak menerima permintaan semacam ini."
Alya menatap petugas itu dalam-dalam, kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam. "Pak, Anda punya hati nurani, kan? Anak si bapak itu sedang sakit parah, dan sekarang mereka tinggal di trotoar entah di mana. Kalau Anda punya anak sendiri, apa Anda akan tega membiarkan mereka seperti itu?" katanya dengan suara yang bergetar penuh emosi.
Petugas itu tampak goyah. Wajahnya berubah gugup. "Baiklah, ikut saya," katanya akhirnya dengan nada pasrah.
Alya berjalan di belakangnya hingga tiba di ruang bertamu.
Di sana, seorang pria tua dengan wajah lelah menatapnya penuh harap. Saat melihat Alya, pria itu langsung menangis. "Neng, tolong... Anak saya sakit. Saya nggak tahu harus bagaimana lagi. Tolong dia, Neng."
Alya berdiri di hadapan pria itu dengan ekspresi datar, meski dalam hatinya ada rasa iba yang mendalam.
"Bapak, tenang dulu. Saya akan ke tempat anak Bapak. Tapi, di mana tepatnya mereka sekarang?" tanyanya tegas.
Pria itu buru-buru menyebutkan alamat trotoar tempat anak-anaknya tinggal. Alya mengangguk singkat, lalu berpamitan.
Namun, saat Alya baru saja meninggalkan kantor polisi, Gus Afnan dan Agam tiba, tampak khawatir.
"Nan, kamu yakin Alya ke sini? Jangan-jangan kamu salah lihat," kata Agam skeptis.
"Nggak mungkin salah, Gam. Aku kenal Alya. Dia pasti ada di sini tadi," jawab Gus Afnan dengan nada yakin.
Mereka masuk ke dalam dan bertanya pada petugas. "Pak, maaf, tadi ada perempuan muda pakai jubah hitam datang ke sini? Umurnya kira-kira seperti kami," tanya Gus Afnan.
Petugas itu mengangguk. "Iya, tadi ada. Cantik sekali, tapi tatapannya tajam sampai bikin saya merinding," jawabnya jujur.
"Itu pasti dia!" seru Agam dengan semangat. "Dia ke mana sekarang, Pak?"
Petugas itu menunjuk ke arah luar. "Baru saja pergi, mungkin menuju alamat yang diberikan oleh tersangka tadi."
"boleh saya tau, dimana alamat nya pak? " tanya afnan kepada petugas itu.
lalu petugas itu pun menjawabnya, menjelaskan detail lokasinya.
Mendengar itu, Gus Afnan langsung melangkah cepat ke luar kantor, diikuti Agam. Dalam hati, Afnan hanya bisa berdoa agar Alya tidak melakukan sesuatu yang terlalu berisiko. "Alya, kenapa kamu selalu nekad?" gumamnya lirih.
...----------------...
Di Trotoar Malam Itu
Alya menatap jalan yang sepi dengan motor yang terhenti di tepi trotoar.
Pikirannya berkecamuk, dan ia memanjatkan doa dalam hati. "Ya Allah, lindungi anak kecil ini. Betapa berat nasibnya, tidur di atas kardus, tanpa kehangatan yang layak. Ampuni hamba-Mu yang sering lupa bersyukur."
Setelah mencari tempat yang disebutkan, dari kejauhan Alya melihat mereka. Seorang anak kecil, tubuhnya dibalut kain yang sudah sobek, terbaring lemah.
Kakaknya duduk di samping, berusaha menghangatkan tubuh mungil adiknya. Alya merasa dadanya sesak, tapi ia tetap memasang wajah datar, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk.
Dengan langkah mantap, Alya mendekati mereka. Tatapan dinginnya membuat si kakak waspada.
"Kak, kakak mau apa? Jangan dekat-dekat adik saya!" seru anak perempuan itu, suaranya terdengar gemetar.
Alya berhenti sejenak, lalu tersenyum kecil, mencoba menenangkan. "Heh, ngapain takut sama aku? Aku cuma mau lihat adikmu, Nia, kan?" ujarnya lembut.
Anak perempuan itu terkejut. "I-iya, kok kakak tau nama adik saya?" tanyanya penuh curiga.
Alya mendekat perlahan. "Aku juga tahu nama kamu. Kamu pasti Anis, kan?" ucapnya sambil mengubah nada bicara seperti anak kecil.
Anis tersenyum kecil, mulai merasa tenang. "Hahaha, iya, kak. Nama aku Anis."
Alya tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. Setelah itu, ia memberikan makanan yang ia bawa.
Dia menyuapi Nia yang lemah sambil terus berbicara dengan Anis, membuat mereka merasa nyaman. Dalam hatinya, Alya kembali berdoa, "Ya Allah, betapa besar ujian-Mu kepada anak-anak ini. Dan betapa kecil aku, sering mengeluh atas hal yang remeh."
