NovelToon NovelToon
Naik Status: From Single To Double: Menikah

Naik Status: From Single To Double: Menikah

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / suami ideal
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ai

Embun, seorang wanita berumur di akhir 30 tahun yang merasa bosan dengan rutinitasnya setiap hari, mendapat sebuah tawaran 'menikah kontrak' dari seorang pria di aplikasi jodoh online. Akankah Embun menerima tawaran itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Hari ini hari yang berbeda. DI hari senin ini, aku akan melihat dunia luar dan akanmenikmatinya terlepas dariapapun kegiatanku nanti.

09.20 Assis membunyikan bel pintu dengan nyaringnya. Sekali, aku masih di kamar, siap-siap. Dua kali, aku di tangga, turun. Aku tidak membiarkan dia menekan bel untuk ketiga kalinya.

Pintu terbuka dan sapaan yang sama saling balas-membalas. Hanya kali ini dia membawa tas kerja berwarna hitam di tangannya. Ketika sudah di dalam ruang tamu, dia membukanya dan mengeluarkan sebuah buku atau lebih tepatnya kliping, terlihat seperti kliping bagiku dari depannya. Dia menyerahkannya kepadaku.

Aku membukanya dan melihat tanggal hari ini di bagian paling atas kertas. Ini jadwalku. Entah sepanjang minggu atau sepanjang bulan. Dilihat dari jumlah kertasnya, sepertinya hanya untuk seminggu ini.

10.00 – 12.00 : Kursus Bahasa Jerman

Baiklah, aku harus belajar. Aku memang ingin memiliki sertifikat bahasa Jerman hingga level tertinggi. Bukannya aku mau menjadi seorang guru atau dosen bahasa Jerman, aku hanya ingin memilikinya dan mengukur tingkat bahasaku, sejauh apa aku bisa menguasai bahasa ini. Apalagi aku tinggal di negara berbahasa Jerman, meskipun orang Swiss memiliki aksen sendiri.

12.00 – 13.00 : Makan siang

13.30 – 15.30 : Check up

16.00 – 17.00 : Klinik

Jadwal yang menarik, pikirku dalam hati sambil mencibir.

“Akankah kamu mengantarku ke dokter?” tanyaku mengangkat wajah dari kertas di tanganku menatapnya.

“Tidak.” jawabnya singkat sambil tersenyum.

“Di mana aku akan makan siang?” pertanyaan ini mengandung harapan.

“Kantin tempat kursus.” Mimik wajahnya ketika menjawabku seolah itu adalah jawaban yang aku harapkan. Aku membalasnya dengan senyum aneh sambil mengangkat kedua keningku.

“Hebat.” kataku tersenyum lebar sambil mengangkat kedua alisku, lalu aku beranjak menuju pintu depan. “Ayo.”

Dia mengikutiku dan melewatiku di pintu depan. Aku mengunci pintu dan melangkah masih sambil tersenyum menuju mobil yang pintu belakangnya sudah dibukakan Fahrer. Aku mulai jengkel dengan perlakuan ini, bagaimana kalau ada orang yang melihatnya? Bukankah ini negara yang mandiri, tidak perlu dilayani seperti ini. Aku juga bukan seorang sultan. Apa sebutan untuk perempuan? Sultani? Sultana? Membuatku teringat dengan kue Natal yang tidak aku sukai namun membuatku kangen apalagi ketika aromanya menguar saat dibakar di oven.

Tidak apalah kalau aku hanya akan makan di kantin, tapi aku bisa bertemu dengan orang-orang baru saat kursus dan saat makan siang. Aku sangat bersemangat dan menantikan masuk ke dalam kelas. Namun, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan sendiri terlebih dahulu yang tidak bisa dikerjakan Assis, sebelum aku memulai kursus.

Dengan semangat berkobar aku memasuki kelas, setelah menyelesaikan registrasi dan semacamnya. Tidak ada siapapun. Aku memang tiba terlalu cepat. Lebih baik lebih cepat daripada terlambat, bukan? Aku duduk di salah satu kursi yang berada di seberang pintu, di depan jendela. Ruangan ini kecil dan berisi lima kursi dan lima meja yang diatur melingkar, saling berhadapan. Tipikal cara belajar tempat kursus di luar negeri. Benar, kan?

Aku menunggu hingga 09.55 tapi pintu tidak kunjung membuka. Tidak ada yang datang. Ini hampir jam sepuluh, tidak mungkin seorang guru Swiss terlambat, kalau muridnya yang entah berasal dari negara mana.mungkin saja.

