London, sebuah tempat yang menyisakan kenangan termanis dalam hidup Orion Brox. Dalam satu hari di musim panas, ia menghabiskan waktu bersama gadis cantik yang tak ia ketahui namanya. Namun, rupa dan tutur sapanya melekat kuat dalam ingatan Orion, menjelma rindu yang tak luntur dalam beberapa tahun berlalu.
Akan tetapi, dunia seakan mengajak bercanda. Jalan dan langkah yang digariskan takdir mempertemukan mereka dalam titik yang berseberangan. Taraliza Morvion, gadis musim panas yang menjadi tambatan hati Orion, hadir kembali sebagai sosok yang nyaris tak bisa dimiliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
One Day In London 21
Amarah yang diluapkan Tara dalam pertemuan tadi, cukup untuk membuat Orion pergi. Bukan hanya dari Kantor Vavaco, melainkan juga dari Kota Surabaya. Ya, lelaki itu kembali pulang ke Jakarta beberapa jam setelah menemui Tara.
Meski belum jelas hasil apa yang dia bawa dalam perbincangan tadi, tetapi Orion tak punya alasan untuk berlama-lama lagi di sana. Tara jelas tak mau bertatap muka dengannya dalam waktu dekat, sementara pekerjaan di Ibu Kota sudah menunggunya. Jadi, mau tidak mau dia harus pulang hari itu juga.
Sudah lewat tengah hari ketika Orion menginjakkan kaki lagi di Jakarta. Dari bandara dia tidak langsung kembali ke rumah, tetapi malah ke kantor. Dengan pakaian kusut dan wajah masamnya, Orion langsung menyibukkan diri dalam tuntutan pekerjaan yang hampir tak ada habisnya. Sekretaris dan karyawan lain tak ada yang berani menyapa, karena raut wajah Orion sangat tidak bersahabat. Demi mencari aman, lebih baik diam dan fokus dengan pekerjaan masing-masing.
Akan tetapi, itu juga tak menjamin mereka untuk tidak terkena imbas. Kekesalan atas kenyataan bahwa Sunny-nya adalah Tara, membuat Orion tak bisa tenang. Alhasil, para karyawan itulah yang menjadi pelampiasan emosi. Hasil pekerjaan mereka salah semua di mata Orion. Tak ada alasan yang bisa diterima, semua harus dikerjakan ulang tanpa arahan bagian mana yang perlu diperbaiki.
Sang sekretaris—Rendy, sebenarnya menyadari kalau ada yang tidak beres dengan tuannya. Namun, ia pun tak berani bertanya apa gerangan yang mengganggu suasana hati tuan muda keluarga Brox itu.
"Sabar, harus sabar. Dibandingkan dengan tempat lain, di sini gajinya paling tinggi. Meski revisi tanpa kejelasan seperti ini, masih sepadan kok dengan uang yang bakal kuterima nanti," batin Rendy sambil sesekali melirik Orion.
Jangan ditanya seperti apa raut wajah Orion saat itu, sangat tidak enak dipandang. Alisnya mengerut, tatapannya tajam, dan gerak tangannya kasar. Sambil kerja, Rendy menyiapkan hati andai sewaktu-waktu Orion menggila dan mengacak-acak ruangan.
Sialnya, suasana yang sudah tidak nyaman itu malah kian buruk setelah resepsionis melaporkan bahwa ada tamu wanita yang mencari Orion. Jenny namanya. Rendy tahu siapa dia, seseorang yang sejak lama mengejar Orion, seseorang yang kehadirannya tidak pernah membuat Orion merasa senang.
"Tuan ...."
"Biarkan dia masuk," sahut Orion dengan dingin. Sedikit banyak dia sudah menangkap pembicaraan Rendy dengan resepsionis tadi, intinya Jenny memaksa masuk dan ingin menemuinya.
Usai mendapat persetujuan dari Orion, Rendy menyuruh resepsionis untuk mengantar Jenny ke ruangan itu. Lantas, ia pun keluar saat Jenny sudah tiba di sana dan duduk berhadapan dengan Orion.
Dalam beberapa saat, mereka tidak saling bicara. Orion hanya menatap sekilas, lalu kembali sibuk dengan pekerjaan—meski tidak fokus. Sementara Jenny, masih mencoba merangkai kata yang tepat untuk bertanya—mengejar penjelasan tanpa menyinggung Orion.
"Waktuku tidak banyak. Kalau ke sini hanya untuk diam, lebih baik pergilah." Masih tanpa menoleh, Orion berkata dengan datar.
Tak bisa dipungkiri, Jenny pun mengerti kalau Orion tidak mengharap kehadirannya.
Namun, Jenny juga tidak mau pergi begitu saja, sebelum mendapat jawaban langsung dari Orion sendiri. Benarkah laki-laki itu sudah menemukan tambatan hatinya selama ini, seperti yang dikatakan Olliver di telepon tadi.
"Satu."
"Dua."
"Ti—"
"Benarkah kamu udah menemukan cintamu, Orion? Wanita yang kamu tunggu-tunggu itu ... kamu udah menemukannya?" pungkas Jenny dengan gugup. Dia takut kalau pertanyaan itu menyinggung Orion dan membuat hubungan mereka makin renggang. Ahh, tetapi selama ini juga sudah renggang. Bahkan, besar kemungkinan Orion menganggapnya orang asing.
"Apa urusannya denganmu?" Suara Orion masih terdengar datar, sama sekali tidak ada kesan ramah.
