Arumi Yudistira seorang wanita yang penyabar. setiap ada masalah dalam rumah tangga selalu dia hadapi dengan sabar.
akan tetapi, untuk masalah kali ini tidak bisa membuat Arumi untuk lebih bersabar lagi. Hingga Arumi memilih untuk pergi meninggalkan suaminya yang tak kunjung ada perubahan.
lalu bagaimana reaksi Gibran iskandar yang mengetahui istrinya pergi meninggalkan nya?
Akankah Gibran mengejarnya? atau membiarkan nya?
yuk simak kisah ini sampai habis yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razi Maulidi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. Dua Puluh Satu
Bab. 21
Lamaran yang datang mendadak membuat Arumi kaget. Dirinya terpaku sejenak. Apa harus menerimanya atau menolaknya?
Bagaimana jika di tolak, apa pak Alex akan marah atau kecewa ya? Dirinya sungguh belum sanggup untuk menikah lagi. Mengingat rasa sakit yang di berikan Gibran kepadanya membuat dirinya merasa trauma.
"Maaf, mas. Bukannya aku ingin menolak. Aku masih merasa trauma atas nama pernikahan. Aku masih ingin sendiri, mas." jawab Arumi dengan sedikit menunduk.
Mendengar itu, pak Alex tersenyum licik. Tidak menyangka wanita yang sangat di sukanya kini menolak dirinya.
"Arumi. Kamu tau, aku tidak menerima penolakan. Kamu tau seberapa lama aku menunggumu! Dan sekarang, di saat aku sudah mendapatkan mu, kamu malah menolakku!"
Terlihat rahang yang mengeras, urat leher dan mata yang menegang. Tambah lagi dengan bola mata yang melotot tajam ke arahnya.
Arumi sedikit takut, sebab selama ia berteman dengan pak Alex, tidak pernah sekalipun dia bicara kasar dengannya. Akan tetapi, pada malam ini dirinya dibikin kaget dengan suara kasar itu.
"Ehh, maaf mas. Mas salah paham. Aku masih ingin sendiri dulu, mengingat nama pernikahan dan berumah tangga membuatku seolah terulang kembali rasa trauma yang ku alami. Ku harap mas bijak dalam menanggapi jawabanku, jangan jadi salah paham dulu." sergah Arumi dengan cepat sebelum pak Alex semakin marah.
"Apa aku terlihat seperti bajingan itu?" tanya pak Alex datar.
"Ehh tidak, aku tidak bilang begitu. Aku hanya masih merasa trauma saja, aku masih ingin sendiri, mohon maaf, mas."
"Sudah, tidak apa-apa. Dia masih ingin sendiri bukan berarti dia menolakmu. Kamu masih punya kesempatan untuk terus mendekatinya, iya kan nak?"
Wanita itu bicara sembari menoleh menatap Arumi, Arumi ragu-ragu mengangguk pelan. Tanpa terasa, kini jam hampir larut. Arumi harus minta izin untuk pamit.
"Nak, kamu antarkan dia. Tidak baik jika dia harus pulang sendiri malam malam." ujar mamanya yang di balas sebuah anggukan kecil dari putranya.
Pak Alex dan Arumi pun meninggalkan area rumah elit itu. Tampak mereka berdua hanya saling diam tanpa kata.
Arumi jadi segan, dan merasa bersalah. Ada rasa canggung juga berada dekat dengan pak Alex yang sekarang ini.
Sungguh auranya sangat berubah daripada dulu yang ia kenal.
"Maaf, soal tadi mas. Aku tidak bermaksud.." Arumi langsung menghentikan ucapannya ketika pak Alex menatapnya tajam tanpa ekspresi.
"Bukan itu maksudku. Aku masih kepikiran Mika yang entah di mana dia berada." Arumi bicara pelan dengan raut wajah lesu.
Seketika pak Alex kembali menatapnya. Tatapan tajam itu mampu membuat Arumi merinding ketakutan.
Pak Alex memutar kembali mobilnya menuju tempat penyerangan waktu itu. Terlihat tempat itu kosong dan tidak terlihat satupun orang berada di sana.
Drrr... Ddrrrrr...
Terdengar ponsel pak Alex berbunyi.
"Iya, ada apa telpon malam begini?" tanya pak Alex tanpa ekspresi.
"Begini, orang itu kabur dari penjara. Tidak tau sekarang orang itu berada di mana." suara dari seberang telepon.
Lantas pak Alex langsung mematikan ponselnya.
Baru saja ia berbalik badan, ia menangkap satu cahaya titik merah berada pada tubuh Arumi. Iya, itu lesser merah.
