Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan mantan kekasih yang masih terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
SELAMAT MEMBACA
Adrian berteriak, memaki, bersumpah serapan. Segala nama di kebut binatang, pria itu absen satu persatu. Ia berlari masuk, berusaha menerobos. Namun, kedua penjaga itu begitu kokoh dan segera menahannya.
"Minggir, gue mau masuk!" Adrian memberontak.
"Mohon maaf, Pak. Tidak bisa! Anda menganggu kenyamanan para pelanggan." Ujar salah satu penjaga tersebut. "Sebaiknya Anda pergi saja, kalau tidak... perlakuan kami akan lebih kasar," lanjutnya, dibenarkan oleh rekannya.
"Gue nggak peduli! Cepat panggil manajer kalian, bila perlu panggil ownernya. Gue mau ketemu, mau nyewa resto dia hari ini." Pinta Adrian yang mulai di luar nalar. Hati pria itu telah tersentil, dan hal tersebut tidak diakuinya. Terus berdalih berbicara baik-baik dengan Zevanya dan mendapatkannya kembali. Dan itu semua hanya karna ia tertarik dengan kecantikan gadis itu yang ingin ia hisap madunya. Ya, sebatas itu. Tetapi Adrian melupakan sesuatu, hal seperti apa yang bisa membuat seseorang gila? Kebersamaan selama dua tahun itu tidak mungkin tidak menumbuhkan sesuatu perasaan yang lebih. Karena hal tersebut, akan tercipta walau tanpa dikehendaki.
Kedua penjaga saling menatap, "Maaf, Pak. Anda tidak akan bisa menyewa tempat ini." Ujar penjaga tersebut.
Adrian semakin berang, "Kenapa? Kamu kira saya nggak punya uang buat nyewa tempat ini? Berapa pun itu, akan saya bayar. Jadi cepat panggil ownernya, saya mau ketemu," tegasnya.
"Hmmm, masalahnya, Pak. Anda sudah bertemu dengan beliau."
"Kapan? Gue ngga—" Adrian terdiam, tidak ingin menyakini pikirannya.
"Yang menyuruh kami untuk menangani Anda tadi adalah onwer resto ini, beliau pak Wira. Tepatnya, Varrel Wira Sanjaya. Jadi, tidak mungkin beliau akan menyewakan restonya pada Anda yang telah membuat kekacauan. Lagi pula pelanggan hari ini full, kami tidak mungkin mengusir mereka semua." Jelas penjaga membuat Adrian semakin terdiam.
"Varrel Wira Sanjaya, berarti... dari keluarga Sanjaya." Lirih Adrian.
Adrian memang tahu keluarga Sanjaya memiliki dua tuan muda. Tetapi tuan muda kedua keluarga itu tidak ada yang tahu bagaimana rupanya, hanya orang-orang yang benar-benar dekat saja yang mengetahui rupanya, sebab tuan muda kedua itu sama sekali tidak pernah tampil di majalah bisnis atau acara-acara televisi para pengusaha. Hanya baru-baru ini ia mendengar, tuan muda kedua Sanjaya itu terjun ke perusahaan menggantikan saudaranya untuk sementara waktu.
"Arrrggh!" Adrian berteriak frustasi. Langkahnya ke depan untuk mendapatkan Zevanya sepertinya akan semakin sulit, tetapi bukan berarti ia akan menyerah. Apapun itu, akan ia lakukan untuk membawa Zevanya kembali ke sisinya.
***
Drrttt!
"Shit! Bentar, Sayang. Aku lihat dulu." Wanita dengan baju hampir luruh itu meraih ponselnya yang bergetar. "Siapa, sih. Ganggu aja!" bibirnya yang lembab akibat pertukangan saliva terus merutuk.
"Siapa, Beib?" pria di sampingnya bertanya, karena kekasihnya terus memandangi ponsel tanpa mengangkatnya sampai dering panggilan itu berakhir.
Belum sempat menjawab pertanyaan si pria, deringan ponsel kembali terdengar. "Siapa?" pria itu kembali bertanya.
"Siittt," wanita itu menyimpan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan agar kekasihnya diam. "Ya, hallo... Mah." Ia menyapa terlebih dahulu.
Terdengar nada di seberang sana, "Mira, maafin mama, ya. Mama kayaknya belum bisa nemenin kamu jaga Evrand sampai malam ini, mungkin besok baru bisa. Mama ada urusan sama temen-temen." Ratna menjelaskan.
"Ouhhh... shiittt," Almira melotot pada kekasihnya yang tengah berkutat mempermainkan dadanya.
"Ouh, apa Mira?" Ratna bertanya di seberang sana, suara menantunya itu terdengar tidak jelas.
