Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
Riani menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Ekspresi di wajahnya tampak bercampur aduk, antara terkejut, takut dan juga panik. Sudah bisa ditebak jika perempuan paruh baya itu mengetahui segalanya. Namun, Lalita sedikit heran kenapa mamanya itu justru memperlihatkan reaksi seolah dirinya tak boleh tahu tentang semua kenyataan itu.
"Please, Ma. Aku tidak akan menyalahkan siapapun, tapi kumohon ceritakanlah semuanya dengan jujur. Aku tidak mau dibohongi lagi, apalagi oleh orang-orang terdekatku," ujar Lalita dengan agak memelas.
Tangan Lalita mengepal, menahan gejolak emosi yang saat ini mulai kembali memenuhi dadanya. Dihelanya nafas panjang, sebisa mungkin membuat agar dirinya tetap tenang.
"Tidak." Riani akhirnya bergumam lirih setelah selama beberapa saat mulutnya seperti terkunci. "Itu semua tidak benar, Lita. Percayalah, kamu hanya salah paham saja."
"Ma, apa sungguh ini jawaban yang mau Mama berikan padaku? Aku sangat tahu kalau sekarang Mama sedang berbohong. Ada yang sedang berusaha Mama tutupi dariku. Meskipun Mama tidak mau berkata jujur, aku akan tetap mengetahuinya dengan cara lain. Tapi, Ma, akan jauh lebih baik kalau aku mendengarnya langsung dari Mama, bukan dari orang lain," ujar Lalita. Terdengar dengan jelas nada kecewa dari kata-katanya itu.
Riani menelan ludahnya dengan agak kesusahan. Dari sudut hatinya yang paling dalam, tentu dia sangat ingin menceritakan yang sebenarnya pada Lalita. Tapi ada sesuatu yang membuatnya amat sangat takut, sehingga dirinya pun memilih untuk mengelak, meskipun tentu alibinya tak akan diterima oleh putri bungsunya itu.
"Sudah Mama bilang, Lita. Kamu hanya salah paham saja. Erick dan Risa tidak seperti itu. Erick datang melamarmu dan menikahimu, tentu karena dia sudah menyukaimu sejak lama. Dia bahkan dengan berani mengungkapkan perasaannya pada Papamu," ucap Riani berbohong.
Lalita menatap sang mama sembari tersenyum asimetris. Dia pikir, kalau sudah begini Riani tak akan berbohong lagi padanya. Sungguh tak disangka, mama yang dia anggap sebaik malaikat itu tetap saja bersikeras menipunya, meski jelas-jelas sandiwara itu telah terbongkar.
"Baiklah." Lalita akhirnya menghela.
"Jika Mama memang tak mau jujur, aku tak bisa memaksa. Tapi jangan salahkan aku kalau mulai sekarang aku tidak akan percaya lagi pada Mama, Papa ataupun Kak Risa. Kalian semua adalah orang-orang yang paling aku percayai. Bagaimana bisa kalian bersekongkol membohongiku seperti ini." ujar Lalita kemudian dengan nada tajam.
"Lita, tidak. Bukan seperti itu ...."
"Aku permisi dulu, Ma." Lalita bangkit sebelum Riani sempat menyelesaikan kalimat yang diucapkannya.
"Tidak usah khawatir, aku tidak akan bertanya soal ini lagi pada Mama. Aku juga tidak akan menanyakannya pada Papa ataupun Kak Risa. Tapi, jangan berpikir kalian semua bisa membohongiku lagi. Aku benar-benar kecewa pada kalian."
Lalita meninggalkan ruang keluarga kediaman orang tuanya dengan perasaan yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Sementara itu, Riani tercenung selama beberapa saat, sebelum kemudian tersadar dan buru-buru mengejar Lalita.
"Lita, tunggu! Mama bisa jelaskan. Kamu salah paham, Nak!" Riani berseru sembari melangkah tergopoh-gopoh menyusul putri bungsunya itu.
Senyuman miring kembali tersungging di bibir Lalita. Dia terus melangkah cepat tanpa menghiraukan panggilan mamanya itu sedikitpun. Hatinya benar-benar terasa begitu sakit, jauh lebih sakit daripada saat dia mendengar Erick mengatakan tidak pernah mencintainya sama sekali. Jika mamanya saja sudah bersikap seperti itu padanya, lalu bagaimana orang lain? Papanya dan Larisa juga pasti akan melakukan hal yang sama, kan?