09.59 pintu terbuka dan seorang pria tua berambut hampir putih semua memakai kemeja senada dengan rambutnya dipadankan dengan jeans biru memasuki ruang kelas dengan memegang beberapa buku di tangannya. Di belakangnya seorang pria mengikuti dalam diam.

Pria tua itu berdiri di samping kiriku, di depan papan tulis berwarna putih, meletakkan buku-bukunya di atas meja di depannya dan berdiri diam memandang si pria yang sedang duduk. Pria yang sepertinya adalah rekan belajarku adalah seorang pria bule, aku tidak bisa menebak dari mana asalnya. Rambutnya berwarna hitam dengan hidung mancung bertubuh cukup tinggi dengan perawakan keras. Ini bukan rekan belajar yang aku inginkan. Di mana yang lain?

“Guten Morgen.” sapanya dalam bahasa Jerman.

Aku dan teman belajarku spontan membalasnya, “Guten Morgen.”

Pria itu yang bernama Herr Schwarz, schwarz artinya hitam, kontras dengan warna rambutnya yang weiss (putih), setelah memperkenalkan dirinya, menjelaskan tentang kelas kursus kami. Dia menggunakan kata-kata bahasa Jerman dasar yang mudah dimengerti. Hanya ada beberapa kata yang tidak aku mengerti dan Herr Schwarz juga memiliki sedikit aksen yang membuatku harus menambah fokus untuk mendengarkannya.

Kami dipersilakan untuk memperkenalkan diri, dimulai dari pria di depanku. Dia hanya mengatakan namanya, selesai. Aku kaget. Guru yang masih berdiri melihat kekagetanku dan segera menyela, “Cukup nama saja.”

Kenapa? Tapi, aku menurutinya juga.

Setelah aku memperkenalkan namaku, kami memulai kelas. Pelajaran hari ini adalah pelajaran dasar untuk membantu ingatan kami saja dan mengetahui sejauh mana kemampuan kami atas bahasa Jerman.

Dua jam pelajatan yang terasa seperti dua hari bagiku. Kelasnya terasa kering, membosankan, sangat kaku. Kenapa seperti ini? Ini sangat jauh dari apa yang aku harapkan. Aku terus melirik jam Swiss Army di tangan kiriku yang detiknya bergerak sangat lambat hari ini.

Ketika Herr Schwarz, yang masih berdiri, selama 2 jam pelajaran dia terus berdiri mondar-mandir dari meja ke papan tulis, menutup buku di depannya, aku merasakan kelegaan di dadaku.  Ingin sekali aku tersenyum, tapi mungkin akan membuat guruku tersinggung. Bahkan saat keluar dari pintu, ingin rasanya aku berlari menuju kantin yang aku tidak tahu berada di sebelah mana. Aku berbalik dan melihat guruku di belakangku sedang menutup pintu kelas.

“Entschuldigung, Kantine?” itu saja yang bisa aku katakan, aku tidak bisa membuat kalimatnya lebih panjang lagi.

Diangkatnya  tangan kanannya dan menunjuk ke arah sebelah kanannya.

“Vielen Dank.” ucapku tersenyum dan meninggalkannya. Aku hanya perlu untuk menghafal kata-kata bahasa Jerman yang penting-penting saja, bukan? Aku menghafalkan sekitar 50 kata dan kalimat pendek semalam, tapi sepertinya yang tersisa di kepalaku hanya beberapa kata yang sangat penting seperti yang aku ucapkan tadi. Setidaknya aku bisa melewati hari dengan kata-kata itu saja.

Tidak ada balasan yang aku dengar dan aku tidak peduli sama sekali, aku ingin sekalimeninggalkannya.

Kantin kosong. Tidak ada seorang pun di dalamnya kecuali seorang Ibu paruh baya yangberdiri di belakang konter makanan berisi sekitar sepuluh macam makanan. Aroma makanan menusuk hidungku dan langsung membuat perutku bereaksi keras. Aku menahan perutku dengan menariknya ke dalam, jangan sampai bunyinya kedengaran si ibu penjaga kantin. Suasana sangat sepi di kantin, bisa saja dia mendengarnya.

Aku melangkah ke konter, mengatakan aku ingin makan dengan kata seminimal mungkin,setidaknya si ibu mengerti apa yang aku inginkan.

“Karte?” suara seraknya membuatku kaget. Perawakannya kecil, aku mengira suaranya akan kecil juga dan lembut. Dia meminta kartu padaku.

“No Karte.” jawabku singkat yang artinya tidak memiliki kartu, blasteran bahasa Inggris dan Jerman.

