Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan Citra
Awalnya aku merasa enggan masuk kedalam Mobil Citra, terlebih disana ada Salsa disana. Bukan karena takut, tapi sebenarnya aku hanya ingin menghindari masalah, karena aku tahu sebenarnya mereka adalah sumber masalah.
Citra memintaku untuk duduk di depan saja, ia memintaku untuk melupakan masalah tadi dan mengatakan bahwa ia tidak akan lagi melakukan hal seperti tadi di sekolah. Aku bingung kenapa ia mengatakan hal tersebut, tapi sebagai gantinya ia bilang ia ingin berteman baik denganku.
"Kenapa kamu ingin berteman denganku?." tanyaku. Citra hanya mengatakan bahwa ia hanya ingin saja, tanpa alasan. Tapi aku tahu sebenarnya ia punya alasannya tapi memilih untuk diam saja tak mengatakannya. Aku pun tak mempermasalahkannya.
Sedang Salsa ia hanya diam saja. Tidak mengatakan apa-apa, tapi aku tahu ia cukup keberatan akan permintaan Citra terbukti ia hanya diam saja mendengarkannya dan sesekali melihat ke arahku dengan sinis. Aku tidak mempermasalahkannya dan keluar dari mobilnya menuju ke dalam rumah.
Disana sudah ada mama dan papa, Erick dan juga Liliana. Aku lihat papa seperti sedang menahan amarah dan melihat ke arahku. Belum sempat aku menuju ke arah mereka duduk, papa sudah lebih dulu menjatuhkan vas bunga. Bukan, tepatnya papa melempar vas bunga itu ke arahku. Terkejut dan langsung melihat ke arah papa menanyakan mengapa ia melakukan hal tersebut.
"Baru hari pertama sekolah, tapi kamu bahkan tidak bisa menjaga Lilian." ujar papa kemudian beralih menatap Lilian, spontan aku pun melihat ke arahnya dan mengerti apa yang sedang terjadi. Rupanya mereka sudah mengatakannya pada papa.
"Tapi, Om. Itu bahkan bukan salah kak Adelia." sahut Lilian menunduk. Ini yang paling aku tidak suka, berdrama.
"Benar, Pa. Kenapa Adelia harus menjaga Lilian! Lagian Adelia kesana untuk belajar, bukan untuk menjadi baby sitter." ujarku. Sebenarnya aku merasa cukup sedih akan sikap papa, papa sampai melakukan hal tersebut karena Lilian. Tapi aku tidak akan menunjukkan hal tersebut. Ah, sial, aku tiba-tiba teringat jika kamar Lilian bahkan sudah ada dilantai atas. Sekarang aku menyesalinya.
"Benar, Mas. Kenapa Adelia harus menjaga Lilian!. Dan kamu, Lilian, apa kamu tidak bisa menjaga diri sendiri? Baru hari pertama Sekolah saja sudah merepotkan." ujar Mama. Ya, seperti biasa mama akan selalu menjadi orang pertama yang akan membelaku.
Papa berusaha membela Lilian yang semakin terpojok karena perkataan Mama. Kali ini aku sama sekali tidak merasa kasihan pada Lilian, karena aku merasa ia seperti senang melakukannya dan itu yang ia harapkan, entah untuk alasan apa.
"Maaf, Tante." ujar Lilian dengan mata berkaca-kaca. Oh, ya, mama juga meminta Erick untuk segera pulang. Sepertinya mama mengerti situasi apa yang sedang terjadi.
"Hana, cukup. Kamu keterlaluan sekali sampai harus mengatakan hal itu!." ujar papa keberatan.
"Aku? Keterlaluan katamu? lalu bagaimana dengan kamu sampai rela melemparkan vas bunga pada Adelia, hanya karena Lilian?." ujar Mama berdecak kesal. Sedang Lilian meminta maaf pada mama dan papa, menjelaskan bahwa ini semua murni kesalahannya dan meminta keduanya untuk tidak berdebat dan saling menyalahkan.
Aku sendiri bergegas naik ke lantai atas dan berlalu dari sana. Aku sangat malas menyaksikan hal tersebut. Haruskah aku pindah sekolah?
Benar-benar situasi yang menyebalkan, dan aku tidak menyukainya. Kenapa rasanya sangat sial sekali? Pindah dari sini ketika segala sesuatu nyaman dan aman, dan setelah semuanya kembali normal, hal yang diharapkan tidak terjadi terjadi juga.
Tapi ada apa dengan Lilian, kenapa aku merasa ia seolah sengaja? Apa mungkin ia sengaja ingin melakukannya, tapi untuk apa? Kurasa hubungan kami sudah membaik.
Lilian mengetuk kamarku dan meminta ijin untuk masuk, aku membukanya dan membiarkan ia untuk bicara diluar saja.
"kak Adelia, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu disalahkan seperti ini." sahutnya kemudian menatapku.
"Sudahlah, tak masalah, tak usah dibahas!." sambungku hendak menutup pintu. Tapi Lilian segera menahannya.
"Tunggu, kak."
"Kenapa lagi?."
"Apa kamu marah?."
"Kamu menanyakannya?!." sahutku kemudian.
"Maaf." ujarnya kembali menunduk.
"Kenapa kamu minta maaf, kamu merasa bersalah?." tanyaku kemudian menatap matanya.
"Aku, ," ucapnya kemudian berhenti. Seolah tengah berpikir.
Aku segera menutup pintu bahkan tanpa mendengarkannya lagi. Benar, sendiri kurasa lebih baik jika harus bersama dengan seseorang yang suka keributan. Ah, aku tiba-tiba merindukan sahabatku.