"Oh ya, nggak papa, Mah. Aku bisa jaga mas Evrand sendiri kok. Mama lanjut aja sama temen-temen..." Almira memukul tangan kekasihnya yang bermain di bawah sana sampai membuatnya mendongak dengan bibir yang spontan terkatung. Kekasihnya tersenyum miring sebagai balasan.
"Beneran kamu nggak apa-apa?"
"Iya, Mah. Nggak papa kok, lagi pula ini sudah menjadi tugas aku jagain Mas Evrand. Aku kan istrinya," balas Almira dengan manisnya sembari mengusap kepala kekasih dan menjambaknya gemas, kini permainan jari itu berganti dengan lidah. Membuat tak karuan!
"Mama seneng dengernya, kamu memang istri terbaik. Evrand beruntung memiliki kamu." Almira terkekeh dalam hati.
"Mama bisa aja," jawabnya semakin manis.
"Kalau begini mama tutup, ya. Kamu tetap jaga kesehatan." Almira mengatup mulutnya, gejolak yang ia rasakan membuatnya ingin mengeluarkan suara.
"Mira...? Kamu masih di sana, kan?" terdengar lagi suara mertuanya itu.
Wanita itu menahannya, berusaha sekuat tenaga mengontrol suaranya. "Iya, Mah. Aku di sini."
"Kalau begini mama tutup teleponnya, ya. See you..."
"See you too, Mah. Have fun sama temen-temennya." Telepon ditutup, pembicaraan pun berakhir. Tetapi bibir Almira komat-kamit menyalurkan rasa yang begitu luar biasanya dari permainan lidah sang kekasih. Ruang rawat VVIP itu dipenuhi suara erotisnya.
"Jangan kencang-kencang, Sayang. Nanti dia bangun," kelakar kekasihnya itu, tepatnya kekasih gelap.
"Hahaha, kamu bercanda, Sayang. Dia lagi koma, mana bangun." Almira tertawa. Lalu tubuhnya menggelinjang kegelian mendapatkan pelepasan pertamanya.
"Kamu selalu luar biasa bikin aku teriak,"
"Ini baru permulaan, belum intinya, Sayang." Pria itu melepaskan kain penutup satu-satunya pada tubuhnya. Sedangkan tubuh istri dari tuan muda pertama Sanjaya itu sudah polos tanpa sehelai benang pun. "Pintu udah aman, kan?!"
"Aman, Sayang." Almira memainkan kunci di jari telunjuknya.
"Oke, Beby. Siap naik, puncak?"
"Of course," keduanya pun lalu tertawa. Saling menempel satu sama lain, bertukar peluh, dan bernyanyi dengan suara yang keluar begitu saja.
***
"Bangun, Sayang. Udah mau magrib, nih. Kamu nggak mau pulang? Aya, Sayang...." Wira menghela napas. Ternyata susah sekali membangunkan istrinya. Keduanya masih di restoran, ruang khusus Wira bekerja.
Zevanya yang kebosanan menunggu suaminya bekerja mengecek laporan keuangan berakhir tertidur di sofa. Tidur gadis itu begitu pulas, mungkin kekenyangan setelah menyantap makanan enak.
"Sayang, bangun dong. Nggak baik tidur jam segini, nanti kepala kamu sakit." Pria itu mengguncang bahu istirahat, lalu mengusap pipinya, bermain dengan bulu mata lentik Zevanya. Namun, sang empunya sama sekali tidak terganggu. Masih tanpa nyenyak merajut mimpinya. "Kamu kalau nggak bangun, aku cium, ya." Ancamnya dengan mata yang terpaku pada bibir seraya mengusapnya berulang kali. "Aku cium lagi boleh, ya? Aku minta ijin, kamu nanti kalau bangun jangan marah. Kan aku udah minta ijin," ucap pria itu ngawur, tidak bisa lagi menahan godaan yang telah menjadi tempat favoritnya melabuhkan bibir tebalnya.
Kepalanya semakin mendekat, dan pertemuan tak terelakkan lagi. Pria itu mengecup dan mengulumnya, dari bawah ke atas lalu bergantian. Kening Zevanya mengernyit dalam tidurnya, bibirnya melenguh.
"Jangan bangun dulu, Yang. Aku nggak bisa gini kalau kamu bangun." Pria itu menjadi plin-plan, padahal selama ini tidak pernah seperti itu.
Tangannya merambat, memasuki blouse putih istrinya. "Yang ampun, berdosa nggak, yah? Tapi ini bini sendiri, gue berdosa banget." Mulutnya berkata seperti itu, tapi tangannya tetap bergerak. Definisi berbicara, tak sesuai tindakan.