Dia menjelaskan kalau aku harus memiliki sebuah kartu kantin untuk dapat makan di kantin dan menyuruhku untuk membuat kartu kantin di meja pendaftaran di pintu masuk. Semua itu dapat aku mengerti setelah lebih dari 5 menit berbincang dalam bahasa isyarat bercampur bahasa Inggris.

Aku menghabiskan waktu setengah jam untuk mengurus kartu kantin, karena harus menunggu petugas di meja pendaftaran yang sedang istirahat makan siang. Itupun aku paksa ketika dia tiba, karena masih jam istirahatnya. Aku pasti akan terus diingatnya, diingat sebagai seorang perempuan Asia yang menyebalkan, pengganggu waktu istirahatnya, tidak menghormati haknya. Terserahlah. Aku juga punya jadwal yang harus dikejar.

Menu siang ini luar biasa terasa enak di lidahku, setelah selama seminggu hanya makan makanan ala diriku atau makanan instan. Yang ini baru saja dimasak dan rasanya berbeda.

10 menit aku habiskan untuk memakan semua makan siangku. Tidak ingin berlama-lama di kantin yang sepi, aku langsung menuju mobil. Fahrer terkejut mendengar suara pintu mobil dibuka. Dia menengok ke belakang dan kaget melihatku.

“Aku tidak perlu satu jam untuk makan sandwich, kan?” itu hanya gambaran saja, aku tidak benar-benar makan sandwich, aku tidak tahu apa makanan yang aku makan tadi. Wanita penjaga kantin mengatakan namanya tapi terdengar seperti hembusan napas yang dipenuhi huruf konsonan yang tidak aku mengerti. Meskipun aku sedang mempelajari bahasa Jerman, tapi aku berbicara bahasa Inggris dengan Fahrer maupun Assis. Aku lebih percaya diri menggunakan bahasa Inggris agar komunikasi lebih mudah.

“Terlalu cepat untuk berangkat.” ucapnya memandangku dari kaca depan.

“Kita bisa jalan pelan-pelan.” Aku suka menawar.

“15 menit lagi.”

“Mau apa di sini?” tanyaku ketus.

Fahrer tidak menjawab dan menyuruh sopirnya segera meninggalkan parkiran. Lega rasanya meninggalkan tempat ini. Tidak ada hal yang menarik dan menyenangkan di sini. Semua bayanganku pudar. Apakah di tempat berikutnya akan seperti ini juga? Tolonglah, jangan sampai.

Mobil berjalan dengan pelan, melewati bangunan-bangunan tua yang entah apartemen atau perkantoran ataukah pertokoan. Terlihat sama olehku. Kami melewati area luas yang hanya berisi rerumputan dan beberapa pohon. Ingin rasanya aku turun dan duduk-duduk di atas rumput sambil menghirup udara segar, tapi kemudian lamunanku dihancurkan oleh warna putih yang kini kami lewati. Bukan ide yang bagus untuk duduk-duduk di atas rumput di musim dingin ketika salju masih bertebaran di mana-mana.

Aku tiba terlalu cepat di Rumah Sakit. Aku langsung diarahkan ke ruangan dokter yang sudah aku kenal beberapa bulan terakhir ini. Dokter Schmidt berdiri menyambutku dengan tangan kanan terulur dan  berkata, “Selamat siang Nyonya Altherr, apa kabar Anda?”

“Kabar saya baik. Anda Herr Schmidt?” tanyaku sambil mengulurkan tangan kananku menjabat tangannya.

“Kabar saya baik. Silakan duduk.”

Hari ini berjalan lancar seperti biasa, hanya pemeriksaan reguler, tidak ada yang spesial. Hanya saja berat badanku turun 2 Kg. Akhir-akhir ini, setelah pernikahan, aku memang tidak begitu memiliki selera makan atau mungkin timbangan badannya yang bermasalah. Tidak mungkin beratku turun 2 kg dalam 2 minggu ini, aku tidak merasakan penurunan berarti.

“Berat badan Anda turun drastis. Saya sarankan agar Anda konsumsi lebih banyak makanan mengandung protein dan zat besi. Tekanan darahAnda juga cukup rendah.”

Bagaimana mungkin 100/70 itu rendah? Itu masih di batas normal, kan? Apakah harus benar-benar 120/80?

“Saya memberikan Anda vitamin penambah nafsu makan dan beberapa suplemen untuk meningkatkan metabolisme tubuh Anda.”