Pak Alex segera menarik Arumi hingga menabrak dirinya dada bidangnya itu.
"Aww, maaf. Tapi, ada apa?" pekik Arumi sembari bertanya pelan.
Berlangsung dengan Arumi terhindar dari lesser merah itu, saat itu pula terdengar suara pistol senjata.
"Ada orang di sini. Bos mereka yang kita tahan, dia melarikan diri dari penjara." ujar pak Alex yang begitu waspada.
Matanya tajam mengawasi sekeliling.
Arumi yang merasa tidak percaya hanya bisa melongo terdiam di tempat.
"Kenapa kau menatapku begitu? Sudah ku pastikan kamu pasti mencintai ku, tapi kamu masih gengsi kan?" ujar pak Alex yang membuyarkan lamunan Arumi.
"Ehh, gengsi apanya? A \_aku memang masih belum ingin menikah. Jujur, aku masih takut." jawab Arumi terbata bata.
"Tapi aku tidak mau tau, kau siap atau tidak. Kita akan menikah secepatnya!"
Pak Alex semakin memeluknya erat. Dia menangkap satu lagi laser merah di belakang tubuh Arumi, maka dengan cepat pak Alex menghindar dari tempat itu.
"Sebaiknya kita mundur. Di sini terlalu gelap, terlalu berbahaya di sini." ujar pak Alex yang langsung menarik tangan Arumi menuju mobil.
Di saat mereka hendak masuk mobil, satu peluru berhasil membocorkan ban mobil itu.
"Bagaimana ini mas? Ban mobil bocor. Kita tidak bisa pergi dari sini." ujar Arumi pelan yang merasa ketakutan.
Arumi menggenggam tangan pak Alex begitu erat, tubuhnya bergetar karena takut. Ini lagi di alaminya sekarang, sama seperti yang di alami saat bersama Mika waktu itu.
"Ayo, kita harus pergi dari sini. Pelan-pelan saja, jangan takut, oke!"
Arumi hanya membalas dengan sebuah anggukan kecil.
Akhirnya mereka memutuskan untuk mengendap-endap perlahan untuk pergi dari sana. Mereka bersembunyi di pohon-pohon besar dekat mereka.
Pak Alex meraih ponsel di sakunya, dan menggelapkan layar ponselnya. Kemudian ia menekan nomor dan menghubungi nya.
"Halo, cepat kalian kesini sekarang! Tempat waktu kita melakukan penyerangan. Aku dan Arumi berada di sini sekarang. Cepat ke sini, mengerti!" bentak pak Alex melalui telepon genggam nya itu.
"Oke, baik pak!"
Telepon itupun di matikan.
"Sebentar lagi mereka datang. Ingat, kamu harus pulang. Kamu tidak boleh berada di sini. Soal Mika biar aku saja yang mencarinya. Kamu paham!"
"Tidak! Kenapa harus aku yang pulang? Lalu kamu akan tetap berada di sini? Tidak, aku tidak mau. Kita kesini berdua."
Lama mereka berdebat di bawah pohon itu, lalu, Arumi merasa dingin. Mungkin karena baju yang ia kenakan terlalu tipis. Sebelum berangkat ke sana tadi, Arumi menggantikan gaun itu dengan baju kerjanya itu.
Melihat itu, pak Alex segera melepaskan jas nya dan membalut tubuh Arumi dengan baju jaket jas itu.
"Lebih baik kamu ikut pulang, daripada di sini, dingin. Nanti kamu bisa sakit."
Arumi terdiam. Ia hanya bisa menatap lekat pak Alex dengan nanar. Kemudian ia merobek sedikit bajunya bagian bawah dan mengambil tali baju yang sobek tadi kemudian di ikatkan ke tangan mereka berdua.
"Apa yang kamu lakukan Arumi? Kenapa kamu mengikat kedua tangan kita?" tanya pak Alex kebingungan.
"Agar kedua tangan ini tidak terlepaskan. Diam, dan jangan bicara lagi!" bentak Arumi tegas.
"Tapi, Ar. Ini berbahaya. Aku tidak ingin.." belum saja pak Alex selesai bicara, telunjuk Arumi sudah dulu berada di bibir pak Alex.
Sssttt... "Jangan banyak bicara," sahut Arumi pelan.
Kemudian, Arumi mendaratkan sebuah kecupan hangat tepat di bibirnya.
"Hanya itu saja?" tanya pak Alex ketika Arumi sudah menjauh dari wajah pak Alex.
Kemudian dirinya memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Apa yang aku lakukan? Kenapa harus seperti ini?" gumam Arumi membatin.
Bersambung...
Yuk lanjut bab 22...