NovelToon NovelToon
Tarian-tarian Wanita

Tarian-tarian Wanita

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / Slice of Life
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Pada akhirnya dia terlihat menari dalam hidup ini. dia juga seperti kupu-kupu yang terbang mengepakkan sayapnya yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 : mimpi

Mimpi masa kecil kembali muncul dalam ingatanku. Tadi malam aku tidak bisa tidur, aku merasa gelisah. Suamiku datang, membuka bajuku dan menghidupkan kipas angin. Aku merasa lebih baik tapi aku tidak bisa tidur. Dia yang tua menjagaku, menceritakan masa mudanya yang penuh gairah. Dia juga memujiku, sosok yang selalu bersamanya dan sosok seperti Dedari yang datang dalam hidupnya. Sekali pandang, dia sudah menyukainya. Tapi ragu-ragu dengan perasaan, apa itu benar cinta atau rasa suka semata. Kemudian dia meyakinkan dirinya dan akan mendekatiku, namun aku lebih dulu mendekatinya. Aku kalah, katanya. Maka aku membalas, kau lambat. Aku benar-benar pemalu dan banyak pikiran. Oleh karena itu kau lambat.

Lambat laut, akhirnya aku tertidur dan kemudian aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku bertemu nenek. Kami bercakap-cakap di dapur sembari memanggang kue Galungan yang tersisa. Kami bercakap-cakap lama sebelum akhirnya percakapan itu selesai. Aku tidak ingat apa yang kami bicarakan, tapi itu rasanya percakapan yang menyenangkan. Kemudian tiba-tiba aku bermimpi belajar mejejaitan dengan ibu di malam hari yang dingin. Aku menyukainya. Lalu tiba-tiba aku bepergian ke sawah bersama putri. Lagi-lagi dia, tapi kali ini tidak menyeramkan, hanya saja sangat menggangguku.

Ada banyak lagi mimpi-mimpi yang muncul dan membuatku gelisah.

Ketika aku bangun, tubuhku di penuhi keringat lengket. Rasanya tidak nyaman.

Pagi itu, suamiku membukakan baju. Aku memandang dua buah dada yang putih di depanku. Buah dada itu sedikit kendor tapi memiliki ukuran yang besar. Memandang Pria itu kemudian berkata, “Semua laki-laki pasti menyukainya.”

“Tentu saja.”

“Kau mesum.”

“Tidak ada yang lebih indah dari pada melihat istrinya telanjang.”

Dia kemudian pergi mengambil air yang sudah di rebusnya dan memasukkannya ke dalam ember kecil.

Aku hanya sebagian telanjang. Jika bukan karena aku merasa lemas, aku tidak akan di perlakukan seperti ini dan aku akan sangat malu setengah telanjang di depannya.

Pria itu mencelupkan kain ke dalam air hangat kemudian memerasnya. Aku mengulurkan tangan dan pria itu mengusap tanganku dengan lembut.

“Kau tidak boleh mengusap buah dadaku.”

“Aku mengerti.”

Dia melakukannya dengan baik dan lembut. Setelah membersihkan kedua tanganku, dia kemudian membersihkan punggungku.

Rasanya lebih menyegarkan ketika air hangat itu menyapu bersih kotoran-kotoran dan keringat yang menempel.

“Kau sudah berbicara dengan sari?”

“Dia anak yang keras kepala. Sudah aku katakan, kau sekarang sedang sakit dan memerlukannya untuk pulang, tapi dia ingin kau datang menjemputnya. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya.”

“Dia terlalu keras kepala. Dia bahkan tidak memberikan jepit rambut dari putri waktu itu.”

“Kau benar-benar melarangnya menari?”

“Iya. Tarian itu membuatku takut kehilangan Sari. Sari tidak sama dengan putri, tapi dia memiliki ciri-ciri yang sama persis dengan putri. Luh sari menyukai Tarian itu, menyukai jepit rambut bunga Jepun itu juga. Ketika aku memakaikannya kamen batik dan kebaya putih, dia juga mirip dengan putri. Aku takut dia juga pergi sama seperti apa yang putri alami. Selain itu, sosoknya yang seperti itu sering menyakitiku. Aku sering tenggelam dalam masa lalu yang kelam.”

“kau membutuhkan waktu untuk melupakannya.”

Dia lalu menyentuh dahiku. “Suhumu sudah menurun.”

