NovelToon NovelToon
Istri Dari Ketua Geng Motor

Istri Dari Ketua Geng Motor

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:16.8k
Nilai: 5
Nama Author: Laura Putri Lestari

Air mata terus mengalir dari sepasang bola mata abu-abu yang redup itu. Di dalam kamar sempit yang terasa semakin menyesakkan, Aria meringkuk, meratapi nasib yang menjeratnya dalam belenggu takdir yang tak pernah diinginkannya. Aria, gadis polos nan culun, begitu pendiam dan penurut. Orang tuanya memaksanya untuk menikah dengan anak dari bos ayahnya, sebagai jalan keluar dari kejahatan sang ayah yang telah menggelapkan uang perusahaan. Aria tidak berani menolak, tidak berani melawan. Ia hanya bisa mengangguk, menerima nasib pahit yang seolah tak ada ujungnya.

Tanpa pernah ia duga, calon suaminya adalah Bagastya Adimanta Pratama, lelaki yang namanya selalu dibicarakan di sekolah. Bagastya, si ketua geng motor paling ditakuti se-Jakarta, pemimpin SSH yang tak kenal ampun. Wajahnya tampan, sorot matanya dingin, auranya menakutkan. Dan kini, lelaki yang dikenal kejam dan berbahaya itu akan menjadi suami dari seorang gadis culun sepertinya. Perbedaan mereka bagaikan langit dan bumi—mustahi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laura Putri Lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa Ini

Suara jangkrik dan angin malam yang sejuk mengisi keheningan malam di panti asuhan. Setelah makan malam bersama anak-anak lainnya, Aria dan Lara kembali duduk di gazebo, tempat favorit mereka. Kali ini, Lara membawa buku matematikanya, dengan harapan Aria bisa membantunya menyelesaikan beberapa soal yang membingungkan.

"Kak, ini bener gak?" Lara menyodorkan bukunya kepada Aria, menunjukkan sebuah soal geometri yang rumit.

Aria melihat sekilas, lalu mengangguk sambil tersenyum. "Ini soal tentang Prisma segitiga ya? Kamu harus pakai rumus Phytagoras. Pertama, cari dulu panjang garis BC di segitiga ABC, lalu kamu bisa cari panjang garis DC dari segitiga DBC."

Lara mengangguk, perlahan memahami penjelasan Aria. Dia kembali fokus pada bukunya, menulis dengan teliti di kertasnya. Aria tersenyum, merasa puas bisa membantu Lara. Dia memandang sekeliling panti yang sudah lama tidak dia kunjungi.

Namun, pikirannya segera teralihkan ketika matanya tertuju pada Bagastya, yang sedang membantu Bi Mirna dan beberapa anak panti mengangkat sebuah lemari tua yang sudah tidak layak pakai. Aria tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan Bagastya, yang tampak begitu kuat dan penuh tanggung jawab, berbeda dengan dirinya yang lebih sering tenggelam dalam dunia buku.

"Kak," panggil Lara tiba-tiba, memecah lamunan Aria.

"Iya?" Aria menoleh dengan cepat.

"Aku boleh nanya sesuatu?" tanya Lara, suaranya terdengar ragu-ragu.

Aria mengangguk, "Boleh kok, tanya aja."

Lara menggigit bibirnya sebentar, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Kakak punya hubungan apa sih sama Kak Bagastya?" Pertanyaan itu terlontar dengan nada penasaran, dan Aria bisa merasakan ketulusan dalam nada suara Lara.

Aria terdiam sejenak, tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. Bagaimanapun, dia tahu Lara sudah cukup dewasa untuk memahami situasi. Dengan pelan, dia menjawab, "Hmm... Aku sama Bagastya itu... suami istri."

Lara menatap Aria dengan mata lebar, jelas terkejut. "Suami istri?" ucapnya dengan nada tidak percaya.

Aria mengangguk, tidak berniat menutupi kebenaran dari gadis itu. "Iya, kami menikah karena perjodohan."

Lara mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima. "Tapi... bukannya Kak Bagastya pacaran sama Kak Vanessa ya?" tanyanya lagi, kebingungan jelas terlihat di wajahnya.

Aria menarik napas dalam-dalam, menatap Bagastya dari kejauhan. "Iya, Bagastya memang pacaran sama Vanessa. Tapi pernikahan kami berbeda, itu semua karena perjodohan. Tidak ada cinta di antara kami, setidaknya... tidak dari pihak Bagastya."