Aku pasti akan diberikan beberapa botol suplemen berbagai warna dan bentuk dengan rasa yang variatif juga. Aku tidak suka ini. Aku lebih memilih mengonsumsi buah-buahan dan sayuran atau ikan. Tapi, aku juga tidak ingin menyibukkan diriku untuk memasak. Tapi, aku tidak memiliki kegiatan apapun di rumah, kan? Tidak ada salahnya aku mengurus diriku dengan memberikan makanan sehat pada tubuhku. Mungkin aku akan mencobanya nanti. Mungkin.

Ketika aku berdiri untuk beranjak keluar dari ruang prakteknya, Herr Schmidt berkata dalam nada kebapak-bapakan, “Latihlah pikiranmu untuk mengontrol stres.”

Aku memandangnya, diam. Dia tidak menggunakan bahasa formal, seolah benar-benar seorang Ayah sedang menasehati anak perempuannya. Herr Schmidt merasakan atmosfer canggung di antara kami, segera dia berucap, “Selamat siang, Nyonya Altherr”

Aku hanya mengangguk dan berjalan ke arah pintu. Tanganku meraih pegangan pintu dan berhenti. Terus terang, aku merasa tersentuh dengan kalimat terakhir Herr Schmidt. Selama aku di Swiss, aku tidak pernah diperhatikan layaknya seorang yang dekat. Semuanya hanya bagian dari bisnis. Semua memperlakukan seperti orang luar dan ini pertama kalinya ada yang peduli.

“Terima kasih, Herr Schmidt.”ucapku berbalik menghadapnya sambil tersenyum. “Anda juga jaga kesehatan.”

Perasaanku terasa hangat saat keluar dari ruang prakteknya. Meskipun hanya satu kalimat pendek, tapi itu benar-benar memberikan perasaan nyaman yang luar biasa. Dia tidak melakukannya sebagai bagian dari tugas dokternya, tapi lebih kepada seorang manusia yang peduli dengan sesamanya. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih

masih ada orang yang peduli padaku di antara semua orang yang bersikap seolah-olah aku ini barang.

Aku pulang dengan tenang dan perasaan senang. Bukan karena pemandangan di sekitarku, bukan karena aku bisa menikmati udara di luar rumah, tapi karena kasih yang ditunjukkan sang dokter.

1
Arvilia_Agustin
Sampai disini dulu ya ka, 😊
Arvilia_Agustin
Mahal-mahal sekali harga jacket nya
Alletaa
mampir lagi Thor
Ai: Makasih
total 1 replies
xoxo_lloovvee
satu mawar untukmu thor, jangan lupa mampir ya 😉
Ai: Makasih, ya
total 1 replies
xoxo_lloovvee
Apa ini akuu? 😭😭
Ai: Semangat /Smile/
total 1 replies
Bilqies
aku mampir lagi Thor /Smile/
mampir juga ya di karyaku
Ai: Makasih /Smile/
total 1 replies
dianasaur🦖
semangat thor,nanti mampir lagi
Ai: Makasih /Smile/
Semangat juga
total 1 replies
Zeils
Bagus, pemilihan kata dan alurnya cukup baik dan mudah dipahami.
Hanya saja, perbedaan jumlah kata di bab satu dan dua membuatku sedikit tidak nyaman saat membacanya. Perbedaannya terlalu signifikan.
Ai: Makasih udah berkunjung.
Novel pertamaku mmg banyak kekurangannya, makasih udah diingatkan lagi.
Bisa mampir di novel keduaku, bisa dibilang lbh stabil dr yg ini. Mohon sarannya jg 🙏🏻
total 1 replies
Arvilia_Agustin
Aku kasih bunga ni thor
Arvilia_Agustin: sama-sama
Ai: Makasih /Heart/
total 2 replies
Alletaa
done ya, sudah mampir nih
Bilqies
hai Thor aku mampir niih
dianasaur🦖
mampir thor nyicil wkwkkw,semangat updatenya walau aku bacanya nyicil😄
Bilqies
aku mampir lagi Thor /Smile/
Bilqies
aku mampir Thor /Smile/
Bilqies
aku mampir lagi Thor
mampir juga ya di karyaku
terima kasih 🙏
Angel Beats
sudah mampir yah kak
Aris slow
wah dah lama gk liat soalnya kehalang pondok
Bilqies
aku mampir lagi Thor..
Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)
Jadi was2, antara mau masuk kehidupan bahagia, atau tertipu dan sengsara
Ai
Buat Kak @Lala_Syalala, komentarny ga nemu lg disini, tapi makasih sarannya ya, nanti akan direvisi /Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!