Entah dosa apa yang pernah Lalita lakukan sehingga dia harus ditipu oleh orang-orang terdekatnya seperti ini.
"Lita, berhenti! Tunggu Mama! Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan salah paham seperti ini. Tidak baik, Lita!" Riani masih tak menyerah mengejar Lita yang saat ini sudah sampai ke pekarangan rumah.
Lalita yang merasa jengah akhirnya menghentikan langkahnya dan membalik badannya ke arah Riani sejenak.
"Salah paham? Apa di mata Mama aku sebegitu bodohnya sampai tidak bisa memahami apa yang orang lain katakan? Kalau memang Mama tidak mau menceritakannya padaku, tidak apa-apa. Tapi berhentilah mengatakan kalau aku salah paham. Aku muak!" seru Lalita dengan emosional.
"Dua tahun aku menjadi naif dan bodoh karena terlalu percaya pada Mama, Papa dan Kak Risa. Dua tahun merasa bahagia dan merasa dicintai seperti orang tak punya akal, berpikir kalau Erick mencintaiku, tapi tak tahu cara mengungkapkannya. Dua tahun aku hidup seperti orang idiot yang tak tahu apa-apa! Teganya Mama memperlakukan aku seperti ini! Teganya kalian semua memperlakukan aku seperti ini!" Lalita akhirnya meledak tak tertahankan.
Riani terkesiap dengan ekspresi yang semakin tak terlukiskan. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat Lalita begitu murka.
Lalita membuang nafas kasar, sebelum kemudian kembali membalik badannya dan meninggalkan Riani yang masih terpaku di tempatnya layaknya patung. Dia keluar dari pagar megah kediaman orang tuanya dan langsung menyetop sebuah taksi. Perempuan yang hatinya tengah hancur lebur itu meminta diantar ke sebuah tempat yang tenang, lalu berdiam diri di sana untuk meredakan emosinya yang kini memuncak.
Setelah merasa jauh lebih baik, barulah Lalita pulang ke rumahnya. Dia sampai saat hari telah menjelang sore.
"Mau masak apa untuk makan malam, Nyonya?" tanya Bu Risnah saat Lalita ke dapur untuk mengambil air dingin di dalam kulkas.
"Masakkan kwetiau goreng saja untuk saya makan malam. Saya sedang ingin makan itu. Tapi masaknya nanti , saat saya sudah mau makan," sahut Lalita.
"Untuk Tuan, saya mesti masak apa?" tanya Bu Risnah lagi. Biasanya, masakan untuk Ericklah yang lebih dulu Lalita minta untuk dibuatkan.
"Tidak perlu," sahut Lalita lagi.
"Ya?" Bu Risnah terlihat tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Setelah tadi siang absen membuatkan makan siang untuk suaminya itu, sekarang nyonya mudanya ini juga tak berniat menyiapkan makan malam juga?
"Tidak perlu memasak untuk Erick. Biasanya, juga dia jarang makan malam di rumah. Makanan yang disiapkan jadi sering mubazir." Lalita memperjelas ucapannya.
"Baiklah, Nyonya." Bu Risnah mengiyakan, meskipun hatinya masih diliputi tanda tanya.
Sebelumnya, meski jelas-jelas Erick jarang makan malam di rumah, Lalita tetap bersikeras memasak dengan dibantu oleh Bu Risnah. Tak peduli jika pada akhirnya semua makanan tersebut diberikan pada orang lain, atau bahkan terbuang.
"Oh, iya. Bu Risnah tolong ikut saya ke atas dulu. Bantu saya beres-beres sebentar," pinta Lalita kemudian.
"Beres-beres apa, Nyonya?" tanya Bu Risnah. Setiap pagi dia sudah beres-beres, kenapa sekarang majikannya ini memintanya beres-beres lagi?
"Beres-beres barang saya yang ada di kamar atas. Tolong bantu pindahkan semua barang saya ke kamar bawah. Mulai sekarang, saya mau menempati kamar itu." Lalita menjawab sembari melangkah meninggalkan dapur.
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/