Mungkin sesekali aku harus jalan-jalan dan pergi ke Kota menemui mereka. Lagian sudah lama juga aku disini, sudah sebulanan. Kurasa itu akan menyenangkan dan melupakan masalah yang ada disini. Baiklah, mungkin aku harus minta ijin nanti.
_____
Aku merasa sangat kesal pada Arsen, aku bahkan tidak menyangka jika ia bahkan sampai melempar vas bunga pada Adelia untuk kesalahan yang bahkan tidak ia lakukan. Setelah perdebatan itu, aku memutuskan untuk mendiamkan Arsen.
"Ayolah, Hana. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!." ujarnya. Mendengarnya aku makin kesal karena hal itu.
"Dengar, Arsen. Aku menyesal karena memutuskan untuk ikut pindah kemari bersamamu, harusnya aku memilih tidak ikut saja dengan Adelia."
"Tidak hanya Diana, bahkan anaknya kini pun hendak menghancurkan hidup anakku. Dengar, aku bahkan tidak akan segan-segan, bahkan padamu sekali pun!." ujarku, aku segera mengemaskan pakaianku kedalam koper, hal itu cukup membuat Arsen kebingungan dan bertanya.
"Hana, apa yang kamu lakukan?."
"Aku? Aku sedang mengemaskan pakaianku dan akan pergi dari sini bersama Adelia." ujarku mantap.
"Ayolah, Hana. Tidak mungkin, kan, jika aku menyalahkan Lilian sedang dia hanya orang baru dirumah ini. Apa yang akan dirasakan dia nanti!." ucapnya seolah tengah kebingungan.
"Itu bukan urusanku," ujarku menutup koperku dan segera menyeretnya keluarnya. Tapi lagi lagi Arsen menahan pergelangan tanganku.
"Kumohon, Hana. Jangan lakukan sesuatu yang lain lagi. Kita ini orangtua mereka."
"Justru karena kita orangtua, maka ijinkan aku pergi. Aku tidak suka siapapun berani menyentuh putriku." sahutku. Aku benar-benar menyesali tindakan yang dilakukan oleh Arsen. Apa dia tidak memikirkan perasaan Adelia. Ia bahkan melakukan hal tersebut secara sadar dan sengaja.
"Baiklah, aku akui aku keterlaluan. Tapi aku mohon, jangan pergi dari sini." ujarnya kemudian segera memelukku. Tapi tak lama, karena aku segera melepaskan diri dari pelukan Arsen dan memutuskan untuk kembali ke kamar dan tidak mengatakan apa-apa lagi pada Arsen.
"Terima kasih, Hana." ucapnya kemudian. Aku mengabaikannya karena aku masihlah sangat dongkol.
Karena sadar aku tak meresponnya, Arsen memilih keluar dari kamar. Aku memijat kepalaku yang kurasa sangatlah pening. Mengapa masalah kami selalu datang bergantian? Tidak karena Diana, tapi juga Lilian.
Aku sebenarnya bukan membenci Lilian, hanya saja aku tidak suka jika ia sampai membuat Adelia membenci papanya apalagi sampai dapat perlakuan seperti itu. Sungguh, sebelum mereka hadir, kami sangatlah rukun dan baik-baik saja.
Apalagi ia tidak menjelaskan apa-apa, dan seolah membiarkan Adelia mendapat amukan dari papanya. Mungkin sesekali aku harus mengajaknya bicara dan menanyakan apa yang sudah terjadi pun mengapa ia melakukan hal itu.
Dan sialnya, Erickpun kurasa sepertinya membela Lilian. Ada-ada saja.
"Hana," panggil Arsen yang kini sudah berdiri di pintu.
Hanya menatapnya tanpa berusaha menjawab panggilannya.
"Hmm, apa sebaiknya kita jalan-jalan saja, bersama anak-anak?." tanyanya. Tidak buruk juga, mungkin kami harus pergi, agar Adelia bisa segera berbaikan dengan papanya.
"Baiklah, tapi tolong jaga sikapmu!."
"Siap, sayang." sahutnya. Kemudian kami bersiap dan segera mengabarkannya pada Adelia dan juga Lilian yang ada dilantai atas.
Belum sempat mengetuk kamar Adelia, penghuninya lebih dulu keluar. Aku mengatakan apa maksud dan tujuanku, Adelia pun menyetujuinya dan memintaku saja yang akan memberitahukannya pada Lilian. Sedang Adelia, ia turun lebih dulu ke lantai bawah.
Saat akan mengetuk kamar Lilian, samar terdengar suara tawa dari dalam sana. Tawa yang mampu membuat sekujur tubuhku merasa merinding, karena itu bukan seperti suara lilian. Tunggu, bukan hanya suara orang tertawa saja, tapi disertai dengan seseorang yang seolah tengah mengobrol. Dengan siapa Lilian di dalam sana?
Saat hendak mengetuk pintu kamarnya, Lilian keluar lebih dulu dan menatapku tajam. Tunggu, apa ini hanya perasaanku saja? Lilian tersenyum dengan aneh, kemudian mengajakku untuk turun ke bawah. Ya, ia tahu apa maksud tujuanku kesana. Anehkan, aku bahkan belum memberitahukannya tapi ia sudah lebih dulu mengetahuinya.
"Kenapa Tante?." tanyanya. Yang membuatku merasa makin takut saja.
"Tidak apa-apa." sahutku untuk bergegas turun lebih dulu.