Mutia Arini seorang ibu dengan satu putra tampan dan juga pengusaha bakery wanita tersukses. Kue premium buatannya telah membuat dirinya menjadi seorang pebisnis handal. Banyak cabang telah dibukanya di berbagai kota besar. Pelanggannya adalah golongan menengah ke atas. Di balik kesuksesannya ternyata ada sebuah rahasia besar yang disimpannya. Karena kejadian satu malam yang pernah dilaluinya, mengubah semua arah kehidupan yang dicitakan oleh seorang Mutia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21
Tindakan pengusiran Mutia dari desa benar-benar terjadi. Hanya bik Sumi lah yang masih punya empati untuk Mutia. "Hati-hati lah nduk, jaga dirimu. Maaf bibik tidak bisa menemanimu. Ini bibik ada uang sedikit, pakailah" pesan bik Sumi. Mutia memeluk bik Sumi, "Aku tidak tahu harus membalas kebaikanmu dengan apa bik. Tolong nitip makam kedua orang tuaku ya bik" Mutia berkemas dan meninggalkan desa hari itu juga.
Tidak tau arah tujuan, Mutia berjalan mengikuti arah kaki melangkah. Mendung hitam mengiringi kepergiannya. Mutia berhenti di sebuah halte bis saat rintik hujan mulai turun. Dan lama kelamaan hujan turun dengan derasnya.
Mutia tersadar dari lamunan saat pengemudi bis meneriakinya untuk segera naik. Ternyata bis itu berhenti di sebuah terminal besar di kota J. Kota di mana Mutia menjadi mahasiswa. Mutia turun dengan gontai. Tidak mungkin baginya untuk kembali ke asrama kampus.
Mutia mendapatkan sebuah kos-kos an yang sempit tapi lumayan bersih untuk ditinggali. "Aku besok harus segera ke kampus untuk mengambil ijazah dan juga STRku" gumam Mutia. Tapi Mutia mulai memikirkan kembali ucapannya. "Terus siapa yang akan menerima kerja seorang wanita hamil begini" ucapnya lagi.
Mutia mulai membongkar tas nya yang berisi baju dan mulai menatanya di lemari yang disediakan oleh sang pemilik kos. Tak sengaja kalung yang pernah diberikan oleh ayahnya dulu tersangkut di sebuah baju. Mutia menimang kalung itu dan memikirkan sesuatu. "Bagaimana kalau aku gadaikan saja kalung ini untuk modal" Mutia masih teringat pesan ayahnya untuk tidak menjual kalung itu apapun yang terjadi.
Mutia melangkah ke kantor pegadaian resmi. Sesuai tujuan awalnya, Mutia bertekad untuk membuat usaha buat roti kecil-kecilan. Saat menunjukkan kalung yang dibawanya ke petugas, "Anda mau tunai berapa?" tanya petugas itu sambil memeriksa keaslian kalung yang dibawa Mutia itu. "Sesuai nomilal harga jika aku menjual kalung itu" jawab Mutia. Mutia berpikir jika kalung itu dijual paling juga lakunya sekitar lima jutaan. Petugas itu terbelalak mendengar ucapan Mutia. "Nyonya, maaf di kantor cabang kami saat ini tidak ada dana tunai sejumlah yang anda minta" jawabnya. Mutia gantian yang melongo menanggapi. "Maaf berapa nilai kalung yang kubawa? Kalau lima juta apakah bisa dicairkan?" tanya Mutia. Petugas itu kembali menatap ke Mutia. "Nyonya kalung anda bernilai lebih dari satu Milyar. Diamond yang terpasang itu termasuk langka di dunia. Makanya harganya sangat mahal. Apa anda tidak tau akan hal itu?" tanyanya balik. Mutia kembali ternganga. Darimana ayahya mendapatkan kalung mahal seperti itu, batin Mutia. Mutia akhirnya mendapatkan tunai sepuluh juta, untuk modal awal usahanya dan juga persiapan persalinannya.
Mutia memulai usahanya dengan membuat kue berdasarkan pengalamannya kerja dengan mba Nina dan juga mas Juna. Mutia juga memasarkan produknya di komplek perumahan dekat dengan tempat kos nya. Maklum Mutia melakukan semuanya dengan jalan kaki. Saat akan kembali ke kos, tak sengaja Mutia melihat seorang gadis remaja dikejar oleh beberapa orang laki-laki. Saat dekat dengan Mutia, gadis itu memegang Mutia seperti minta tolong. "Maaf, ada apa ya pak?" tanya Mutia berusaha melindungi gadis remaja itu. "Jangan ikut campur ya, adikmu itu telah mencuri makanan di resto kami" ucap laki-laki itu menampakkan kemarahannya. "Emang senilai berapa makanan yang diambilnya" jawab bijak Mutia. "Lima ratus ribu, emang kau bisa bayar???" tanyanya meremehkan Mutia. "Heh, kau itu mau memeras ya. Lagian aku cuma ambil ayam goreng sepotong" teriak gadis di belakang Mutia. Mutia menyerahkan lima lembar uang kertas berwarna merah ke kedua lelaki itu. Mutia tidak mau memperpanjang masalah dengan mereka.
Saat kedua laki-laki itu pergi. Mutia membalikan badannya. "Namamu siapa? Apa kamu tau kalau mencuri itu tidak baik?" tegas Mutia. "Maaf kak, tapi aku memang sangat lapar" jelasnya. "Dimana kau tinggal?" tanya Mutia lagi. "Aku nggak punya rumah, tidur juga biasa di emperan toko" jawabnya lugas. "Orang tua mu?" Mutia mulai penasaran. "Sudah meninggal. Dan aku juga tidak punya saudara. Kakak seperti petugas sensus aja??" lanjutnya. Mutia memandang anak remaja itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kak, makasih ya" sahutnya hendak pergi. "Heh, bentar dong. Kita belum kenalan" Mutia mengangkat tangan kanan dan bergerak untuk menyalami anak remaja itu. Setelah berkenalan dan ternyata remaja itu bernama Dena Almira.
Setelah secara tak sengaja bertemu dengan Mutia beberapa kali, akhirnya Dena mau juga diajak tinggal bersama Mutia di kos nya itu. Dena juga lah yang membantu Mutia sampai dengan sekarang. Dena bahkan dengan semangat membuat adonan, dan juga membantu Mutia memasarkan produk yang dibuat oleh mereka.
"Nah, untuk selanjutnya kamu juga sudah tau kan Den gimana ceritaku melahirkan sampai saat ini" Mutia mengakhiri cerita kisah hidupnya. "Jadi kakak benar-benar nggak tau siapa papa nya Langit kak?" tanya Dena penasaran. Dan Mutia menjawab dengan menggeleng. "Wah berat juga ya kak. Bagaimana bisa hamil tanpa tau siapa yang menghamili" celoteh Dena. Mutia pun mencubit lengan Dena yang bicara asal. Karena selama ini yang Dena tau, kalau papa Langit sudah meninggal sebelum Mutia bertemu dengan dirinya. Itupun selama ini Dena hanya menyimpulkan saja.
"Kak, apa tidak ingin membalas dendam pada laki-laki itu. Kalau jadi aku sudah aku ulek laki itu jadi sambal" Dena gemas setelah mendengar penuturan Mutia. Mutia menghela nafas panjang, "Bagaimana mau membalas dendam, muka laki-laki itu saja tidak ada gambaran sama sekali di ingatanku" jawab Mutia. Dena terkekeh mendengar jawaba Mutia.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
to be continued
jadi akhirnya ngga jadi Makan /Smile//Smile/