"Mungkin nggak ada. Tapi ... selama ini kamu juga tahu gimana perasaanku ke kamu. Aku hanya ingin memastikan aja. Benar atau nggak kamu udah menemukan wanita itu," jawab Jenny.
Orion menarik napas panjang, lantas mengembuskannya dengan kasar. Tanpa bertanya pun dia sudah tahu, pasti Olliver yang membeberkan informasi itu, mengingat selama ini Olliver-lah yang akrab dengan Jenny.
Sebenarnya bagus juga, agar Jenny menyerah dan tak lagi mengejarnya. Namun sial, pertanyaan itu seolah mengingatkan lagi bahwa Sunny adalah Tara, ahh ... perasaan Orion makin kacau lagi karenanya.
"Orion ...."
"Sebenarnya ini tidak ada hubungannya dengan menemukan cinta atau tidak. Sudah pernah kukatakan, perasaan itu bisa dipaksakan. Kalaupun tidak ada hati lain, tapi jika tidak ada cinta, juga tidak akan bisa. Kuharap kamu bisa memahami ini, Jenny."
Jenny menunduk. Keras sekali hati Orion, bertahun-tahun ia tak bisa melunakkannya. Lebih heran lagi, dia juga tak bisa menyerah. Rasanya, hati sudah sekuat baja, sehingga tak gentar meski setiap waktu hanya penolakan yang diberikan oleh Orion.
"Aku ingin tahu, siapa wanita itu. Mungkin ... dengan melihatnya, aku bisa menerima kenyataan ini. Aku jadi punya alasan untuk menghentikan perasaanku, Orion," ujar Jenny setelah cukup lama membisu.
"Tidak perlu tahu."
Secara lisan, Orion menjawab singkat. Namun, hatinya terus bergumam, bagaimana mungkin berterus terang kalau wanita itu adalah Tara. Sedangkan hubungan Jenny dengan Olliver cukup baik. Bukankah itu sama saja dengan menggali lubang sendiri.
"Kenapa? Apa kamu takut aku akan berbuat macam-macam?" tanya Jenny. "Aku bukan tokoh antagonis seperti di film atau novel, Orion. Aku nggak mungkin melabrak wanita yang kamu cintai dan berteriak 'ja-lang' seperti dalam drama. Aku nggak akan merasa lebih baik darinya dan menganggap dia nggak pantas untukmu. Aku hanya ingin tahu siapa dia. Dengan sedikit mengenalnya, aku yakin ... nanti akan ada alasan bagiku untuk berhenti mencintaimu."
Orion terdiam, sampai beberapa saat.
"Kalau dia juga mencintaimu, dan kamu bahagia bersamanya, aku pasti mundur, Orion. Meski selama ini kamu nggak pernah menganggapku, tapi harusnya kamu tahu, aku bukan wanita licik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Meski mungkin, bagimu aku nggak ada harga diri, karena terang-terangan mengejar lelaki yang sedetik pun tak pernah menatapnya, tapi kamu paham kan kalau caraku mengejarmu masih di jalan lurus. Apa itu semua belum cukup untuk membuatmu percaya kalau aku nggak akan macam-macam dengan wanitamu?" sambung Jenny karena Orion tak juga bersuara.
"Ini bukan tentang percaya atau tidak."
"Lantas?" Jenny masih terus mengejar jawaban. Meski menyakitkan, tetapi ia sungguh mati penasaran, siapa wanita yang dicintai Orion itu.
Orion menghela napas berat. Lalu menatap Jenny sambil berkata, "Kalau sudah tahu aku mencintai wanita lain tapi belum ada alasan untuk mundur, mengenal wanita itu juga tidak akan membuatmu punya alasan, Jenny."
Jenny tersenyum masam. "Apa kamu nggak pernah terfikir, kalau cuma bilang kayak gini tanpa bukti, aku akan mengira kalau itu hanya akal-akalanmu saja agar aku menyerah?"
Orion kembali diam. Baginya, Jenny bukan wanita yang mudah dihadapi. Bertahun-tahun wanita itu pantang menyerah meski berulang kali ia tolak. Sekarang juga pasti mudah baginya untuk melakukan hal yang sama, pantang menyerah mengejar jawaban.
Ahh, membayangkan saja kepala Orion sudah sakit dan pening. Bagaimana jika nanti nyata terjadi, Olliver tahu bahwa wanita yang ia sebut-sebut Sunny adalah Tara.
"Aku belum siap jika ada keretakan hubungan antara aku dengan Olliver. Tapi, aku juga belum siap melihat Sunny menikah tanpa bisa berbuat apa-apa, sekalipun suaminya adalah Olliver," batin Orion sambil mengepal erat, mengekspresikan kekacauan hati yang tak kunjung reda.
Saking fokusnya dengan pikiran sendiri, Orion sampai tak sadar jika ekspresi dan gerak tangannya ada dalam pengawasan Jenny.
Meski bodoh dalam mencintai lelaki, tetapi dalam hal lain Jenny cukup cerdas. Dari gerak-gerik yang ia tangkap barusan, Jenny bisa menarik kesimpulan bahwa wanita itu mungkin saja seseorang yang ia kenal atau mungkin ... sebatas ia tahu. Yang jelas, identitas wanita itu pasti seperti plot twist dalam cerita fiksi.
"Siapa kira-kira dia," batin Jenny. Rasa penasarannya makin menggebu, dan dia bertekad untuk mencari tahu sampai menemukan titik yang paling terang.
Bersambung...
semoga happy ending