Giselle mengira menikah dengan Gibran adalah pilihan terbaik dalam hidupnya. Sosok pria yang mau menerima kekurangannya dan melengkapinya. Akan tetapi, semua angan dan impian Giselle berubah menjadi pahit, ketika dia tinggal satu atap dengan mertuanya.
"Jadi wanita bisanya cuma bekerja, gak tahu dapur, gak tahu kerjaan rumah tangga. Sudah begitu, kamu menikah lama dan tidak memiliki anak. Jangan-jangan kamu mandul, Sell?"
Perkataan pedas, tudingan miring, ditambah dengan ketidakberdayaan Gibran kian menambah runyam suasana. Dapatkah Giselle bertahan dengan konflik batin yang dia alami setiap harinya? Akankah pondok mertua yang tak indah ini perlahan-lahan menjadi rumah yang bisa menerimanya dan memanusiakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Pramudya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teringat Pesta Pernikahan Kala Itu
Hampir Dua Tahun Lalu di Bandung ...
Pernikahan pun benar-benar digelar oleh keluarga Wardhana dan Winantha, pernikahan Giselle dan Gibran yang digelar di salah satu hotel berbintang lima di Bandung, Jawa Barat. Layaknya pernikahan dari keluarga Taipan, dekorasi untuk auditorium ini sangat indah. Dipenuhi dengan berbagai bunga Peony dan Mawar dengan merah muda kesukaan Giselle. Untuk katering pun dipilih yang terbaik dari yang ada di kota Bandung, tentu karena ini adalah pernikahan akbar, dan sekaligus usai ini keluarga Wardhana tidak akan lagi menikahkan anaknya, karena Giselle adalah putri bungsu dari keluarga Wardhana.
Sementara untuk keluarga Winantha, pernikahan ini mengangkat nama dan derajatnya. Mereka yang semula dari keluarga biasa saja, akhirnya bisa sejajar dengan keluarga Wardhana yang kaya raya. Walau hati sang ibu mertua tidak sepenuhnya menyukai Giselle, tapi untuk mendapatkan posisi yang bagus untuk Gibran di perusahaan dan juga untuk kestabilan ekonomi, Bu Rosalia pun memasang senyuman di wajahnya kala menerima tamu undangan yang datang dan memberikan ucapan selamat dan doanya.
Begitu juga dengan wajah kedua pengantin yang begitu berseri-seri. Walau Giselle semula tidak percaya diri dengan penampilannya, tapi Gibran selalu mengatakan kepada Giselle bahwa dia tampil sempurna dalam wedding gown berwarna putih itu.
"Warna putih membuatku lebih gemuk ya, Mas?" bisik Giselle kepada Gibran.
"Ndak, Sayang ... cantik kok," balas Gibran.
Pengantin wanita itu pun tersenyum dan menundukkan wajahnya. "Di mata kamu, tapi di mata yang lain ya tidak cantik, Mas," balasnya.
"Cantik ... pasti Cantik. Jangan insecure dengan penampilanmu, Yang. Kan sejak dulu aku sudah memberitahu bahwa kecantikan tidak selalu diukur dengan penampilan," ucap Gibran.
Bahkan sekarang Gibran pun bersikap begitu manis, dan dia membuktikan bahwa dia bisa menerima Giselle apa adanya. Justru baginya, latar belakang Giselle yang putri konglomerat itu tidak begitu berarti. Bagi Gibran, cinta bukan karena rupa dan juga bukan karena harta, melainkan kesediaan untuk menerima dan memberi.
Hingga tiga jam berlalu, pesta pernikahan megah itu usai sudah. Keluarga Wardhana pun berpamitan untuk kembali ke Jakarta, sementara keluarga Winantha tentu akan tetap berada di Bandung.
Sekarang, di kamar pengantin yang berada di hotel tempat berlangsungnya resepsi pernikahan itu, Gibran dan Giselle memilih untuk mengistirahatkan dirinya bersama.
"Seneng enggak Sayang, akhirnya kita berdua sudah sama-sama menikah?" tanya Gibran kepada sang istri.
"Seneng, Mas ... cuma kita harus menunda momen malam pertama, karena aku palang merah," aku Giselle kala itu.
Gibran tidak marah, pria itu justru tertawa, dan mengusapi puncak kepala Giselle di sana. "Tidak apa-apa, Yang ... hanya urusan malam pertama, bisa kapan saja."
"Makasih, Mas," balas Giselle.
Menurut Giselle, suaminya itu kurang baik apa lagi. Pintar, tampan, dan juga pengertian. Benar-benar seorang suami yang bisa menerimanya apa adanya.
"Yang, aku mau bicara sesuatu boleh?" tanya Gibran kemudian kepada istrinya.
"Iya, tentu saja boleh," balas Giselle dengan menganggukkan kepalanya.
"Usai menikah, mau kan kalau kita tinggal satu atap dengan Bapak dan Ibu di Bandung? Kamu tahu kan kalau aku adalah anak tunggal, sementara Bapak dan Ibu juga sudah tidak lagi muda. Jadi, bisa enggak kalau kita seatap dengan Bapak dan Ibu?" tanya Gibran.
Sebenarnya dalam hatinya, Giselle juga menginginkan pernikahan yang mandiri. Bahkan Giselle yang adalah putri bungsu di rumahnya saja, menginginkan kehidupan rumah tangga mandiri dan juga tidak ada intervensi dari kedua orang tuanya. Namun, sekarang suaminya justru mengajaknya untuk tinggal bersama mertuanya.
