Bloody Anna

Aroma segar kopi yang disajikan Dani sedikit memberi ketenangan untuk Anastasia. Setelah berbicara beberapa saat sekedar berbasa basi, Anastasia pun membuka maksud kedatangannya bersama Adam.

“Begini, mas Dani. Kita langsung saja ke pokok permasalahannya. Mohon maaf sebelumnya, tapi bisa ceritakan dari awal bagaimana Losmen Flamboyan berdiri?”

“Saya kurang tahu persis cerita ini mbak, tapi seingat saya dulu kakek memang membeli bangunan dan tanah itu dari pihak kedua. Kabarnya dulu, pemilik lama mau balik ke Jepara.” Dani mulai bercerita.

“Jadi pemilik losmen itu bukan orang Belanda?” Adam bertanya penasaran.

“Setahu saya bukan, tapi entah pemilik sebelumnya. Tapi memang itu bangunan lama, semua masih asli dari pemilik lama dan tidak banyak yang dirubah kakek.”

Dani menjelaskan sedikit tentang detail rumah yang dibeli kakeknya. Anastasia dan Adam mendengarkan dengan sabar. Sesekali Dani juga menunjukkan foto lawas Losmen Flamboyan yang masih disimpannya. Meski sedikit rusak karena usia tapi terlihat jelas keasrian rumah itu pada masanya.

“Semua berjalan lancar, tamu banyak, karyawan semakin bertambah, kesejahteraan keluarga juga semakin meningkat sampai suatu hari tepat di hari ulang tahun kakak sepupu saya … semua berubah,” raut wajah Dani terlihat sedih.

Kening Anastasia berkerut, “kenapa mas, apa yang terjadi?”

“Kakek, jatuh sakit setelah malam perayaan. Kata ibu, kakek sakit aneh. Beliau terus mengigau dan ketakutan. Demam tinggi sampai harus bolak balik ke rumah sakit. Dokter bilang kalek dalam kondisi baik tapi entah kenapa beliau selalu drop kesehatannya dan terus menurun sampai kemudian meninggal. Yang membuat kami heran, Kakek selalu menunjuk ke arah pohon Flamboyan besar di sisi kamarnya.”

“Apa yang pak Surya lihat?” Cecar tak sabar Anastasia.

Dani menatap foto yang tergantung di dinding. “Hantu Anna … Noni Belanda yang selalu mengganggu keluarga kami. Anehnya sejak kakek sakit, satu persatu keluarga kami yang terlibat meninggal.”

“Maksud mas meninggal bagaimana? Tidak wajar atau sakit juga?” Adam memastikan.

Sejenak, Dani menarik nafas dalam-dalam. “Menurut saya, tidak wajar mas. Pakde dan bude tiba-tiba saja kecelakaan di waktu bersamaan, paklek Bowo tau-tau juga meninggal sewaktu tidur, bulek Mini juga sama tragisnya. Dia mati gantung diri …,” Dani menahan perasaan yang menyesakkan dada, “cuma tersisa ibu, itu pun karena kami juga baru kembali dari rantau empat tahun lalu setelah diberitahu losmen yang terbengkalai bakal dibeli orang.”

“Dan itu kami,” sahut Anastasia pelan.

“Betul. Saya bersyukur losmen itu terjual karena jujur, saya juga kepikiran ibu. Takut ibu kenapa-kenapa mbak.” Dani mengusap kasar wajahnya.

“Heem, apa mas nggak curiga kalau kematian saudara-saudari mas itu karena ulah santet atau sejenisnya?” Anastasia memberanikan diri bicara tentang hal yang lebih ekstrim.

Dani mengangguk, “Saya juga berpikir demikian mbak. Mungkin ada yang nggak suka sama keberhasilan Losmen kakek. Tapi kalau menurut nenek, semua keapesan keluarga kami adalah ulah dari Anna. Dia membawa kemarahannya pada keluarga kami dan membawa balak yang sulit kami hindari.”

“Nenek mas masih ada?” Tanya Anastasia disambut gelengan kepala Dani.

“Beliau meninggal berselang seratus hari dari kematian kakek. Saya jadi berpikir jika semua kematian mendadak itu adalah benar ulah hantu Anna!” Ucapnya sambil melirik ke arah foto yang tergantung di dinding.

“Tunggu, tunggu … balak? Memangnya hantu bisa membunuh orang? Rasanya nggak masuk diakal!” Adam berkilah tak percaya.

Anastasia menoleh pada Adam begitu juga dengan Dani. “Bisa, kalau hantu itu memang kiriman orang yang berniat jahat sama keluarga mas Dani.”

“Maksud kamu seperti santet? Bukan pesugihan?” Adam kembali bertanya.

Anastasia mengangguk, “bisa jadi yang dialami keluarga mas Budi adalah bagian dari intrik bisnis yang kebetulan bersamaan dengan munculnya Anna Van de Groot.”

“Oh iya, mungkin saja ya mbak. Soalnya kalau pesugihan saya yakin kakek nggak pernah mau pake begitu. Ibu saya selalu yakin jika semua musibah itu adalah ulah para pesaing kakek. Karena memang pada jaman itu losmen Flamboyan sangat terkenal.”

“Menurutku logikanya begitu, tapi …,” anastasia menjeda kalimatnya, menatap Dani tak enak hati. “Apa mungkin kakek mas Dani menyimpan sesuatu milik mendiang Anna?”

Kening Dani berkerut. “Waduh rasanya nggak mungkin deh mbak, itu kejadian sudah lama sekali. Kalaupun ada saya juga nggak tahu apa yang disimpan kakek.”

“Betul juga sih. Meski losmen itu sekarang sudah berpindah tangan pada kami tapi … desas-desus tentang keangkerannya tetap hidup, terutama soal sosok Anna yang sekarang menghantui hotel kami.”

“Hah, masa to mbak?! Hantu Anna? Ada di hotelnya mbak?” Dani terperanjat.

“Itu sebabnya kami kesini. Kami ingin mengetahui sejarah kelam losmen Flamboyan. Karena hotel kami berdiri di bekas tanah dan bangunan losmen itu.” Adam menerangkan singkat.

“Kami sudah mencari cari tahu tentang losmen itu. Tapi yang kami dengar banyak rumor miring tentang bangkrutnya losmen. Kami ingin mencari tahu sekaligus meluruskan rumor lama itu.” ungkap Adam lagi, berharap Dani mengerti.

"Pasti semua tentang Anna. Aku rasa Noni Belanda itu hanya terjebak di tempat dimana kenangan terindah sekaligus terburuk dalam hidupnya terjadi."

“Apa mas tahu siapa Anna?” Tanya Anastasia kemudian.

Dani menggeleng pelan, “ibu pernah bilang, konon Anna itu adalah penyanyi sopran yang pernah terkenal di masanya.”

“Penyanyi?” Anastasia terkejut.

“Iya, setiap mau menampakkan diri selalu terdengar lagi yang sama. Menurut nenek itu lagu tentang kerinduan pada sang kekasih dalam bahasa Belanda.”

Anastasia mengangguk, itu cukup menjelaskan kenapa sesekali Anna datang dengan gumaman lirih yang menyerupai lirik lagu.

Sebelum pulang, Anastasia dan Adam meminta foto-foto lama losmen Flamboyan untuk memastikan letak pohon besar yang dulu berdiri kokoh di halaman losmen. Tiga pohon di titik berbeda seperti pola segitiga iblis yang pernah didengar Anastasia.