Lara terdiam, memahami betapa rumitnya situasi yang dihadapi Aria. Dia merasa kasihan pada kakak kelasnya itu, yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan pria yang hatinya sudah dimiliki oleh orang lain.

"Apa Kakak... sedih?" tanya Lara pelan, suaranya penuh dengan simpati.

Aria tersenyum tipis, meski ada kesedihan yang tergambar di matanya. "Terkadang, iya. Tapi aku mencoba untuk menerima semuanya, Lara. Mungkin ini jalanku, dan aku harus menjalaninya dengan sebaik mungkin."

Lara menunduk, menggenggam pensilnya erat-erat, merasa tersentuh oleh kejujuran Aria. Sebagai gadis yang baru saja merasakan awal masa remajanya, Lara tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan bisa begitu rumit dan tidak selalu tentang cinta yang sederhana dan bahagia seperti di cerita dongeng yang dia baca.

"Apa Kakak pernah... berharap bisa memilih sendiri?" Lara bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih hati-hati. Dia tidak ingin menyakiti perasaan Aria, tetapi rasa ingin tahunya mendorongnya untuk terus bertanya.

Aria tersenyum samar, mengingat mimpinya sendiri yang pernah dia kubur dalam-dalam. "Tentu saja, Lara. Setiap orang pasti ingin bisa memilih jalan hidup mereka sendiri. Tapi kadang-kadang, keadaan memaksa kita untuk mengambil jalan yang berbeda."

Lara mengangguk, mencoba memahami apa yang dimaksud Aria. Dia kemudian memandang ke arah Bagastya yang masih sibuk membantu memindahkan lemari. Lara tahu Bagastya adalah sosok yang sangat berbeda dari Aria—Bagastya adalah ketua geng yang disegani di sekolah, selalu dikelilingi oleh teman-teman dan penuh dengan kepercayaan diri. Sementara Aria, meskipun cerdas dan baik hati, lebih sering berada di latar belakang, memilih untuk menyendiri dan tenggelam dalam buku-bukunya.

"Kak Bagastya... sepertinya tidak tahu betapa Kakak mencintainya," kata Lara perlahan, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.

Aria tertegun mendengar ucapan Lara. Dia menatap gadis itu, merasa tersentuh oleh kepeduliannya. "Lara, aku... aku memang mencintainya, tapi aku tahu Bagastya tidak memiliki perasaan yang sama. Dia mencintai Vanessa, dan aku... aku harus menerima itu."

Lara mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Dia tidak bisa membayangkan berada di posisi Aria, mencintai seseorang yang hatinya sudah dimiliki orang lain. Namun, dia juga merasa ada sesuatu yang tidak adil dalam situasi ini—Aria, yang begitu baik dan tulus, harus menjalani pernikahan yang tanpa cinta.

"Tapi Kakak... tidak berpikir untuk menyerah, kan?" Lara bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. Dia tidak ingin melihat Aria menyerah pada cinta, meskipun situasinya sulit.

Aria terdiam sejenak, memikirkan pertanyaan itu. "Menyerah... mungkin kata yang tepat," gumamnya, setengah berbicara kepada dirinya sendiri. "Tapi aku tidak bisa begitu saja berhenti mencintai Bagastya. Cinta tidak bekerja seperti itu, Lara."

Lara mengangguk, mengerti bahwa cinta memang tidak selalu logis atau masuk akal. Terkadang, cinta datang tanpa alasan, dan meskipun itu menyakitkan, cinta tetaplah cinta.

Mereka berdua terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga dari taman di sekitar panti. Di kejauhan, suara anak-anak yang masih bermain terdengar samar, menambah kesan damai pada malam itu.

Namun, keheningan mereka segera pecah ketika suara berat Bagastya memanggil dari kejauhan. "Aria! Lara!" teriaknya, sambil melambaikan tangan. "Bi Mirna nyariin kalian, katanya ada yang perlu dibantu di dapur!"

Aria dan Lara saling berpandangan sejenak sebelum tersenyum kecil. "Ayo kita pergi, Lara," kata Aria sambil berdiri, meraih buku matematika Lara dan menyimpannya di tas. "Kita bantu Bi Mirna."

Lara mengangguk, lalu berdiri mengikuti Aria. Mereka berdua berjalan bersama menuju panti, meninggalkan gazebo yang telah menjadi saksi percakapan mendalam mereka.