Kakak kenapa kak? " ucap nya karna melihat alya melamun... "ouhh nggak papa" lalu alya menghibur mereka dengan candaan dan tawa.
terlihat tidak jauh dari tempat tersebut, afnan yang mengawasi alya tersenyum dengan bangga bisa menikahi alya, meskipun alya belum tahu akan pernikahan mereka.
"selamat bro, kamu tidak salah pilih pasangan" ucap agam sambil menepuk-nepuk bahu afnan"iya donk, aku gitu... "ucap afnan dengan percaya diri.
tiba-tiba agam melihat alya yang terlihat sangat panik. "ayokk gam, kita datang in mereka sekarang! " ucap afnan langsung karna merasa khawatir.
"ntar dulu nan, ntar ketahuan alya, dia marah nanti" ucap agam mencoba memberi pengertian.
gus afnan pun dengan terpaksa mengikuti apa kata agam.
namun ,Tubuh Nia tiba-tiba panas. Napasnya berat, dan wajahnya semakin pucat. Alya panik. Ia memeriksa kening Nia yang panas membara.
"Anis, kamu tunggu sini. Aku bakal cari bantuan!" katanya cepat. Tapi saat itu, pikirannya kosong. Ia tak tahu harus menghubungi siapa. Hingga akhirnya, satu nama terlintas di pikirannya: Gus Afnan.
Dengan tangan gemetar, Alya meneleponnya. "Assalamu'alaikum, Gus… Maaf mengganggu…" Belum sempat Alya menjelaskan, suara Afnan terdengar di ujung telepon.
"Wa'alaikumsalam. Aku ke sana sekarang," jawab Afnan, nadanya terdengar gugup karena yang menelpon adalah alya namun tetap tegas.
Gus Afnan langsung bergegas menyeberangi jalan, langkahnya cepat menuju Alya. Wajahnya penuh kekhawatiran. Agam yang lebih sigap memarkirkan mobil di tepi trotoar, memastikan posisi mereka cukup dekat untuk membantu.
"Alya! Kamu baik-baik saja?" tanya Gus Afnan dengan nada cemas, pandangannya menyapu Alya dari ujung kepala hingga kaki, memastikan tidak ada yang salah.
Alya hanya mengangguk datar. "Aku baik-baik saja, Gus. Tapi ini anak kecil yang sakit. Tolong bawa dia ke rumah sakit secepatnya," jawabnya tegas, meski ada nada harap yang tak bisa ia sembunyikan.
"Baiklah," balas Gus Afnan tanpa ragu. Ia langsung mengangkat tubuh kecil Nia dengan hati-hati. Tubuh anak itu terasa panas dan lemah, membuat hatinya miris. Alya mengikuti di belakangnya, langkahnya mantap meskipun pikirannya berkecamuk.
Agam, yang sudah membuka pintu belakang mobil, melirik Alya yang hendak kembali ke motornya. "Neng Alya, biar aku saja yang bawa motor. Neng ikut sama Gus Afnan untuk jaga anak ini di mobil," ucap Agam, suaranya penuh pengertian.
Gus Afnan hanya menatap Alya dengan sorot mata penuh harap, berharap Alya setuju.
Tanpa banyak bicara, Alya masuk ke mobil, duduk di belakang dan memangku Nia dengan hati-hati. Gus Afnan menghela napas lega, lalu segera masuk ke kursi pengemudi. Agam mengambil motor Alya, mengikuti mereka dari belakang.
Dalam perjalanan, Gus Afnan sesekali melirik ke kaca spion. Ia melihat Alya yang tengah sibuk mengelap keringat di wajah Nia, wajahnya serius namun tetap anggun. Bagi Afnan, wajah itu bak bulan purnama, selalu memikat, bahkan di tengah situasi genting seperti ini.
Namun lamunannya buyar saat suara Alya memecah kesunyian. "Gus, bisa lebih cepat lagi? Panas badannya makin tinggi," ucap Alya, kali ini dengan nada khawatir yang jelas terdengar.
Gus Afnan tersentak. "I-iya, Alya. Maaf," balasnya sedikit gugup. Ia segera menambah kecepatan, memastikan mereka sampai di rumah sakit secepat mungkin.
Di belakang, Alya terus mengawasi kondisi Nia sambil berdoa dalam hati. Afnan, meskipun fokus menyetir, tak bisa mengalihkan pikirannya dari gadis yang kini duduk di belakangnya. Alya, dengan segala dinginnya, tetap memiliki hati yang hangat dan tulus. Dan itu membuat Afnan semakin yakin bahwa cintanya pada Alya takkan pernah salah.
baper