Setelah memakaikanku baju, dia pergi mengambil bubur dan menyuapiku.

Ketika bubur itu masuk, tidak ada rasa.

“Kau sudah menambahkan garam?”

“Sudah.”

“Garamnya kurang, tambahkan lagi.”

Dia mengikutinya dan menambahkannya.

Walaupun rasanya masih kurang, aku tidak berkomentar lagi dan memakannya.

Setelah itu dia membawaku duduk di banjah. Untungnya cuaca hari ini sangat cerah sehingga membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.

Ada bunga aster putih di halaman rumah. Aku sudah merawatnya bertahun-tahun. Bunga-bunga itu mengingatkanku dengan putri Artila. Bentuknya yang langsing dan elegan sama persis dengannya. Tapi lama kelamaan putri bagaikan duri yang sering menusukku. Sekarang aku tidak tahu apa aku harus mencabutnya agar sosok putri pergi dari hidupku atau membicarakannya saja. Putri selalu menggangguku. Aku pernah ingin mencabutnya, tapi pada saat itu bibi datang bertanya mengapa aku ingin mencabutnya. Bunga-bunga itu terlihat sangat indah, katanya. Aku mengurungkannya. Rasanya tidak ada alasan yang logis untuk mencabutnya. Aku terus merawat hingga berkelompok seperti itu.

Diah sering memotongnya untuk vas bunga di sekolah.

Ketika aku melihatnya, aku melarangnya.

“Sari, kau merusak bunga ibu.”

“Tidak ada bunga-bunga indah lagi untuk di pakai vas bunga.”

“kamu bisa menggunakan bunga Jepun itu.”

“Tidak ibu, bunga Jepun terlalu umum. Sari ingin menggunakan bunga putih ini. Teman-teman sekolah pasti sangat menyukainya dan sari akan terhibur karenanya.”

“Kamu boleh memakai satu saja.”

“Hanya satu? Ibu, itu tidak cukup. Setidaknya aku ingin tiga bunga.”

“Baiklah.”

“Bagaimana kalau empat.”

“Baiklah, sari.”

“Tidak-tidak, aku menyukai ganjil, ibu aku ingin lima.”

Aku tersenyum mendengarnya. Dan aku menolak. “Sari empat lebih baik dari lima.”

“Mengapa?”

“Jangan tanya mengapa.”

“ibu jahat!”

Sari kesal dan memotong empat bunga aster dengan gunting dan memilih yang terbaik di sana.

Bunga-bunga itu jauh lebih lebat dari sebelumnya. Ketika aku memandang dan menciumnya, aku merasa menjelma menjadi Sosok kupu-kupu biru yang menyelami keindahan sari-sari dan kelompok bunga itu.

Suamiku lalu datang membawa selendang besar dan menyelimuti leherku.

“kau tidak kerja?”

“Aku mengambil cuti.”

“Kau harus kerja.”

“Tidak ada yang mengurusimu di rumah.”

“Jika kau tidak kerja maka kita akan kelaparan.”

“Aku akan kerja setelah kau membaik.”

Aku tidak berkata apa-apa lagi dan matahari cepat sekali naik. Di siang hari aku makan dan meminum obat kemudian tertidur.

Di sore hari aku menonton televisi. Acaranya seorang penjelajah yang mengitari pantai yang tidak berpenghuni.

Pantai itu sungguh indah dengan pantulan biru langit. Batu-batu banyak sekali ada di sana dan berwarna hitam. Penjelajah itu mengambil pasir putih untuk di telitinya. Pasir itu di genggam dan semakin di genggam pasir itu semakin menghilang dari genggamannya. Aku tidak tahu mengapa adegan itu berkesan kepadaku. Apa acara ini pernah aku tonton ketika masih kecil?

*****

Hari itu aku tidak sembahyang. Sanak keluarga yang mengetahuiku sakit datang ke rumah setelah sembahyang. Mereka membawa berbagai perbekalan. Aku merasa sedikit terganggu dengan semua itu. Aku tidak terbiasa diberikan seperti ini walaupun membawa sesuatu bagi orang sakit sudah menjadi budaya yang mendarah daging.

Ada lima orang yang datang dan mereka semua perempuan.

Suamiku menyiapkan empat teh kepada mereka dan mereka menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Seperti bagaimana kata dokter dan apa saja yang aku rasakan. Aku menjawab seadanya dan bersikap ramah. Perempuan-perempuan yang datang sangat ramah. Kami bercengkerama beberapa saat kemudian mereka pamit pergi.

