My Arogant Boss

"Sini kamu!" Bunga menarik kasar pergelangan tangan Safira, membawanya masuk ke ruangannya.

Lalu, dengan kasar Bunga menghempaskan Safira begitu saja hingga keningnya membentur ujung meja.

"Bunga! Apa yang kamu lakukan, hah?!" pekik Safira tam terima dengan perlakuan Bunga padanya.

Selama ini, Safira sudah cukup diam. Sekarang, tidak lagi. Ia akan melawan Bunga sampai titik darah penghabisan.

"Kamu nanya?" Bunga melipat kedua tangan sembari tersenyum sinis. "Nggak di kampus nggak di kantor, kenapa kamu selalu jadi benalu? Merebut semua perhatian pria incaranku, termasuk Ryan!"

"Dan sekarang, kamu juga ingin merebut perhatian pak Kevin. Dasar nggak punya harga diri!" Bunga mengangkat tangan kanannya berniat memukul Safira.

Namun, Safira sudah lebih dulu menahannya dan mencengkeram lengan rivalnya itu.

"Jangan berani menyentuhku! Kalau kamu nggak mau tangan mu ini patah!" ancam Safira. Baginya, sudah cukup selama ini bunga memperlakukannya dengan semena-mena.

Berbeda jika itu Kevin, Safira akan menerimanya tanpa protes sama sekali.

"Lepas!"

Safira melepaskan Bunga. "Ingat, disini kita sama-sama bawahan pak Kevin. Berhentilah bersikap sombong," ucap Safira. "Apa kamu pikir pak Kevin akan tertarik padamu?" lanjutnya.

Safira menatap Bunga dari atas sampai bawah.

"Kenapa melihatku begitu?" Bunga menutupi dadanya dengan kedua tangan. Tentu saja ia merasa risih, seakan-akan tatapan Safira sedang mengejeknya.

"Dada palsu, bulu mata palsu lalu ini." Safira menyentuh ujung rambut Bunga. "Ini juga palsu, bukan?"

"Kamu sok tahu!" elak Bunga. Bagaimana mungkin Safira mengetahui semuanya? Padahal, hanya dirinya saja yang tahu selama ini.

"Pak Kevin benci kepalsuan. Sebaiknya kamu berpikir ulang untuk menggodanya. Tidak akan mempan," ucap Safira penuh percaya diri.

Karena selama ini, hanya Safira yang tahu luar dalam Kevin seperti apa. Bahkan ce lana dalam Kevin saja ia hafal.

"Astaga, kenapa aku malah berpikir kesana," gumam Safira dalam hati.

Safira menoleh ke arah bunga yang terlihat kebingungan sembari menyentuh miliknya yang tadi disebutkan Safira.

"Mau kemana?" tanya Safira. Melihat Bunga yang hendak keluar, ia menahannya.

"Pak Kevin memanggilku. Dia bilang ingin sesuatu," jawab Bunga menunjukkan pesan di ponselnya pada Safira.

Di sana tertulis kalah Kevin menyuruh Bunga untuk datang ke ruangannya.

Kedua tangan Safira terkepal erat. Entah kenapa ia tidak suka Kevin bergantung pada Bunga dan mengacuhkannya.

Bunga pergi begitu saja sambil mengibaskan rambutnya. Mendorong Safira dan menutup kasar pintunya.

"Apa kamu benar-benar ingin menggantikan aku dengannya, Vin?" tanya Safira dalam hati.

•••

Jam sudah menunjukkan pukul duabelas. Waktunya mereka menikmati istirahat siang.

Namun, tidak dengan Safira, wanita itu mondar mandir tidak jelas di pantry. Pikirannya terus tertuju pada Kevin.

Hanya saja, Safira tidak peka kalau Kevin bersikap seperti itu karena dirinya.

"Masuk nggak ya? Kalau aku kesana, apa Kevin mengizinkanku?" Safira terus bergelut dengan pikirannya.

Ia bahkan mengabaikan panggilan dari Ryan yang terus menghubunginya.

Akhirnya Safira nekad. Ia membawa nampan berisi makan siang yang sudah ia siapkan dan membawanya menuju ke ruangan Kevin.

Mengetuk perlahan pintu tersebut, Safira masuk begitu saja tanpa menunggu jawaban dari bosnya.

Di dalam, Kevin sedang sibuk dengan berkas-berkas yang masih menumpuk di atas meja.

"Sudah waktunya makan, istirahatlah." Safira meletakkan nampak tersebut di atas meja. Menghampiri Kevin sembari menepuk pelan pundaknya. "Vin..."

"Keluar!" bentak Kevin. Safira tersentak kaget. Ia pikir, kemarahan Kevin tadi pagi hanya sementara. Siapa sangka jika pria itu benar-benar pendendam.

"Makan dulu. Aku sudah—"

"Kamu tuli, hah?! Aku bilang keluar ya keluar!" teriak Kevin menunjuk pintu keluar. Berharap jika Safira segera pergi dari hadapannya.

Berada di dekat Safira seperti ini membuatnya semakin sulit untuk melupakan wanita itu.

Ya, setelah memikirkan semuanya. Kevin memutuskan untuk berhenti berharap pada Safira. Mencintai sepihak seperti ini ternyata sangat menyakitkan.

Kevin bukan Sean—kakaknya yang akan terus memperjuangkan cintanya sampai dapat. Bagi Kevin, jika Safira bukan jodohnya, ia tidak akan repot-repot mengejarnya.

Apalagi Safira sudah memutuskan akan segera menikah. Seandainya belum, Kevin masih bisa melakukan cara lain meski cara licik sekalipun.

"Safira, kamu mendengar ucapanku, bukan?" Kevin beralih menatap tajam Safira.

Tangan Safira terkepal erat. Ia berusaha menetralkan emosinya. "Katakan jika anda menginginkan sesuatu."

"Sudah ada Bunga. Lupa?" sahut Kevin.

Seakan mengerti maksud ucapan Kevin, Safira hanya tersenyum. "Tentu. Bunga akan melayani anda dengan service yang memuaskan dibandingkan saya."

Setelah mengatakan itu, pintu ruangan Kevin kembali tertutup rapat.

"Hah!" Kevin menghela nafas. Memikirkan kembali kalimat yang Safira ucapkan baru saja. "Service memuaskan katanya? Apa dia pikir aku ini pemain wanita? Picik sekali."

Hening sesaat. Pandangan Kevin terus tertuju pada pintu hingga kini pulpen yang ada di genggaman tangannya patah.

"Kita lihat kedepannya, Azalea Safira. Kamu akan menyesal sudah memilih Ryan dibandingkan aku." seringai tipis terukir dari bibir Kevin.