Ketika mereka mendekati pintu masuk panti, mereka melihat Bagastya sedang berdiri di depan pintu, menunggu mereka. Wajahnya terlihat lelah setelah bekerja keras memindahkan lemari, tetapi senyum khasnya masih terlukis di bibirnya.

"Maaf ya, gua tadi nyuruh kalian bantu Bi Mirna," kata Bagastya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tapi sepertinya tadi kalian lagi sibuk belajar ya?"

Aria tersenyum, mencoba menyembunyikan perasaannya yang bercampur aduk. "Tidak apa-apa, Bagas. Kita memang baru selesai belajar."

Bagastya mengangguk, lalu menatap Lara. "Lara, kamu belajar matematika sama Aria ya? Gimana, sudah paham?"

Lara mengangguk cepat, tersenyum lebar. "Iya, Kak Bagas! Kak Aria jago banget ngajarin aku! Sekarang aku udah ngerti soal yang tadi."

Bagastya tersenyum lebar, lalu menepuk bahu Aria. "Wah, Aria memang guru yang hebat! Pasti deh nilaimu di ujian nanti bagus."

Aria tersenyum canggung, merasa sedikit bangga tetapi juga cemas karena perhatian Bagastya yang tiba-tiba mengarah padanya. "Aku hanya mencoba membantu, Bagas. Semoga Lara bisa mendapatkan nilai yang bagus nanti."

Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam panti, menuju dapur tempat Bi Mirna sudah menunggu. Dapur itu hangat dan penuh dengan aroma masakan, menambah suasana nyaman di panti. Bi Mirna, dengan senyum lembutnya, sedang mengaduk sup di atas kompor ketika mereka tiba.

"Ah, kalian akhirnya datang," kata Bi Mirna dengan suara lembutnya. "Bibi butuh bantuan kalian untuk menyiapkan makanan ringan buat anak-anak sebelum mereka tidur."

Aria, Lara, dan Bagastya segera sibuk membantu Bi Mirna di dapur. Mereka bekerja dengan harmonis, sambil sesekali bercanda dan tertawa. Meskipun situasi di antara mereka rumit, malam itu, mereka merasa seperti sebuah keluarga—saling mendukung dan berbagi tugas.

Setelah semua makanan siap, anak-anak panti yang lebih muda mulai masuk ke dapur untuk mengambil porsi mereka. Suasana riuh dengan suara tawa dan obrolan, dan Aria merasa hangat di hatinya melihat kebahagiaan di wajah-wajah mereka.

Namun, di balik tawa dan canda, Aria tidak bisa sepenuhnya menghilangkan perasaan aneh yang ada di hatinya setiap kali melihat Bagastya. Dia tahu bahwa Bagastya adalah sosok yang baik, seseorang yang selalu siap membantu orang lain, tetapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa hati Bagastya milik Vanessa, bukan dirinya.

Lara yang memperhatikan raut wajah Aria, sepertinya mengerti apa yang sedang dirasakan kakak kelasnya itu. Dia mendekat dan berbisik pelan, "Kak Aria, jangan khawatir. Mungkin suatu hari, Kak Bagastya akan mengerti perasaan Kakak."

Aria tersenyum kecil, meskipun hatinya tahu bahwa harapan itu mungkin hanya akan menjadi angan-angan. "Terima kasih, Lara. Kamu baik sekali."

Lara balas tersenyum, lalu kembali membantu membagikan makanan. Meskipun usianya masih muda, Lara bisa merasakan betapa beratnya beban yang dipikul oleh Aria. Dia berharap, suatu hari, kebahagiaan akan datang kepada kakak kelasnya yang baik hati itu.

Malam itu berlalu dengan cepat. Setelah semua anak-anak tidur, Aria, Bagastya, dan Lara duduk di teras depan panti, menikmati suasana malam yang tenang. Bintang-bintang bersinar di langit, dan angin malam yang sejuk membawa kedamaian.

Malam itu berakhir dengan keheningan yang penuh arti. Meski hati Aria terasa berat, dia

1
JoddyRizka Permana Putra
baik
Retno Harningsih
up
Neneng Dwi Nurhayati
kak buat Aria pergi jauh dari Bagas,kasian
Nabila
jangan berharap dengan orang yang gak mengerti dengan perasaanmu aria, carilah orang yg benar benar sayang kamu , bagastya pasti akan menyesal menyakiti cewek sebaik kamu
Erma Triwiyatmi
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!