Setelah itu suamiku datang membersihkannya, dia lalu menanyakan apa aku akan mandi.

“Aku harus mandi.”

Dengan begitu, dia menyiapkan air hangat dan mengelap tubuhku dengan lembut, kemudian menyiapkan bubur. Dia menyuapiku lagi.

“Aku tidak suka dengan buburnya, tidak enak. Apa aku tidak boleh makan nasi?”

“kau masih sakit. Kata dokter tidak boleh.”

“Kenapa aku harus sakit?”

“kumala, apa kamu mau roti?”

“Ada roti yang lembut? Aku menyukainya.”

“Aku akan membelikannya.”

Dia kemudian datang beberapa saat membawa roti. Membukanya kemudian menyuapiku. Aku mengambilnya. “Aku sebenarnya tidak suka di suapi.”

Aku kemudian memakannya.

“Kau harus pergi membujuk Sari secepat mungkin.”

“Aku akan mencobanya.”

“Dia pasti luluh nantinya.”

“Jika sari sama seperti ibunya, akan sulit untuk membujuknya.”

“Maksudmu?” Aku memandangnya tajam.

Dia tertawa. “Tidak ada maksud yang lain.”

“Aku ingin minum obat.”

“Kau sudah selesai makan?”

Aku mengangguk.

“kumala, makan lebih banyak.”

“Aku tidak mempunyai selera makan.”

Dia menyerah dan pergi mengambil obat. Aku meminumnya kemudian tidur. Dia lagi-lagi memeriksaku kemudian pergi.

Malamnya lagi, paman suamiku dan ibu mertuaku datang. Mereka bersikap ramah. Karena mereka tidak membawa perbekalan karena buru-buru, sebagai gantinya mereka memberikan uang. Aku berusaha menolaknya, tapi seperti itulah, mereka juga memaksaku. Aku menyerah dan menerimanya.

Ketika paman pergi, dia menantikan kesehatanku. Aku menjawab, “Aku harus sehat demi perempuan tua itu.”

Dia sedikit mengernyitkan dahinya lalu memahamiku, tersenyum lalu pergi.

Ketika ibu mertua yang sudah tua itu ingin pergi aku menanyakan tentang sari.

“Iluh baik-baik saja, iluh Ratih tidak perlu mengkhawatirkannya. Semoga cepat sembuh. Iluh sari sekarang juga belajar tarian lainnya.”

“iluh sering pentas?”

“Karena ujian kelulusannya semakin dekat, Iluh jarang menari. Iluh lebih banyak belajar di rumah.”

“Untuk jepit rambut bunga jepun itu, dia masih memakainya?”

“Iluh masih memakainya.”

“kalau begitu bujuk Sari agar tidak memakainya. Itu jepit rambut yang buruk.”

“iluh, tenangkan dirimu. Sari tidak sering memakainya. Semakin lama sari juga pasti akan meluapakannya. Iluh tenang saja.”

“Bu, bujuk dia untuk pulang.”

“Ibu sering mencobanya. Iluh sari sangat keras kepala.”

“Kalau begitu tolong terus bujuk dia.”

“Ibu akan berusaha. Iluh fokus saja pada kesehatan iluh. Sari akan pulang sebentar lagi.”

Ketika ibu pulang, aku ingin menghentikannya, tapi aku mengurungkannya. Aku kemudian tidur dan suamiku menjagaku sepanjang malam. Lagi-lagi aku merasa tidak nyaman dan tidak bisa tidur. Suamiku lagi-lagi berusaha membuatku senyaman mungkin. Dia mengajakku berbicara dan menenangkanku. Aku tidak tahu sampaikan kapan aku akan seperti ini. Semoga saja cepat sembuh.

Dalam mimpi selanjutnya, aku merasa berada dalam peti mati, berusaha mendobrak dan keluar. Mimpi itu tidak lebih buruk dari mimpi tentang Putri. Terbangun tiba-tiba, aku langsung meminum air.

Ketika aku menceritakannya, wajah suamiku pucat dan aku belum pernah melihat wajahnya seperti itu. Aku bertanya mengapa dia seperti itu.

“Kumala, itu mimpi buruk.” Kata-katanya begitu dalam dan sangat menyeramkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!