"Kenapa tidak mencoba membina rumah tangga bersama, Mas? Memulai semuanya dari nol. Aku tidak keberatan kok kalau hidup sederhana sama kamu," balas Giselle.
"Kasihan Bapak dan Ibu sudah tua, Yang ... toh kan bersama Mertua di Pondok Mertua yang indah. Kamu akan disayangi oleh Bapak dan Ibu seperti anak sendiri," ucap Gibran sekarang yang mencoba memberi pengertian kepada Giselle.
"Kalau pada akhirnya, pondok mertua menjadi tak indah bagaimana Mas?" tanya Giselle.
"Tidak lah. Secara officially kita hanya satu atap saja, Yang. Bapak dan Ibu di bawah, dan kita di lantai dua yang luas juga. Bahkan kita bisa memastikan dapur kita mengepul dengan sendirinya. Bagaimana?"
Giselle menghela nafas panjang. Sungguh, butuh kesiapan mental untuk bisa satu rumah dengan mertua. Terlalu penggambaran para mertua di luaran sana yang membuat Giselle merasa skeptis.
"Mau yah?" balas Gibran.
"Ya, sudah ... baiklah."
Giselle mencoba untuk menerima ajakan dari suaminya untuk satu pondok, satu atap dengan mertuanya. Semoga memang seperti yang Gibran ucapkan bahwa di Pondok Mertuanya nanti, Giselle akan bisa diterima dengan baik.
***
Keesokan harinya ....
Gibran memutuskan untuk cek out dari hotel. Pria tampan itu segera membawa Giselle untuk pulang ke rumah orang tuanya. Memulai kehidupan bersama di kota Bandung, kota asal Gibran.
Setengah jam berkendara dan kini mereka sudah sampai di rumah orang tua Gibran dengan beberapa koper yang memang dibawa oleh Giselle. Awalnya, Giselle hanya mengira bahwa dia tinggal di Bandung hanya beberapa hari saja usai pernikahan. Akan tetapi, nyatanya dia akan tinggal di rumah mertuanya.
"Assalam'ualaikum," sapa Gibran dan Giselle begitu memasuki rumah itu.
"Waalaik'umsalam," balas Bu Rosalia yang kala itu hanya sendirian di rumah, karena Pak Teguh sedang keluar. "Sudah pulang dari hotel?" tanyanya.
"Iya, sudah, Bu ... waktunya pulang ke rumah," balas Gibran.
"Wah, Ibu mulai punya temen di rumah. Bisa ada temen ngobrol," ucap Bu Rosalia.
Gibran kemudian menatap Ibunya, "Giselle juga akan bekerja, Bu," ucapnya.
"Bekerja di mana?" tanya Bu Rosalia.
"Di Angkasa Corp," balas Giselle.
"Sebagai apa?"
"Giselle bekerja sebagai Analis Saham," jawabnya.
Bu Rosalia pun menganggukkan kepalanya. "Wah, nanti pasti gajinya gede. Kalau gajinya besar, bisa bantu-bantu beli beras dan gas ya, Selle."
Di sana Giselle hanya menganggukkan kepalanya. Sebenarnya, tanpa ibu mertuanya terang-terangan berbicara demikian, Giselle sudah bisa berpikir. Hidup dengan mertua, satu atap pasti harus jangan yang dipikirkan, membesarkan hati, menjaga toleransi. Tanpa harus berkata terus-terang, pasti Giselle sudah mengetahuinya.
***
Sekarang ....
"Hampir dua tahun tinggal bersamaku pasti susah kan, Yang?" tanya Gibran sekarang.
"Asalkan kamu bisa melindungi dan memberi rasa nyaman, aku tidak masalah, Mas. Semua rumah tangga ada ujiannya. Tergantung bagaimana kita menyingkapinya. Dulu, saat kamu menikahiku, aku merasakan bahagia. Dengan badanku yang sangat gemuk, tapi kamu mau terima aku. Aku sangat tahu, aku tidak kelihatan cantik di gaun berwarna putih itu. Namun, sekarang ... jika memang kamu mau poligami, aku memberi izin, dengan syarat pulangkan saja aku ke rumah Mama dan Papa," balas Giselle.
Kemudian dengan cepat Gibran menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak akan berpoligami. Lagipula, di hatiku hanya ada kamu, Sayang. Tidak akan ada Annisa dan yang lain," balas Gibran dengan sungguh-sungguh.
"Apa sebenci itu Ibu denganku sih Mas? Sampai seorang Ibu menyarankan anaknya melakukan poligami?"
Sebenarnya, terbersit pemikiran bahwa mungkin saja Ibu mertuanya itu membencinya. Hingga yang dilakukannya selalu salah. Bahkan sekarang, Ibu mertuanya juga menyarankan untuk melakukan poligami.
"Bukan benci lah, Sayang. Sabar yah ... kesabaran sampai pada akhirnya akan menang," balas Gibran.
Giselle menganggukkan kepalanya. Semoga saja Allah memberikannya kesabaran lebih. Memberikan hati yang besar dan lapang. Semoga saja suaminya teguh hati kepadanya.
sedih kalo berada di posisi Gisel semuanya serba salah